Minggu, 10 Juli 2016

SABTU BERSAMA BAPAK




Setahun lalu, saya membaca bukunya. Awalnya sebuah ketidaksengajaan, menemukan buku ‘Sabtu Bersama Bapak’ disalah satu rak buku Gramedia. Seperti kebiasaan saya selama ini, mencoba mengintip isi buku, mulai dari membaca sinopsis di halaman belakang. Lalu mencari sample buku yang sudah dibuka. Setelah membaca synopsis, saya pun mulai membuka lembar pertama, dan air mata saya sudah langsung mengembang. Karena kuatir malu dilihat banyak orang, akhirnya saya pun langsung membawa buku itu ke kasir untuk membayar, bergegas keluar toko buku, mencari restaurant terdekat dan melanjutkan membaca. Air mata saya kali ini mengalir deras. Saya menyelesaikan bacaan itu hanya dalam beberapa jam. 

Tahun ini, film Sabtu Bersama Bapak dirilis. Saya sudah sejak lama menantikannya. Bukan sekedar penasaran dengan akting para pemainnya, tetapi juga bagaimana visualisasi nilai dan pesan yang disampaikan Bapak melalui buku menjadi film. Menyaksikan trailernya saya pun merasa deg-degan, seperti menantikan sebuah kelahiran. Bahkan saya sempat khawatir setelah menyaksikan filmnya, saya akan keluar dengan mata sembab.

Sebelum menonton, saya membebaskan diri saya dari berbagai detail ingatan cerita dalam buku. Saya tidak ingin kenikmatan saya menyaksikan film ini terganggu dengan kritik menyamakan isi buku dan film. Bagaimanapun juga film dan buku adalah dua medium yang sangat berbeda dalam menuangkan sebuah cerita. Menyaksikan Sabtu Bersama Bapak, saya tidak menyangka bahwa saya akan lebih banyak tersenyum, bahkan tertawa, walaupun masih menitikkan air mata. Saya pun keluar bioskop dengan bahagia.

Sabtu Bersama Bapak adalah cerita sederhana tentang sebuah keluarga yang mencoba untuk berdiri tegak tanpa kehadiran sosok Bapak (Abimana Arya Satya). Bapak yang dikisahkan menderita kanker harus meninggalkan anak-anaknya yang saat itu masih usia SD. Bapak pun tidak ingin meninggalkan keluarganya dalam kesusahan, maka ia menyiapkan segala sesuatunya untuk keluarga kecilnya tersebut. Usaha restaurant ibu Itje, istrinya, sudah direncanakan dan didukung Bapak sejak beliau masih sehat. Bapak bahkan menyiapkan beberapa rekaman video untuk kedua anaknya, Satya dan Cakra, untuk disaksikan setiap hari sabtu. Semua pesan yang ingin disampaikan Bapak direkam dalam video menemani dan mengantarkan anak-anaknya tumbuh dewasa. Bahkan Bapak menyimpan satu pesan khusus yang baru dapat disaksikan jelang pernikahan anak laki-lakinya tersebut.

Konflik pun mulai terjadi di rumah tangga Satya (Arifin Putra) yang tinggal nun jauh di Perancis. Satya yang perfeksionis dan sangat terencana, menginginkan segala-sesuatunya sempurna. Anak-anak yang pandai matematika, tidak nakal, istri yang pintar memasak dan menjaga anak-anak. Satya menjadikan Bapak sebagai role model, dan menelan utuh semua pesan Bapak. Tidak ada yang salah, hanya saja ada beberapa hal yang ia juga lupa untuk menerapkannya. Pada akhirnya, sosok Bapak dan pesan-pesannya juga yang kembali menuntun Satya “kembali”  ke tengah keluarga kecilnya.

Sedangkan si bungsu Cakra (Deva Mahenra), sibuk dengan pekerjaannya dan terus menjomblo. Muda, tampan, sukses, mapan, jomblo, tapi kaku pada wanita. Awalnya Cakra jatuh hati pada salah seorang rekan kantornya. Tapi ke-kaku-an Cakra saat pendekatan hingga ia pun kalah langkah dari rekan kerjanya yang lain, meskipun sudah dibantu segala cara oleh anak buah Cakra (Ernest dan Jennifer Arnelita). Akhirnya Cakra pun menuruti keinginan Mama (Ira Wibowo) untuk dikenalkan dengan salah seorang anak teman Mama. Ternyata semesta bekerja, gadis yang ditaksi Cakra di kantor adalah gadis yang sama yang ingin dikenalkan Mama. Perjuangan menemukan pasangan Cakra ditampilkan dengan sangat kocak dan menghibur, berpadu apik dengan berbagai penuturan tentang nilai-nilai yang ditanamkan Bapak tentang pasangan hidup.


“Membangun sebuah hubungan itu membutuhkan dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing. Bukan tanggung jawab orang lain.”


Sabtu Bersama Bapak adalah hiburan yang inspiratif. Akting para pemainnya terasa cukup natural dan mengalir, terutama tim Cakra. Berbagai celetukannya pun terasa hidup. Sebenarnya melihat deretan nama besar dalam film itu menjadikan acting mereka tidak perlu diragukan lagi. Berbagai penyesuaian cerita pun dilakukan. Sekali lagi, film dan buku adalah dua medium yang berbeda, sehingga perlu dilakukan berbagai penyesuaian dalam visualisasi cerita. Dalam buku penjelasan sangat detail. Sementara film, ada visual gambar yang dapat menjelaskan tanpa perlu narasi atau kata-kata.    

Barangkali terdengar berlebihan, tetapi Sabtu Bersama Bapak memiliki arti khusus untuk saya. Delapan tahun lalu saya kehilangan Bapak. Saya bersyukur disaat menjelang kepergian Bapak, kami masih diberi waktu, kesempatan untuk menyiapkan diri untuk sebuah kehilangan. 29 hari selama Bapak dirawat di ICCU, setiap hari kami mempersiapkan diri untuk hal paling buruk yang mungkin terjadi.

Bapak saya mungkin tidak meninggalkan pesan yang direkam dalam video seperti Bapak (Pak Garnida dalam Sabtu Bersama Bapak). Tapi bapak meninggalkan pesan dengan caranya sendiri. Seperti Bapak yang menekankan pada keluarganya betapa pentingnya sebuah perencanaan, bapak pun mencontohkan langsung kepada kami, betapa beliau sangat terencana untuk pendidikan anak-anaknya. Bapak saya mungkin tidak banyak berkata-kata, tetapi seperti juga Bapak, beliau mencontohkan bagaimana kami harus menjadi kuat dan saling mendukung, saling menjaga, memberikan dan menjadi yang terbaik untuk keluarga. Kami pun tahu, sekalipun bapak tidak lagi hadir secara fisik, tetapi bapak akan selalu ada bersama kami, dalam hati, pikiran dan ingatan kami. 

Alfatihah..

Terimakasih untuk tulisan dan filmnya yang indah Sabtu Bersama Bapak.Walau telah tiada, bapak akan selalu ada.