aku pernah berjalan terlalu jauh
melangkah melalui batas hati
hingga sebuah nama tersimpan terlalu dalam
tapi jalan kita tak sama
setidaknya, tidak seperti mauku
dan aku kembali diam
memandangi dalam persimpangan
saat dua hati menempuh satu jalan yang lainnya
aku belajar dalam perjalanan
untuk melangkah perlahan
aku belajar untuk berhitung
dan pandai membaca arah hingga tak sesat
dan aku belajar
hati-hati, hati!
seperti puzzle yang terserak, berisi coretan tentang keping-keping ingatan akan kejadian, pikiran, dan perasaan.
Jumat, 12 Oktober 2012
Jalan
Suatu hari dalam sebuah perjalanan dari Bandung kembali ke Jakarta,
setelah rangkaian pekerjaan di kota Kembang itu, saya berusaha menikmati
perjalanan pulang dengan memandangi bintang yang kelap-kelip di atas
langit sepanjang tol Cipularang, sementara pikiran saya dipenuhi banyak
hal. Dengan mata yang dipaksa melek sambil mendengarkan driver kantor
yang asyik menyanyikan lagu-lagu ST12 (sekarang : Setia Band) ingatan
saya tiba-tiba melayang ke satu nama, Rizky.
Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang cerkita Rizky dan Ibu Paini (lihat di ; http://celotehayu.blogspot.com/2011/12/paini.html ). Memandangi panjangnya tol Cipularang, saat itu saya tahu bahwa saya memiliki arah dan tujuan. Saya tahu pasti kemana perjalanan saya akan berakhir, pulang, ke rumah, ke Jakarta, setidaknya itu yang saya tahu saat itu. Lalu kenapa saya tiba-tiba teringat Rizky? Bayi kecil yang saya kenal dengan nama Rizky itu mungkin harus menempuh jalan panjang untuk pengobatannya. Jalan panjang yang mungkin ia sendiri tidak tahu akan berujung kemana. Saya mengenalnya dari Ibu Paini, seorang perempuan berhati malaikat yang menolong Rizky dan Tuti, ibunya, tanpa memikirkan imbalan.
Diagnosa dokter menyebutkan Rizky menderita atresia esofagus. Rizky tidak memiliki saluran makanan langsung dari tenggorokan ke dalam lambung sehingga ia harus dibuatkan saluran sementara dengan memasang selang di dinding perutnya sebagai tempat untuk menyuntikkan susu. Selang itulah satu-satunya cara agar Rizky kecil dapat makan. Suatu hari, saya dan beberapa teman membawa Rizky konsultasi pada salah seorang dokter spesialis bedah anak di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta. Penjelasan dokter tentang kondisi Rizky serta rangkaian panjang rencana pengobatan dan resiko terburuk yang harus dihadapi membuat saya tercekat.
Seakan semesta bekerja dengan seluruh konspirasinya, beberapa hari kemudian, Ibu Paini mengirimkan saya sms tentang kondisi Rizky. Jadwal operasi Rizky masih belum bisa ditentukan karena rumah sakit masih belum memiliki kamar kosong untuk Rizky.
Malam itu, memandangi bentangan langit yang gelap sepanjang tol cipularang, pikiran saya kembali pada Rizky. Saya tidak tahu akan sepanjang apa perjalanan yang harus ditempuh Rizky untuk bisa menikmati kehidupan "normal"nya. Saya juga tidak tahu berapa lama perjalanan yang harus ditempuh Rizky untuk rangkaian pengobatannya. Saya hanya bisa berdoa dalam hati, "Tuhan, tuntun Rizky dan mudahkan perjalanannya."
Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang cerkita Rizky dan Ibu Paini (lihat di ; http://celotehayu.blogspot.com/2011/12/paini.html ). Memandangi panjangnya tol Cipularang, saat itu saya tahu bahwa saya memiliki arah dan tujuan. Saya tahu pasti kemana perjalanan saya akan berakhir, pulang, ke rumah, ke Jakarta, setidaknya itu yang saya tahu saat itu. Lalu kenapa saya tiba-tiba teringat Rizky? Bayi kecil yang saya kenal dengan nama Rizky itu mungkin harus menempuh jalan panjang untuk pengobatannya. Jalan panjang yang mungkin ia sendiri tidak tahu akan berujung kemana. Saya mengenalnya dari Ibu Paini, seorang perempuan berhati malaikat yang menolong Rizky dan Tuti, ibunya, tanpa memikirkan imbalan.
Diagnosa dokter menyebutkan Rizky menderita atresia esofagus. Rizky tidak memiliki saluran makanan langsung dari tenggorokan ke dalam lambung sehingga ia harus dibuatkan saluran sementara dengan memasang selang di dinding perutnya sebagai tempat untuk menyuntikkan susu. Selang itulah satu-satunya cara agar Rizky kecil dapat makan. Suatu hari, saya dan beberapa teman membawa Rizky konsultasi pada salah seorang dokter spesialis bedah anak di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta. Penjelasan dokter tentang kondisi Rizky serta rangkaian panjang rencana pengobatan dan resiko terburuk yang harus dihadapi membuat saya tercekat.
Seakan semesta bekerja dengan seluruh konspirasinya, beberapa hari kemudian, Ibu Paini mengirimkan saya sms tentang kondisi Rizky. Jadwal operasi Rizky masih belum bisa ditentukan karena rumah sakit masih belum memiliki kamar kosong untuk Rizky.
Malam itu, memandangi bentangan langit yang gelap sepanjang tol cipularang, pikiran saya kembali pada Rizky. Saya tidak tahu akan sepanjang apa perjalanan yang harus ditempuh Rizky untuk bisa menikmati kehidupan "normal"nya. Saya juga tidak tahu berapa lama perjalanan yang harus ditempuh Rizky untuk rangkaian pengobatannya. Saya hanya bisa berdoa dalam hati, "Tuhan, tuntun Rizky dan mudahkan perjalanannya."
Langganan:
Postingan (Atom)