Ini adalah cerita tentang seorang perempuan. Cerita yang hadir karena diingatkan oleh si Tuan Setan. Cerita yang hadir karena saya merasa tidak cukup adil telah banyak menceritakan tentang kekasih perempuan itu, sementara cerita tentang perempuan itu belum pernah ditulis. Ini cerita tentang seorang perempuan sederhana yang hanya menjalankan kariernya di rumah, sebagai ibu dan istri. Sekolahnya hanya diselesaikan sampai SMP. Di usia mudanya, ia datang ke Jakarta mengikuti sang kakak. Garis nasib mengantarkannya untuk menikah di usia muda, 18 tahun. Dan saat usianya baru genap dua puluh tahun, anak pertamanya lahir, juga seorang perempuan.
Perempuan itu membesarkan anak perempuannya sekaligus mengurusi suaminya seorang diri, tanpa pembantu. Penghasilan suaminya tidak cukup untuk dapat membayar seorang pembantu rumah tangga di rumah kontrakan mereka. Lagipula perempuan itu merasa bahwa ia masih dapat melakukan semua tugas rumah tangga seorang diri. Sama sekali tidak merepotkan, bahkan ia masih dapat melakukan pekerjaan sampingan walaupun sekedar hobi dan dapat menambah sedikit penghasilan, menjahit. Tidak hanya menjahit, tetapi perempuan itu pun mencoba peruntungan dengan membuat berbagai kue kering, berbagai penganan yang dititipkan di warung-warung serta membuka warung kelontong kecil-kecilan di rumah mereka yang kecil. Dan semua usaha yang dijalankan perempuan itu selalu berhasil menambah penghasilan sang suami.
Anak perempuannya tumbuh besar. Dan perempuan itu selalu mengatakan, "ini anak pertama saya," Walaupun anak perempuannya selama 11 tahun menjadi anak tunggal. Bahkan setiap kali teman atau tetangga berkeras mengatakannya sebagai anak tunggal, perempuan itu tetap bersikukuh dengan pendapatnya, "ini anak pertama saya."
Dan perempuan itu BENAR!! Anak perempuannya adalah anak pertama. Tepat saat anak perempuannya berusia 11 tahun 6 bulan, tepat di hari ulang tahun perkawinannya yang ke 13, perempuan itu melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak laki-laki yang selama ini diidamkan olehnya dan suaminya untuk melengkapi keluarga kecil mereka. Namun, Tuhan terlalu sayang pada perempuan itu dan bayi laki-lakinya. Perempuan itu tidak pernah mendengar tangisan bayi laki-lakinya. Dan dia tahu sejak awal, bayi laki-lakinya akan damai dalam tangan Sang Pemilik Hidup. “Maaf yah, Mama gak jadi kasih adeknya, harusnya buat hadiah yah” hanya kalimat singkat itu yang keluar dari mulut perempuan itu manakala anak perempuannya datang menjenguk. Bahkan perempuan itu meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dilakukannya.
Entah dari apa hati perempuan itu dibuat. Ia demikian sabar, pemaaf dan ikhlas. Bahkan saat ia tahu beberapa orang bergunjing dibelakangnya, mengumpat kenaifannya. Perempuan itu selalu keluar dengan senyum di wajahnya.
Pada anak perempuannya, ia adalah ibu yang manis, tegas, dan pemurah. Ia mengajarkan anak perempuannya menyanyikan lagu-lagu dalam buku lagu-lagu wajib. Ia membuatkan baju untuk anak perempuannya, mengajarkannya berhitung. Perempuan itupun memiliki strategi untuk mengajarkan anaknya disiplin. Tanpa mengenal teori pembentukan perilaku, tanpa sadar ia telah menerapkan sistem positive reinforcement dalam pembentukan perilaku anak perempuannya sejak kecil. Sederhana saja, ia menjanjikan hadiah pada anaknya apabila berhasil menghabiskan makanannya, atau selesai mengerjakan tugas. Imbalannya? Buah-buahan yang memang sengaja ia siapkan untuk pencuci mulut. Belakangan, anak perempuannya yang dapat menikmati pendidikan tinggi mulai menyadari bahwa yang dilakukan perempuan itu adalah sebuah cara sederhana untuk menumbuhkan kesukaan anak pada buah.
Entah ada hubungan apa antara angka 13 dengan perempuan itu, tapi di angka 13 perempuan itu selalu mendapatkan atau kehilangan anaknya. Di usia perkawinannya yang ke 13, ia mendapatkan seorang anak laki-laki sekaligus kehilangannya. Di usia anak perempuannya yang ke 13, perempuan itu kembali melahirkan seorang anak perempuan. Dan sekali lagi, keyakinan perempuan itu tentang anak pertamanya, adalah BENAR!
Usia perkawinannya melewati angka 28 tahun. Dan sepanjang 28 tahun juga, perempuan itu mengurusi suami dan kedua anak perempuannya, seorang diri. Juga mengurusi warung kecilnya untuk mengisi waktu luang.
Hingga suatu pagi, perempuan itu menghampiri anak perempuannya yang pertama dengan wajah panik, kebingungan dengan apa yang terjadi dengan suaminya yang sedang sesak nafas. Perempuan itu membawa suaminya ke rumah sakit. Perempuan itu mendampingi suaminya selama terbaring sakit, satu bulan penuh. Dan tidak satu haripun perempuan itu pergi dari sisi kekasihnya yang telah dinikahi berpuluh tahun.
Perempuan itu tidak menangis di depan anak perempuannya. Dia hanya menangis dalam doa panjangnya setiap kali shalat. Waktu tidurnya menjadi berkurang jauh, karena ia kerap terjaga, melakukan shalat dan doa, memohon untuk pria yang telah hidup bersamanya selama 28 tahun. Demi keluarganya, perempuan itu selalu bertanya pada anak perempuannya,”bagaimana kalau…..,” atau, “kamu setuju gak, kalau…..” Pertanyaan-pertanyaan yang meminta persetujuan untuk setiap langkah yang akan diambilnya untuk suami dan anak-anak perempuannya.
Dan perempuan itu masih berdiri tegak sambil memeluk anak-anak perempuannya, berkata dengan suara lirihnya, “terimakasih, kamu telah melakukan segalanya untuk dia,” pada detik ia menjadi janda. Dan hingga kini, setahun setelah suaminya pergi, perempuan itu masih berdoa panjang dalam shalatnya, setiap malam. Sesekali ia menangis ditengah keluh kesah doanya.
Perempuan itu kini hidup dengan dua anak perempuannya. Perempuan itu masih menyimpan rapi setiap kenangannya dengan suaminya, termasuk undangan saat menghadiri wisuda anak perempuan mereka. Perempuan itu tidak pernah sadar bahwa ia telah mengajarkan lebih banyak hal dari yang dapat dikatakannya pada anak-anak perempuannya.
Suatu malam, anak perempuannya mencuri dengan doa perempuan itu, “Tuhanku, berikan kebahagiaan pada anak-anakku, sekolah, rezeki dan jodoh terbaik. Berikan suamiku tempat terbaik di sisiMU.” Lirih doanya setiap malam. Perempuan itu tidak pernah meminta untuknya. Seumur hidupnya adalah mengabdi untuk keluarganya. Dan anak perempuan itu kini berharap agar ia menjadi kuat, tabah, sabar, dan ikhlas seperti perempuan itu.
Ini adalah cerita tentang seorang perempuan sederhana yang sabar, dengan keikhlasan luar biasa mengurus keluarganya. Cerita tentang ketabahan seorang perempuan yang kehilangan suami yang telah dinikahinya 28 tahun. Cerita tentang seorang anak perempuan yang berharap untuk memiliki hati seperti ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar