Setahun lalu, saya membaca
bukunya. Awalnya sebuah ketidaksengajaan, menemukan buku ‘Sabtu Bersama Bapak’ disalah satu rak buku Gramedia. Seperti
kebiasaan saya selama ini, mencoba mengintip isi buku, mulai dari membaca sinopsis
di halaman belakang. Lalu mencari sample
buku yang sudah dibuka. Setelah membaca synopsis, saya pun mulai membuka lembar
pertama, dan air mata saya sudah langsung mengembang. Karena kuatir malu
dilihat banyak orang, akhirnya saya pun langsung membawa buku itu ke kasir
untuk membayar, bergegas keluar toko buku, mencari restaurant terdekat dan melanjutkan membaca. Air mata saya kali
ini mengalir deras. Saya menyelesaikan bacaan itu hanya dalam beberapa jam.
Tahun ini, film Sabtu Bersama Bapak
dirilis. Saya sudah sejak lama menantikannya. Bukan sekedar penasaran dengan akting
para pemainnya, tetapi juga bagaimana visualisasi nilai dan pesan yang
disampaikan Bapak melalui buku menjadi film. Menyaksikan trailernya saya pun
merasa deg-degan, seperti menantikan sebuah kelahiran. Bahkan saya sempat
khawatir setelah menyaksikan filmnya, saya akan keluar dengan mata sembab.
Sebelum menonton, saya
membebaskan diri saya dari berbagai detail ingatan cerita dalam buku. Saya
tidak ingin kenikmatan saya menyaksikan film ini terganggu dengan kritik menyamakan
isi buku dan film. Bagaimanapun juga film dan buku adalah dua medium yang
sangat berbeda dalam menuangkan sebuah cerita. Menyaksikan Sabtu Bersama Bapak, saya tidak menyangka bahwa saya akan lebih
banyak tersenyum, bahkan tertawa, walaupun masih menitikkan air mata. Saya pun
keluar bioskop dengan bahagia.
Sabtu Bersama Bapak adalah cerita sederhana tentang sebuah keluarga
yang mencoba untuk berdiri tegak tanpa kehadiran sosok Bapak (Abimana Arya Satya). Bapak
yang dikisahkan menderita kanker harus meninggalkan anak-anaknya yang saat itu
masih usia SD. Bapak pun tidak ingin
meninggalkan keluarganya dalam kesusahan, maka ia menyiapkan segala sesuatunya
untuk keluarga kecilnya tersebut. Usaha restaurant ibu Itje, istrinya, sudah
direncanakan dan didukung Bapak sejak
beliau masih sehat. Bapak bahkan
menyiapkan beberapa rekaman video untuk kedua anaknya, Satya dan Cakra, untuk
disaksikan setiap hari sabtu. Semua pesan yang ingin disampaikan Bapak direkam dalam video menemani dan
mengantarkan anak-anaknya tumbuh dewasa. Bahkan Bapak menyimpan satu pesan
khusus yang baru dapat disaksikan jelang pernikahan anak laki-lakinya tersebut.
Konflik pun mulai terjadi di
rumah tangga Satya (Arifin Putra) yang tinggal nun jauh di Perancis. Satya yang
perfeksionis dan sangat terencana, menginginkan segala-sesuatunya sempurna.
Anak-anak yang pandai matematika, tidak nakal, istri yang pintar memasak dan
menjaga anak-anak. Satya menjadikan Bapak
sebagai role model, dan menelan utuh
semua pesan Bapak. Tidak ada yang
salah, hanya saja ada beberapa hal yang ia juga lupa untuk menerapkannya. Pada
akhirnya, sosok Bapak dan pesan-pesannya
juga yang kembali menuntun Satya “kembali” ke tengah keluarga kecilnya.
Sedangkan si bungsu Cakra (Deva
Mahenra), sibuk dengan pekerjaannya dan terus menjomblo. Muda, tampan, sukses,
mapan, jomblo, tapi kaku pada wanita. Awalnya Cakra jatuh hati pada salah
seorang rekan kantornya. Tapi ke-kaku-an Cakra saat pendekatan hingga ia pun
kalah langkah dari rekan kerjanya yang lain, meskipun sudah dibantu segala cara
oleh anak buah Cakra (Ernest dan Jennifer Arnelita). Akhirnya Cakra pun
menuruti keinginan Mama (Ira Wibowo) untuk dikenalkan dengan salah seorang anak
teman Mama. Ternyata semesta bekerja, gadis yang ditaksi Cakra di kantor adalah
gadis yang sama yang ingin dikenalkan Mama. Perjuangan menemukan pasangan Cakra
ditampilkan dengan sangat kocak dan menghibur, berpadu apik dengan berbagai
penuturan tentang nilai-nilai yang ditanamkan Bapak tentang pasangan hidup.
“Membangun sebuah hubungan itu membutuhkan dua orang yang solid. Yang
sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat
adalah tanggung jawab masing-masing. Bukan tanggung jawab orang lain.”
Sabtu Bersama Bapak adalah hiburan yang inspiratif. Akting para
pemainnya terasa cukup natural dan mengalir, terutama tim Cakra. Berbagai
celetukannya pun terasa hidup. Sebenarnya melihat deretan nama besar dalam film
itu menjadikan acting mereka tidak perlu diragukan lagi. Berbagai penyesuaian cerita
pun dilakukan. Sekali lagi, film dan buku adalah dua medium yang berbeda,
sehingga perlu dilakukan berbagai penyesuaian dalam visualisasi cerita. Dalam buku
penjelasan sangat detail. Sementara film, ada visual gambar yang dapat
menjelaskan tanpa perlu narasi atau kata-kata.
Barangkali terdengar berlebihan, tetapi
Sabtu Bersama Bapak memiliki arti
khusus untuk saya. Delapan tahun lalu saya kehilangan Bapak. Saya bersyukur disaat
menjelang kepergian Bapak, kami masih diberi waktu, kesempatan untuk menyiapkan
diri untuk sebuah kehilangan. 29 hari selama Bapak dirawat di ICCU, setiap hari
kami mempersiapkan diri untuk hal paling buruk yang mungkin terjadi.
Bapak saya mungkin tidak
meninggalkan pesan yang direkam dalam video seperti Bapak (Pak Garnida dalam Sabtu Bersama Bapak). Tapi bapak
meninggalkan pesan dengan caranya sendiri. Seperti Bapak yang menekankan pada keluarganya betapa pentingnya sebuah
perencanaan, bapak pun mencontohkan langsung kepada kami, betapa beliau sangat
terencana untuk pendidikan anak-anaknya. Bapak saya mungkin tidak banyak
berkata-kata, tetapi seperti juga Bapak,
beliau mencontohkan bagaimana kami harus menjadi kuat dan saling mendukung,
saling menjaga, memberikan dan menjadi yang terbaik untuk keluarga. Kami pun
tahu, sekalipun bapak tidak lagi hadir secara fisik, tetapi bapak akan selalu
ada bersama kami, dalam hati, pikiran dan ingatan kami.
Alfatihah..
Terimakasih untuk tulisan dan
filmnya yang indah Sabtu Bersama Bapak.Walau telah tiada, bapak akan selalu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar