Suatu hari dalam sebuah perjalanan dari Bandung kembali ke Jakarta,
setelah rangkaian pekerjaan di kota Kembang itu, saya berusaha menikmati
perjalanan pulang dengan memandangi bintang yang kelap-kelip di atas
langit sepanjang tol Cipularang, sementara pikiran saya dipenuhi banyak
hal. Dengan mata yang dipaksa melek sambil mendengarkan driver kantor
yang asyik menyanyikan lagu-lagu ST12 (sekarang : Setia Band) ingatan
saya tiba-tiba melayang ke satu nama, Rizky.
Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang cerkita Rizky dan Ibu Paini (lihat di ; http://celotehayu.blogspot.com/2011/12/paini.html
). Memandangi panjangnya tol Cipularang, saat itu saya tahu bahwa saya
memiliki arah dan tujuan. Saya tahu pasti kemana perjalanan saya akan
berakhir, pulang, ke rumah, ke Jakarta, setidaknya itu yang saya tahu
saat itu. Lalu kenapa saya tiba-tiba teringat Rizky? Bayi kecil yang
saya kenal dengan nama Rizky itu mungkin harus menempuh jalan panjang
untuk pengobatannya. Jalan panjang yang mungkin ia sendiri tidak tahu
akan berujung kemana. Saya mengenalnya dari Ibu Paini, seorang perempuan
berhati malaikat yang menolong Rizky dan Tuti, ibunya, tanpa memikirkan
imbalan.
Diagnosa dokter menyebutkan Rizky menderita atresia esofagus.
Rizky tidak memiliki saluran makanan langsung dari tenggorokan ke
dalam
lambung sehingga ia harus dibuatkan saluran sementara dengan memasang
selang di dinding perutnya sebagai tempat untuk menyuntikkan susu.
Selang itulah satu-satunya cara agar Rizky kecil dapat makan. Suatu
hari, saya dan beberapa teman membawa Rizky konsultasi pada salah
seorang dokter spesialis bedah anak di salah satu rumah sakit terbesar
di Jakarta. Penjelasan dokter tentang kondisi Rizky serta rangkaian
panjang rencana pengobatan dan resiko terburuk yang harus dihadapi
membuat saya tercekat.
Seakan semesta bekerja dengan seluruh konspirasinya, beberapa hari
kemudian, Ibu Paini mengirimkan saya sms tentang kondisi Rizky. Jadwal
operasi Rizky masih belum bisa ditentukan karena rumah sakit masih belum
memiliki kamar kosong untuk Rizky.
Malam itu, memandangi bentangan langit yang gelap sepanjang tol
cipularang, pikiran saya kembali pada Rizky. Saya tidak tahu akan
sepanjang apa perjalanan yang harus ditempuh Rizky untuk bisa menikmati
kehidupan "normal"nya. Saya juga tidak tahu berapa lama perjalanan yang
harus ditempuh Rizky untuk rangkaian pengobatannya. Saya hanya bisa
berdoa dalam hati, "Tuhan, tuntun Rizky dan mudahkan perjalanannya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar