seperti puzzle yang terserak, berisi coretan tentang keping-keping ingatan akan kejadian, pikiran, dan perasaan.
Kamis, 14 Juli 2011
BOCAH KECIL BERJALAN
"Hati-hati nak...awas," teriakan panik seorang ibu muda sambil terus mengawasi putra kecilnya yang berjalan setengah terhuyung. Keseimbangan badannya masih belum penuh terjaga, ataukah mabuk ASI, atau kombinasi keduanya.
"Ayah, jangan langsung dilepas gitu, dipegangin aja dulu, kasihan ah nanti jatuh," lagi-lagi ibu muda itu mengingatkan sang suami untuk tidak melepaskan pegangan putra mereka. Sementara sang ayah, dengan riangnya mencoba menarik ulur pegangannya pada si anak. "Gak apa-apa bu, biar berani," giliran si ayah yang menenangkan ibu dengan pandangan teduhnya.
Bocah kecil itupun perlahan mulai bisa berjalan, berlari, naik sepeda, dan semakin besar. Berpuluh tahun kemudian, bocah kecil itu berpikir dia sudah bisa berjalan sendiri. Tapi ternyata tidak, dia belum bisa berjalan sendiri. Dan dia tidak pernah bisa berjalan sendiri. Dia masih membutuhkan tatapan penuh kecemasan dari wajah perempuan tua yang kelelahan dan dipanggilnya ibu. Dia masih membutuhkan tantangan penuh keberanian dari tangan keriput lelaki tua yang dipanggilnya ayah.
Dia limbung saat tangan keriput itu tak lagi memeganginya. Dia kelelahan saat tatapan cemas perempuan tua itu tak kunjung ia temukan. Ia kelelahan berjalan sendiri di jalannya. Ia limbung sesaat dan hampir jatuh. Ia mengira jalanan di hadapannya tak bisa ia selesaikan.
"Nak, jangan takut kalau jalan. Lihat jalannya baik-baik ke depan, hati-hati kalau ada batu nanti tersandung. Tapi gak apa-apa koq, nanti kalau jatuh kan bisa bangun lagi, trus jalan lagi," pesan perempuan tua itu saat bocah laki-laki itu menangis setelah jatuh dari latihan pertamanya naik sepeda roda dua.
"Anak ayah kuat, sebentar lagi bisa naik sepeda. Kalau udah capek jalannya, berhenti dulu, nanti mulai jalan lagi. Kalau sakit jatuhnya diobatin dulu, udah sembuh jalan lagi, pasti bisa." Kali ini ayahnya yang menghiburnya.
Bocah laki-laki itu terdiam. Tangan kekarnya mengambil sapu tangan dari dalam kantongnya untuk menyeka keringat. Pandangannya menerawang, menatap gundukan tanah merah di hadapannya. Ia terdiam, kelelahan.
"Aku bisa," tangannya mengepal kuat, membisikkan kalimat positif apapun yang masih ia miliki untuk membantunya bangkit.
Bocah laki-laki itu bangun dan berjalan. Ia masih menoleh sekali ke belakang, menatap nisan dibelakangnya. Kali ini, senyumnya kembali terkembang sambil setengah berbisik lirih...
aku akan kembali berjalan
seperti dulu kalian mengajarkanku untuk berjalan
mungkin aku akan jatuh dan kesakitan
tapi aku akan bisa bangkit lagi
karena kalian tidak pernah meninggalkanku
biarkan angin membawa pergi semua ketakutanku
biarkan matahari, bulan dan bintang menerangi jalanku
dan biarkan rindu ini menjadi penguat jalanku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar