Outing kantor kali ini mewajibkan setiap karyawan untuk
menggunakan dress code saat acara makan malam di malam terakhir.
Tidak tanggung-tanggung, dress code yang diminta adalah “agent” atau
“superhero”, senada dengan tema acara “agent of
change”. Semua orang berpikir keras untuk mengekspresikan dirinya
melalui dress code tersebut. Dengan pertimbangan keterbatasan
waktu, kemudahan dan kenyamanan berpakaian, akhirnya saya menggunakan kostum
ala Sherlock Holmes. Baju dan coat semua ada, hanya modal topi khas
Sherock Holmes yang dikenal dengan nama deerstalker cap, yang akhirnya saya beli online. Soal senjata, detektif Sherlock Holmes cukup menggunakan kaca
pembesar, sederhana dan ramah lingkungan.
Secara penampilan, sebenarnya tidak
ada yang spesial dengan kostum Sherlock Holmes. Diantara semua perlengkapan
tersebut, kaca pembesar yang saya temukan kembali di rrumah menjadi sangat
spesial untuk saya. Kaca pembesar ini dibeli almarhum Bapak sekitar 14 tahun
lalu, untuk membaca pengumuman ujian masuk perguruan tinggi negeri (waktu itu
namanya SPMB, dan sekarang namanya SBMPTN)
Saya masih ingat dengan jelas, hari
kelulusan itu. Sebenarnya hari itu saya merasa kesal dengan Bapak. Pengumuman
SPMB sudah dapat diakses online sejak jam 00.00. Waktu itu di rumah kami tidak
ada akses internet, sehingga saya berharap malam itu Bapak bisa mengantar saya
ke warnet untuk melihat pengumumannya. Sayangnya, sebagai pemadam kebakaran,
hari itu bersamaan dengan giliran hari tugasnya. Jadwal tugas Bapak adalah satu
hari kerja (full 24 jam) dan satu hari libur. Saya sempat meminta Bapak untuk
tidak masuk kerja sehingga bisa menemani saya ke warnet, tapi beliau tetap pergi
kerja sesuai panggilan tugasnya. Saat itu saya merasa kesal, bahkan marah
karena merasa Bapak tidak peduli.
Saya pun tidak bisa tidur semalaman
hingga akhirnya pagi jam 5.30 saya memberanikan diri pergi sendirian ke warnet
dekat rumah. Sialnya, karena se-Indonesia raya mengakses website pengumuman
SPMB pada saat yang bersamaan, maka akses website pun semakin lambat. Setelah
cukup bersabar karena tak kunjung berhasil membuka laman pengumuman, akhirnya
sekitar jam 7 pagi, saya pun pulang dengan tangan kosong dan masih dengan rasa
penasaran.
Berbagai perasaan berkecamuk saat
itu, karena saya masih belum tahu hasil ujian saya apakah diterima atau tidak.
Semakin gelisah, karena saya sangat berharap dari hasil ujian ini. Sampai di
rumah, saya pun dikejutkan dengan kehadiran Bapak yang sedang duduk bersantai
di teras rumah sambil minum teh, memegang koran berisi pengumuman SPMB dan
sebuah kaca pembesar untuk membaca. Dengan santai, Bapak menegur saya, “gak
bisa kan lihat di internetnya, sini lihat di koran aja, Bapak gak bisa bacanya,
hurufnya kekecilan,” katanya sambil menyerahkan koran dan kaca pembesar ke
tangan saya. Saya pun langsung membuka lembar demi lembar dan berusaha mencari
nomor ujian saya, tentunya dengan jantng yang masih berdegup kencang,
harap-harap cemas untuk melihat nomor ujian saya. Beruntung ternyata saya
dinyatakan lulus, untuk pilihan ke dua, Psikologi. Rasa bahagia saat itu
langsung melunturkan semua kekesalan saya kepada Bapak.
Kaca pembesar yang usianya sudah 14 tahun
Saya masih ingat jelas gurat bahagia
dan kebanggaan Bapak saat membaca pengumuman, bahkan beliau sendiri kemudian
menstabilo nomor ujian saya yang tertera di koran. Komentar singkatnya saat itu juga
membesarkan hati saya, “tuh kan bisa, lulus SPMBnya, gak apa-apa di pilihan
kedua. Kalau gak suka atau gak cocok, tahun depan boleh coba lagi.” Bapak
sangat tahu saya sempat ragu manakala beliau meminta saya tetap berkuliah di
Jakarta yang berarti harus memilih UI untuk dua pilihan jurusan yang saya
ambil. Setelah peristiwa kelulusan itu, Bapak masih menyimpan rapi potongan
koran berisi nomor kelulusan ujian dan juga kaca pembesarnya. Katanya, “ini
buat kenang-kenangan, disimpan.”
Empat belas tahun kemudian, saat
mencari perlengkapan kostum sebagai detektif Sherlock Holmes, saya kembali
menemukan kaca pembesar yang dulu kami gunakan untuk mencari nomor ujian tanda
kelulusan SPMB. Kaca pembesar yang hanya sekali saya gunakan, di salah satu
peristiwa terpenting dalam hidup saya. Kaca pembesar yang harganya mungkin (saat
itu) tidak lebih dari seratus ribu rupiah, tapi sekarang nilainya sangat tinggi
untuk saya. Kaca pembesar yang bukan hanya membantu untuk melihat huruf menjadi
lebih jelas, tetapi membantu saya untuk melihat lebih jelas betapa sebenarnya
Bapak sangat peduli dan perhatian bahkan terhadap hal detail dengan
memperhitungkan berbagai kemungkinan. Kaca pembesar yang membantu saya melihat lebih
jelas besarnya cinta bapak kepada saya. Maafkan saya yang membutuhkan waktu
terlalu lama untuk dapat melihat betapa kaca pembesar itu tidak hanya berfungsi
sesuai fisiknya, tetapi sebenarnya telah membesarkan hati kami melihat hal-hal
kecil menjadi lebih indah.