Kita memanggilnya dengan sebutan bapak, ayah, papa, papi, dedi, abi, dll. Dalam salah satu cerita, pernah dikisahkan ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah Saw, “siapa orang yang harus kuhormati?”. Jawab Nabi Saw, “ibumu,” lalu orang itu kembali bertanya, “lalu siapa lagi ya Rasulullah?.” Dan Rasul kembali menjawab, “ibumu.” Dan orang itu kembali bertanya dengan keheranan, “siapa lagi ya Rasulullah?”, dan kembali dijawab dengan keyakinan, “ibumu.” Belum puas lagi, orang itu kembali bertanya, “lalu siapa lagi ya Rasul?,” dan Rasulullah Saw pun menjawab, “ayahmu.” Begitulah kira-kira mengapa seorang ibu mendapatkan penghormatan hingga tiga kali lipat, bahkan ada ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu.” Kita tidak akan ada tanpa ayah dan ibu, dan ini adalah suatu kepastian. Ada hari khusus untuk perayaan cinta pada ibu. Untuk ayah pun ada, walaupun di Indonesia hal ini bukanlah hal yang umum dilakukan. Lalu, pertanyaan saya, “seberapa baik kita mengenal ayah/bapak/papa/papi/dedi/abi?”. Dan ini cerita sederhana tentang para ayah, dari para ayah yang saya kenal, dari mereka tentang ayah-ayah mereka, dan juga tentang bapak yang saya kenal.
Suatu malam di jalan menuju kos, seorang penjual mpek-mpek melintas sambil menenteng barang dagangannya. Seorang bapak kurus berusia sekitar 40 tahun. Setiap malam dia melintas membawa dagangannya sambil berteriak, “mpek-mpek…mpek-mpek.” Suara nyaringnya tentu ditujukan untuk menarik pembeli. Tetapi, berapa banyak orang yang tertarik makan pempek di tengah malam? Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, dan dagangannya masih utuh. Bersama seorang teman saya membeli beberapa dagangannya. Jujur, alasan kami membeli saat itu bukan karena kami menginginkannya, tetapi lebih karena kasihan, membayangkan jarak yang harus ia tempuh sementara hari semakin malam dan dagangannya masih utuh. Semuanya tentu dilakukannya demi keluarganya, demi si anak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Tukang bakso yang biasa lewat di depan rumah saya sudah berjualan sejak puluhan tahun lalu. Sejak saya masih kanak-kanak dan harga bakso semangkok masih dapat dibeli dengan harga Rp. 500,/ mangkuk. Dan kini harga permangkuknya mencaai 10 kali lipat. Saya mengenal tukang bakso ini, karena rumahnya yang juga tidak berapa jauh dari rumah saya. Anak-anaknya tentu dapat menikmati kehidupan yang lebih baik dari usaha bakso ini. Setidaknya itu yang saya lihat, ketika anak-anak tersebut melintas dengan mengendarai sepeda motor sementara ayahnya masih jalan berkeliling mendorong gerobak bakso.
Lalu, ada seorang tukang bakso lainnya yang saya kenal karena pekerjaan saya. Setiap harinya dia harus mendorong gerobak baksonya hingga berpuluh kilometer dari rumahnya untuk berjualan. Rumahnya di daerah Kedoya sementara dia berdagang di daerah Cengkareng. Saya tidak terlalu paham jaraknya, hanya menduga-duga saja sekitar 30km. Dan dari usaha bakso ini (juga dari usaha jamu gendong sang istri), bapak ini dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Bukan satu, tapi dua anaknya.
Dan saya ingat pekerjaan bapak sebagai pemadam kebakaran. Dulu, saya sering merasa tidak adil karena jam kerja bapak yang tidak biasa dan berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Bagi jadwal kerja bapak, semua tanggal di kalender berwarna hitam. Tetapi lama-kelamaan, saya mulai mengerti ada kewajiban yang harus diselesaikannya.
Pernahkah terpikir apa yang telah dilakukan ayah kita, untuk dapat memberikan kehidupan terbaik bagi keluarganya?
Lalu, saya mengenal seorang ayah yang karena pekerjaannya harus rela terpisah jauh dari keluarganya. Saya tidak pernah habis pikir apa yang ada di otaknya sehingga membuat pilihan sedemikian rumit. Suatu malam ayah ini mengabarkan saya kalau ia saat itu sedang berada di Jakarta hanya dalam hitungan hari, demi menghadiri ulang tahun putri kecilnya. Padahal saat itu ia berada di Liberia, negeri nun jauh disana, yang entah apakah akan dapat dengan mudah saya temukan dalam peta dunia. Untuk sampai di Jakarta, ia harus menempuh penerbangan 18 jam, menyeberangi dua samudra (Atlantik dan Hindia) dan dua benua (Afrika dan Asia). Toh hal ini tetap dilakukannya. Malam itu saya dikejutkan dengan telepon singkat, “neng, saya di Jakarta nih, datang kemarin tapi cuma sebentar, besok Abi Ulangtahun, lusa saya balik.” Dan saya hanya bisa bengong menerima telepon singkat itu. Saya mengenal putri kecilnya yang berulangtahun. Tidak dekat, hanya sesekali bertemu saat saya bertandang ke rumah keluarga mereka. Atau melihat foto-fotonya melalui facebook. Atau membaca cerita yang dituliskan si ayah tentang kebanggaan pada putra-putrinya.
Seorang teman yang baru saya kenal, tinggal terpisah jauh dari keluarganya. Bukan karena pekerjaan seperti ayah yang sebelumnya saya ceritakan, tetapi karena teman ini masih menyelesaikan pendidikannya. Saya masih ingat bagaimana gembiranya teman ini saat mengabarkan bahwa sang istri akan segera melahirkan. “Yu, istri gw mau melahirkan, udah di RS nih, bantu doain yah,” begitulah isi pesan singkatnya melalui yahoo messenger. Saya kemudian mengingatkan sekaligus mencandainya agar berdoa dan tidak online saja. Tapi kemudian saya tergelak sekaligus tertohok saat mendengar jawabannya, “gw juga lagi baca quran nih, sambil sms ke RS lewat internet, nomor yang satu lagi gak bisa.” Saya baru tersadar bahwa saat itu, sekuat tenaga dengan segala cara teman ini berusaha untuk selalu terhubung dengan keluarganya. Dan setelah anaknya lahir, ia kembali mengabarkan dengan penuh keriangan. Putri kecilnya sudah lahir, sehat, dan tidak kekurangan satu apapun.
Suatu hari teman ini juga bercerita tentang kekesalannya saat ada yang berpendapat bahwa nama putri kecilnya terkesan “biasa”. Dan saya hanya bisa mengulum senyum sambil mengatakan, “tidak ada yang benar-benar original di atas muka bumi ini. Dan bagi seorang ayah, nama anaknya adalah nama yang paling indah, abaikan saja yang lainnya. Kita shalat pun dengan doa yang sama, lalu kenapa harus kesal karena kesamaan dengan yang lainnya?, nama saya jauh lebih biasa, menjadi nama warung makan, stiker yang ditempel di angkot, bahkan presiden SBY memberikan nama yang sama seperti nama saya kepada anak harimau di ragunan.” Apa yang salah dengan menjadi sama? Asalkan bukan mencontek yah…
Seorang teman yang lain, ayahnya bekerja masih di negara yang sama dengan tempat tinggal keluarganya. Namun, pekerjaannya mengharuskan ia sering bepergian ke luar kota. Pekerjaan yang unik sebagai wasit PSSI, kemudian pengawas pertandingan PSSI. Saya hanya bisa ternganga kagum saat mengetahui profesi tersebut. Namun, sorot mata kebanggaannya pada sang anak dapat saya lihat dengan jelas saat menjemput dan mengantarkan putrinya yang harus menuntut ilmu ke negeri matahari terbit. Saya tahu bahwa ditengah kesibukan jadwal pertandingannya, dia sengaja datang menjemput putrinya, sendiri ke bandara, dan memastikan anak gadisnya itu sampai dengan selamat. Lalu dengan riangnya bercerita pada kami, yang juga ikut menjemput tentang berbagai hal.
Sorot mata bangganya terpancar dengan jelas, sama seperti dua tahun sebelumnya saat menghadiri wisuda anak gadisnya tersebut. Sorot mata yang sama seperti yang ditampilkan Bapak saat memakai jas, hadir di balairung, meski berpanas-panas tetapi tetap sabar mengikuti berbagai prosesi. Padahal, kami, anak-anaknya bukanlah mahasiswa cum laude yang namanya akan dipanggil oleh panitia sehingga maju ke depan disaksikan ribuan mata. Untuk dapat melihat kami ada didalam gedung itu, bapak dan ayah teman tadi mungkin harus menunggu keberuntungan saat sorot kamera menangkap sosok kami ditengah kerumunan orang bertoga lainnya.
Sorot kebanggaan yang sama yang saya temui saat saya lulus ujian SPMB (UMPTN/SIPENMARU, dkk). Hari itu, kekesalan saya memuncak karena bapak tetap berangkat kerja dan tidak dapat menemani saya ke warnet untuk dapat melihat pengumuman pada dini hari. Saya pun harus rela ke warnet sehabis subuh sendirian. Malangnya, koneksi internet saat itu tidak cukup baik sehingga saya harus pulang dengan tangan kosong. Sampai di rumah, bapak sudah duduk manis di depan rumah dengan koran yang memuat pengumuman SPMB dan sebuah kaca pembesar. Segera, beliau meminta saya mencari nama dan nomor ujian saya diantara jutaan nama lainnya. Saya menemukan nama saya, dan bapak segera memberi warna pada nama tersebut. Koran itu masih disimpannya hingga kini. Bahkan undangan untuk menghadiri wisuda saya 4 tahun lalu, masih juga disimpannya dengan rapi.
Pernahkah kita berpikir betapa bangganya ayah/ bapak kita pada anak-anaknya? Mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing yang seringkali tidak kita pahami. Mereka yang berada jauh pun berusaha untuk selalu terhubung, memastikan bahwa mereka mengetahui setiap detail perubahan anak-anaknya dan setiap detik yang dihabiskan oleh anak-anaknya.
Pernahkah terpikirkan oleh kita pengorbanan yang dilakukan oleh ayah/bapak/daddy/abi/papa/papi? Pengorbanan kecil yang sering terlupakan, tetapi itulah bukti nyatanya akan betapa cintanya dia pada anak-anaknya.
Seorang teman sedang dalam perjalanan dari Bandung menuju Depok. Biasanya ia telah memiliki jadwal yang pasti untuk menggunakan travel ataupun bus. Namun hari itu, ketika sampai di terminal, bus yang akan dinaikinya sudah hampir berangkat dan penumpang mulai berdesakan untuk naik. Ayahnya yang saat itu mengantar, langsung melesat menaiki bus tersebut untuk mencarikan kursi bagi putrinya, karena sang ayah tahu hari minggu sore merupakan jadwal bus yang cukup padat. Ayahnya tidak lagi muda, usianya sudah melewati usia pensiun. Membayangkan sang ayah lari mengejar bus dan berebutan tempat duduk tentu bukanlah hal yang mengenakkan. Dan hal itu tetap dilakukannya demi putrinya agar nyaman selama perjalanan menuju depok.
Lalu teman yang lain diantar oleh ayahnya menuju kos di depok dari rumahnya di daerah Tangerang. Perjalanan dari Tangerang menuju Depok pada senin pagi tidaklah terlalu padat karena kemacetan biasanya terjadi pada arah sebaliknya. Sesampainya di kos, anak perempuannya ini baru tersadar bahwa beberapa barang yang dibawanya termasuk dompet masih tertinggal dimobil. Setengah khawatir, dia menelepon ayahnya untuk memberitahu tanpa berharap kalau ayahnya akan kembali untuk mengantarkan barang-barang tersebut sementara ayahnya juga harus mengejar waktu untuk pergi ke kantor. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya. Ayahnya yang hampir mencapai setengah perjalanan, kembali memutar dan mengantarkan barang-barang yang tertinggal tersebut.
Bapak selalu datang setiap kali saya tidak pulang ke rumah, bertahan di kos karena tumpukan tugas ataupun jadwal ujian. Sejak subuh sudah berangkat dari rumah, agar bisa menikmati jalanan Jakarta yang lowong menuju depok dan agar masakan ibu yang dibawanya masih hangat untuk saya nikmati saat sarapan. Dan saya, masih baru bangun tidur saat beliau mengetuk pintu kamar kos saya.
Setiap kali saya pulang malam, bapak (dan juga ibu saya) masih terjaga dan tidur di ruang tamu. Memastikan anak perempuannya pulang dengan selamat. Bapak tidak marah saat anak perempuannya pulang dan mengadu sambil menangis karena handphonenya kecopetan. Pertanyaan singkatnya hanyalah, “kamu gak apa-apa kan? Hp aja yang hilang? Besok kita beli lagi.” Sementara saya setengah mati ketakutan dimarahi.
Saat menyaksikan film 3 idiots, saya tidak bisa tidak menangis, saat pertama menontonnya, kedua, ketiga dan terus setiap kali menontonnya. Saat tokoh Farhan mengatakan pada ayahnya mengenai minatnya yang besar pada fotografi. Betapa Farhan sangat mencintai fotografi sebagai passionnya, sementara sang ayah menginginkannya menjadi insinyur. Farhan mempertanyakan kebahagiaan siapakah yang ingin dilihat oleh ayahnya. Hati ayahnya yang keras pun akhirnya luluh. Seketika saya tersadar betapa yang diinginkan oleh seorang ayah hanyalah kebahagiaan anak-anaknya.
Cerita yang serupa dialami oleh beberapa teman saya. Salah seorang teman pernah bercerita bahwa ayahnya memberi ultimatum, “berhenti kerja dan selesaikan kuliah!! Berapa kamu dibayar dari pekerjaanmu? Dan jumlah itu yang akan saya bayarkan setiap bulannya asalkan kamu tetap meneruskan kuliah.” Peringatan paling keras yang pernah diterima seumur hidupnya hingga ia tak ingin melawan. Lalu, ayahnya meminta untuk menjadi PNS di daerah kelahirannya. Kali ini, teman tersebut ingin mempertahankan passionnya, hingga ia memberanikan diri untuk tidak menerima tawaran tersebut, meskipun respon yang diterimanya tidak sepenuhnya menyenangkan. Seperti tokoh Farhan dalam 3 idiots, ia bersikukuh pada pendiriannya dan perlahan ia mulai bisa membuktikannya.
Cerita yang hampir sama juga dialami oleh teman yang lain, karena ayahnya, orangtuanya meminta pulang ke kampung halaman dan menjadi PNS, mengabdi didaerahnya. Teman tersebut mengikutinya, dengan alasan membahagiakan orangtuanya. Sebuah alasan yang sangat mulia bagi saya. Dan pada saya, dia masih sesekali bercerita akan kembali meraih apa yang selama ini diimpikannya, suatu hari kelak.
Bapak melarang saya berkuliah di luar Jakarta, dengan alasan sederhana, “semua orang berlomba-lomba kerja dan kuliah di Jakarta, kenapa kamu harus keluar Jakarta, apa yang kamu takuti? Takut tidak lulus? Pasti bisa!!” Keyakinan kuatnya juga yang akhirnya membulatkan setiap keputusan yang saya ambil.
Saya selalu ingat tentang cerita seorang teman yang baru merayakan ulang tahunnya yang ke-30. Dihari jadinya tersebut, sang ayah memberinya hadiah sebuah jam tangan yang keren (menurutnya) dengan sepucuk surat kecil bertuliskan "kapan kawin?". Surat singkat dari seorang ayah yang saya yakin 100000% memikirkan kebahagiaan anaknya tersebut.
Tapi bapak/ayah/daddy/abi/papa/papi juga manusia. Mereka juga bisa lemah, bisa menangis dan jatuh.
Saya hanya bisa diam manakala seorang teman menceritakan kisah pilunya saat ia harus kehilangan anak pertamanya dan juga istrinya pada saat yang bersamaan. Jarak fisik diantara mereka menyebabkan ia tidak dapat mendampingi disaat-saat terakhir. Dia hanya bisa menangis sendirian. Dan saya tahu dukanya terlalu dalam untuk dapat kembali melangkah dengan tegak.
Dan bapak, saat kehilangan anak lelakinya padahal baru saja dilahirkan, putra yang selama ini diimpikannya, masih bisa tersenyum pada saya. Padahal saya tahu kalau dia baru saja membalik badannya dan mengelap airmatanya. Dan dengan tenangnya dia masih bertanya, “mau ikut mandiin gak? Lihat sini yah,” dan saya hanya berdiri mematung, diam.
Lalu, saya mengenal seorang yang lain, yang kehilangan istrinya sementara ketiga anaknya masih sangat kecil. Dari tulisan-tulisannya, saya tahu bahwa dia sangat limbung. Tapi toh ia harus berdiri tegak demi ketiga anak-anak mereka yang usianya bahkan belum mencapai 10 tahun. Saya tahu tidak mudah baginya untuk mendamaikan antara otak dan hatinya. Ia seorang professional yang sangat tahu apa yang seharusnya dilakukan. Tapi disatu sisi, dia juga ada pada posisi subyek, yang merasakan.
Seorang teman saat ini belum dikaruniai anak, tetapi mereka telah memulai perannya sebagai ayah dan ibu. Setidaknya dengan cara itulah mereka saling memanggil. Panggilan yang sangat indah. Dan saya yakin bahwa kelak mereka akan menjadi ayah dan ibu yang hebat.
Sementara teman yang lain, sedang sangat bahagia menunggu kelahiran anak pertamanya. Ayah yang sangat bahagia (dia sudah menjadi ayah bahkan sejak istrinya hamil). Berbagai tulisan dibuatnya untuk istri dan anaknya. Agar anaknya mengetahui kelak bagaimana ia saat berada didalam kandungan sang ibu. Agar anaknya mengetahui kelak apa-apa saja yang sebenarnya ia pelajari di rahim ibunya.
Setiap ayah/bapak/daddy/abi/papa/papi memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaannya. Mereka bukan orang yang suka mengumbar kata “sayang”. Dan ungkapan itu jauh lebih nyata dalam setiap tindakan mereka.
Tapi, pernahkah terpikir, kalau kita, anak-anak mereka dapat mengatakannya langsung betapa kita menyayangi mereka. Mengatakan betapa kita berterimakasih atas semua usahanya menjadikan kehidupan kita menjadi layak dan cukup?
Saya pernah menyesal karena tidak sempat mengatakannya. Setidaknya, saya tidak mengatakannya langsung, dan hanya bisa berbisik sambil berharap kalau dia bisa mendengarnya dalam tidur panjangnya. Sekarang, saya hanya ingin mengajak teman, sahabat atau siapapun yang membaca tulisan ini untuk lebih mengenal dia, yang selama ini kita panggil ayah/bapak/abi/daddy/papa/papi, dan mengatakan padanya betapa kita menyanyanginya. Lalu tunjukkan dengan nyata, kalau kita benar peduli pada apa yang dilakukannya. Seorang teman dan kakak bagi saya pernah bercerita betapa bahagianya dia saat menerima sepotong sms dari anak perempuannya, "bapak, terimakasih yah. laptopnya sudah bisa dipakai." sesederhana itu.
Beruntunglah yang masih memiliki kesempatan untuk dapat mengatakan betapa cinta dan sayangnya kita pada ayah, karena seorang teman yang saya kenal tidak pernah mengenal ayahnya. Tuhan terlalu sayang dengan ayahnya, sehingga terlebih dulu mengambilnya. Jadi, mengapa kita harus menyia-nyiakan kesempatan ini?
lagu ini (http://www.youtube.com/watch?v=UBGa3Lfwa0o) akan selalu mengingatkan saya pada para ayah di dunia, betapa mereka mencintai anak-anaknya, keluarganya, dan juga mengingatkan pada dia yang damai di peluk bumi.
terimaksih banyak atas coret2an nya
BalasHapus