Mendengarkan nyanyian diatas dibawakan oleh paduan suara mahasiswa
Undip seketika membawa ingatan saya pada masa kecil, ketika bapak meninabobokan
saya dengan tembang-tembang jawa. Ketika
itu saya mendengarnya tanpa disengaja. Pekerjaan saya di kantor yang juga
berhubungan dengan salah satu tayangan talkshow televisi yang mengangkat kisah
paduan suara yang mendunia (lihat videonya disini http://www.youtube.com/watch?v=gUJnxQj0wBo
). Mendengarkan mereka latihan membawakan lagu gundul-gundul pacul, seketika
saya merasa tersihir. Bukan hanya oleh kemerduan suaranya, saya diam menikmati
nyanyian itu dengan syahdu sedangkan ingatan saya bermain-main dengan kelebat
kenangan.
Beberapa hari lalu, saya mendapat sms tentang penghargaan atas salah
satu tulisan tim majalah dimana saya pernah terlibat. Walaupun penghargaan
tersebut bukan atas nama saya, tapi rasa haru dan bangga meliputi seluruh
persendian rasa. Beritanya sebenarnya tidak terlalu mengagetkan karena
sebelumnya saya sudah diinformasikan salah satu mantan redaktur majalah
tersebut ada tulisan yang menjadi nominasi. Tapi, saat sms itu menjelaskan
bahwa salah satu reporter majalah kami yang sayangnya hanya berumur satu tahun
itu, mendapatkan penghargaan “Jurnalis Muda Berbakat Adiwarta 2012”, tak pelak
ada air mata haru, bahagia dan bangga yang memaksa keluar, kalau saja saya
tidak ingat saat itu sedang berdiri di tengah keramaian bandara.
Lalu, siang ini ada sebuah sapaan di situs jejaring sosial pertemanan
dari salah satu penyiar radio dimana saya pernah (juga) menjadi bagian dari
lini program yang sama dengan majalah. “Kamu gak kangen aku?” Ah.... saya ingat
setiap jumat sore saya sudah duduk manis di stasiun radio itu, menyusun
rundown, aneka materi yang bisa dibahas dalam satu jam siaran, memastikan narasumber
yang bisa dihubungi, hingga memastikan setiap segmen acara tidak melewati batas
durasi yang ditentukan. Ada ketegangan dan deadline
yang memusingkan. Tapi diluar semua itu, ada pertemanandan team
work yang menyenangkan.
Ingatan tentang masa lampau itu selalu menjadi kenangan dalam waktu
yang tak berbatas. Ingatan tentang
segala hal yang pernah dimiliki itu menjadi harta karun, yang kita simpan
dengan baik, dijaga sehingga tak mudah lupa. Bukan hanya tawa, tapi juga peluh
dan setiap tetes air mata yang pernah ada berubah menjadi kekayaan pengalaman,
penuh makna.
Barangkali Tuhan terlalu sayang kepada saya, sehingga terus-terusan
melingkupi dengan kebahagiaan sekalipun dari hal-hal yang sudah tak lagi dimiliki.
Yang hilang mungkin tak terganti, tapi selalu ada kenangan berbalut rindu yang
mengingatkan kita untuk terus bersyukur bahwa kita pernah memilikinya.
aku pernah berjalan terlalu jauh
melangkah melalui batas hati
hingga sebuah nama tersimpan terlalu dalam
tapi jalan kita tak sama
setidaknya, tidak seperti mauku
dan aku kembali diam
memandangi dalam persimpangan
saat dua hati menempuh satu jalan yang lainnya
aku belajar dalam perjalanan
untuk melangkah perlahan
aku belajar untuk berhitung
dan pandai membaca arah hingga tak sesat
dan aku belajar hati-hati, hati!
Suatu hari dalam sebuah perjalanan dari Bandung kembali ke Jakarta,
setelah rangkaian pekerjaan di kota Kembang itu, saya berusaha menikmati
perjalanan pulang dengan memandangi bintang yang kelap-kelip di atas
langit sepanjang tol Cipularang, sementara pikiran saya dipenuhi banyak
hal. Dengan mata yang dipaksa melek sambil mendengarkan driver kantor
yang asyik menyanyikan lagu-lagu ST12 (sekarang : Setia Band) ingatan
saya tiba-tiba melayang ke satu nama, Rizky.
Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang cerkita Rizky dan Ibu Paini (lihat di ; http://celotehayu.blogspot.com/2011/12/paini.html
). Memandangi panjangnya tol Cipularang, saat itu saya tahu bahwa saya
memiliki arah dan tujuan. Saya tahu pasti kemana perjalanan saya akan
berakhir, pulang, ke rumah, ke Jakarta, setidaknya itu yang saya tahu
saat itu. Lalu kenapa saya tiba-tiba teringat Rizky? Bayi kecil yang
saya kenal dengan nama Rizky itu mungkin harus menempuh jalan panjang
untuk pengobatannya. Jalan panjang yang mungkin ia sendiri tidak tahu
akan berujung kemana. Saya mengenalnya dari Ibu Paini, seorang perempuan
berhati malaikat yang menolong Rizky dan Tuti, ibunya, tanpa memikirkan
imbalan.
Diagnosa dokter menyebutkan Rizky menderita atresia esofagus.
Rizky tidak memiliki saluran makanan langsung dari tenggorokan ke
dalam
lambung sehingga ia harus dibuatkan saluran sementara dengan memasang
selang di dinding perutnya sebagai tempat untuk menyuntikkan susu.
Selang itulah satu-satunya cara agar Rizky kecil dapat makan. Suatu
hari, saya dan beberapa teman membawa Rizky konsultasi pada salah
seorang dokter spesialis bedah anak di salah satu rumah sakit terbesar
di Jakarta. Penjelasan dokter tentang kondisi Rizky serta rangkaian
panjang rencana pengobatan dan resiko terburuk yang harus dihadapi
membuat saya tercekat.
Seakan semesta bekerja dengan seluruh konspirasinya, beberapa hari
kemudian, Ibu Paini mengirimkan saya sms tentang kondisi Rizky. Jadwal
operasi Rizky masih belum bisa ditentukan karena rumah sakit masih belum
memiliki kamar kosong untuk Rizky.
Malam itu, memandangi bentangan langit yang gelap sepanjang tol
cipularang, pikiran saya kembali pada Rizky. Saya tidak tahu akan
sepanjang apa perjalanan yang harus ditempuh Rizky untuk bisa menikmati
kehidupan "normal"nya. Saya juga tidak tahu berapa lama perjalanan yang
harus ditempuh Rizky untuk rangkaian pengobatannya. Saya hanya bisa
berdoa dalam hati, "Tuhan, tuntun Rizky dan mudahkan perjalanannya."
Pertanyaan sederhana yang jawabannya sangat tidak sederhana. Menjadi semakin rumit karena setiap orang memiliki standar "bahagia" yang berbeda.
Sebagian dari kita, (mungkin) merasa bahagia ketika :
Di sekolah mendapat nilai bagus.
Saat kuliah mendapat IPK tinggi
Di kantor, dapat gaji tinggi dan bonus besar.
Di perlombaan, bisa menang di urutan pertama.
Ketika angka timbangan badan menunjukkan skala ideal.
Bahkan, dengan pasangan.. kita merasa bahagia saat selalu menjadi yang nomor satu.
Tanpa disadari, angka menjadi ukuran satuan kebahagiaan (setidaknya untuk saya saat ini).
Bahagia itu bukan angka. Kita yang mengontrol diri kita sendiri untuk menetapkan batas kebahagiaan kita, bukan sebaliknya. Ada yang pernah bilang ke saya, "hidup itu penuh perhitungan." Saya setuju, tapi perhitungan hidup bukan semata soal angka karena terlalu banyak hal lain yang kata dosen metodologi penelitian (metpen) saya dulu, "intangible", alias tidak terukur.
Hari ini saya bahagia, ketika duduk di depan mesjid menyaksikan beberapa siswa tunanetra bergandengan tangan sambil bercanda riang nyaris tanpa beban, jalan beriringan keluar dari mesjid. Saya bahagia melihat mereka sangat mandiri. Saya bahagia sekaligus malu dengan diri saya sendiri.
Dan saya bahagia ketika bisa menjawab mbak sales fitness center saat bertanya, "mau turun berapa kilo?", jawab saya, "saya mau hidup sehat, ini bukan tentang berapa banyak saya turun berat badan, tapi seberapa besar komitmen dan motivasi saya untuk tetap datang dan hidup sehat."
Bahagia itu bukan angka, karena kita bukan robot yang dikendalikan kode angka dalam menjalaninya.
Tahukah kamu bahwa 1000 berarti banyak?
Loro Jonggrang meminta Bandung Bondowoso untuk membangun 1000 candi dalam satu malam.
Bangunan dengan kata 1000, seperti Lawang Sewu pun selalu berarti banyak, setidaknya begitulah yang berlaku untukku.
Bertahun lalu, saat aku masih berseragam putih-merah, hatiku selalu bersorak gembira manakala uang jajanku mendapat bonus hingga 1000 rupiah.
Tiap kali Idul Fitri, aku bersemangat untuk jalan keliling atas nama silaturahmi, mengharapkan para tetangga membagi lembar uang 1000 yang masih tersimpan licin.
Katanya, kita bisa membuat 1000 burung bangau kertas agar keinginan kita terkabul. Tapi, aku tahu, 1000 atau 10.000, bahkan 1.000.000 burung bangau kertas yang kubuat pun tak akan membuat 1000 hari ini kembali.
Kini, saat 1000 kata tak pernah cukup untuk menceritakan setiap waktu yang pernah kita lewati dalam kesederhanaan, dengan ringan tertawa atau bahkan sedikit tersedu.
1000 cerita tak pernah habis dibagi tentang malam-malam saat dongeng dan tembang jawa mengiringi tidur
1000 senyum tak usai tersungging saat kelebat wajah melintas dalam ingatan
Hingga yang tersisa adalah 1000 doa tak putus untuk menemani langkahmu di sana
Kau tahu, 1000 hari yang dilewati tak lagi sama.
1000 langkah terasa sangat melelahkan.
Tapi, 1000 harapan kami tak pernah putus.
Mengiringi doa-doa yang terbang menemanimu hingga ribuan hari lainnya.
Ini adalah cerita tentang seorang perempuan. Cerita yang hadir karena diingatkan oleh si Tuan Setan. Cerita yang hadir karena saya merasa tidak cukup adil telah banyak menceritakan tentang kekasih perempuan itu, sementara cerita tentang perempuan itu belum pernah ditulis. Ini cerita tentang seorang perempuan sederhana yang hanya menjalankan kariernya di rumah, sebagai ibu dan istri. Sekolahnya hanya diselesaikan sampai SMP. Di usia mudanya, ia datang ke Jakarta mengikuti sang kakak. Garis nasib mengantarkannya untuk menikah di usia muda, 18 tahun. Dan saat usianya baru genap dua puluh tahun, anak pertamanya lahir, juga seorang perempuan.
Perempuan itu membesarkan anak perempuannya sekaligus mengurusi suaminya seorang diri, tanpa pembantu. Penghasilan suaminya tidak cukup untuk dapat membayar seorang pembantu rumah tangga di rumah kontrakan mereka. Lagipula perempuan itu merasa bahwa ia masih dapat melakukan semua tugas rumah tangga seorang diri. Sama sekali tidak merepotkan, bahkan ia masih dapat melakukan pekerjaan sampingan walaupun sekedar hobi dan dapat menambah sedikit penghasilan, menjahit. Tidak hanya menjahit, tetapi perempuan itu pun mencoba peruntungan dengan membuat berbagai kue kering, berbagai penganan yang dititipkan di warung-warung serta membuka warung kelontong kecil-kecilan di rumah mereka yang kecil. Dan semua usaha yang dijalankan perempuan itu selalu berhasil menambah penghasilan sang suami.
Anak perempuannya tumbuh besar. Dan perempuan itu selalu mengatakan, "ini anak pertama saya," Walaupun anak perempuannya selama 11 tahun menjadi anak tunggal. Bahkan setiap kali teman atau tetangga berkeras mengatakannya sebagai anak tunggal, perempuan itu tetap bersikukuh dengan pendapatnya, "ini anak pertama saya."
Dan perempuan itu BENAR!! Anak perempuannya adalah anak pertama. Tepat saat anak perempuannya berusia 11 tahun 6 bulan, tepat di hari ulang tahun perkawinannya yang ke 13, perempuan itu melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak laki-laki yang selama ini diidamkan olehnya dan suaminya untuk melengkapi keluarga kecil mereka. Namun, Tuhan terlalu sayang pada perempuan itu dan bayi laki-lakinya. Perempuan itu tidak pernah mendengar tangisan bayi laki-lakinya. Dan dia tahu sejak awal, bayi laki-lakinya akan damai dalam tangan Sang Pemilik Hidup. “Maaf yah, Mama gak jadi kasih adeknya, harusnya buat hadiah yah” hanya kalimat singkat itu yang keluar dari mulut perempuan itu manakala anak perempuannya datang menjenguk. Bahkan perempuan itu meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dilakukannya.
Entah dari apa hati perempuan itu dibuat. Ia demikian sabar, pemaaf dan ikhlas. Bahkan saat ia tahu beberapa orang bergunjing dibelakangnya, mengumpat kenaifannya. Perempuan itu selalu keluar dengan senyum di wajahnya.
Pada anak perempuannya, ia adalah ibu yang manis, tegas, dan pemurah. Ia mengajarkan anak perempuannya menyanyikan lagu-lagu dalam buku lagu-lagu wajib. Ia membuatkan baju untuk anak perempuannya, mengajarkannya berhitung. Perempuan itupun memiliki strategi untuk mengajarkan anaknya disiplin. Tanpa mengenal teori pembentukan perilaku, tanpa sadar ia telah menerapkan sistem positive reinforcement dalam pembentukan perilaku anak perempuannya sejak kecil. Sederhana saja, ia menjanjikan hadiah pada anaknya apabila berhasil menghabiskan makanannya, atau selesai mengerjakan tugas. Imbalannya? Buah-buahan yang memang sengaja ia siapkan untuk pencuci mulut. Belakangan, anak perempuannya yang dapat menikmati pendidikan tinggi mulai menyadari bahwa yang dilakukan perempuan itu adalah sebuah cara sederhana untuk menumbuhkan kesukaan anak pada buah.
Entah ada hubungan apa antara angka 13 dengan perempuan itu, tapi di angka 13 perempuan itu selalu mendapatkan atau kehilangan anaknya. Di usia perkawinannya yang ke 13, ia mendapatkan seorang anak laki-laki sekaligus kehilangannya. Di usia anak perempuannya yang ke 13, perempuan itu kembali melahirkan seorang anak perempuan. Dan sekali lagi, keyakinan perempuan itu tentang anak pertamanya, adalah BENAR!
Usia perkawinannya melewati angka 28 tahun. Dan sepanjang 28 tahun juga, perempuan itu mengurusi suami dan kedua anak perempuannya, seorang diri. Juga mengurusi warung kecilnya untuk mengisi waktu luang.
Hingga suatu pagi, perempuan itu menghampiri anak perempuannya yang pertama dengan wajah panik, kebingungan dengan apa yang terjadi dengan suaminya yang sedang sesak nafas. Perempuan itu membawa suaminya ke rumah sakit. Perempuan itu mendampingi suaminya selama terbaring sakit, satu bulan penuh. Dan tidak satu haripun perempuan itu pergi dari sisi kekasihnya yang telah dinikahi berpuluh tahun.
Perempuan itu tidak menangis di depan anak perempuannya. Dia hanya menangis dalam doa panjangnya setiap kali shalat. Waktu tidurnya menjadi berkurang jauh, karena ia kerap terjaga, melakukan shalat dan doa, memohon untuk pria yang telah hidup bersamanya selama 28 tahun. Demi keluarganya, perempuan itu selalu bertanya pada anak perempuannya,”bagaimana kalau…..,” atau, “kamu setuju gak, kalau…..” Pertanyaan-pertanyaan yang meminta persetujuan untuk setiap langkah yang akan diambilnya untuk suami dan anak-anak perempuannya.
Dan perempuan itu masih berdiri tegak sambil memeluk anak-anak perempuannya, berkata dengan suara lirihnya, “terimakasih, kamu telah melakukan segalanya untuk dia,” pada detik ia menjadi janda. Dan hingga kini, setahun setelah suaminya pergi, perempuan itu masih berdoa panjang dalam shalatnya, setiap malam. Sesekali ia menangis ditengah keluh kesah doanya.
Perempuan itu kini hidup dengan dua anak perempuannya. Perempuan itu masih menyimpan rapi setiap kenangannya dengan suaminya, termasuk undangan saat menghadiri wisuda anak perempuan mereka. Perempuan itu tidak pernah sadar bahwa ia telah mengajarkan lebih banyak hal dari yang dapat dikatakannya pada anak-anak perempuannya.
Suatu malam, anak perempuannya mencuri dengan doa perempuan itu, “Tuhanku, berikan kebahagiaan pada anak-anakku, sekolah, rezeki dan jodoh terbaik. Berikan suamiku tempat terbaik di sisiMU.” Lirih doanya setiap malam. Perempuan itu tidak pernah meminta untuknya. Seumur hidupnya adalah mengabdi untuk keluarganya. Dan anak perempuan itu kini berharap agar ia menjadi kuat, tabah, sabar, dan ikhlas seperti perempuan itu.
Ini adalah cerita tentang seorang perempuan sederhana yang sabar, dengan keikhlasan luar biasa mengurus keluarganya. Cerita tentang ketabahan seorang perempuan yang kehilangan suami yang telah dinikahinya 28 tahun. Cerita tentang seorang anak perempuan yang berharap untuk memiliki hati seperti ibunya.
Suatu hari, sebuah jalan terbuka. Atas nama pertemanan dengan niat sebuah kebaikan. Tidak pernah ada jalanan yang benar-benar lurus dan lancar seperti layaknya jalan bebas hambatan dalam imajinasi pikiran kita.Jalanan itupun seringkali mengantarkan kita pada jalan-jalan lain yang saling menghubungkan. Bisa jadi kita menjadi jalan pembuka atas suatu hal. Atau, kitalah si beruntung yang berada pada jalan yang lurus dan mulus. Atau bahkan tidak jarang kita justru dipertemukan dengan cabang lain yang menjauhkan kita dari tujuan. Suatu hari, di sebuah jalan, saat tiba pada persimpangan atau saat kerikil dan batu di sepanjang jalan terasa semakin melelahkan, maka saat itu yang perlu kita lakukan mungkin beristirahat sejenak di tepian, kemudian kembali berjalan pada arah dan tujuan yang kita yakini.
Friendship is always a sweet responsibility, never an opportunity *Khalil Gibran*
Dua hari ke kantor dengan berjalan kaki, rasanya memberikan saya ruang untuk berpikir ulang tentang hidup yang saya jalani, tentang target yang ingin saya capai, tentang semua hal yang melintas di hadapan saya saat ini.
Dan pagi ini, di sebuah acara musik pagi saya kembali diingatkan melalui sebuah lagu. Liriknya sederhana, tetapi cukup menyentak kesadaran saya tentang apa yang sedang saya jalani saat ini.
* hidup terlalu bengis saat kau coba terus ratapi hidup adalah perjuangan meski tak mudah kau taklukkan mana senyuman manismu dulu, tunjukkan itu padaku usaplah air matamu lalu bilang bahwa kau mampu
berjalanlah walau tertatih kawan hadapi dunia dengan senyuman
di sini ku ada untukmu genggam tangan kita bersenang-senang (tetap berjalan kawan, aku ada untukmu tuk selalu di siniku ada untukmu, kita bersenang-senang)
Yak! Hidup mungkin tidak selalu menyediakan pilihan yang kita inginkan. Dan kita sering lupa bahwa bukan hidup yang membuatkan pilihan untuk kita jalani, karena kita sendiri lah yang harus membuat pilihan-pilihan untuk dijalani.
Berada di titik terendah kadang membuat kita tidak dapat lagi berpikir tentang pilihan apa yang memadai. Kembali berpikir tentang apa yang diinginkan, seakan memancing peperangan antara hati dan otak yang bekerja atas dasar logika.
Saya tidak hanya berpikir tentang saya, tapi juga mereka, dan kami. Kadang saya ingin berlaku egois dan hanya berpikir tentang “saya”, hingga pernyataan ke-aku-an pun muncul, “kenapa saya harus berpikir ‘mereka’? apakah mereka juga berpikir tentang ‘saya’?” Dan sekali lagi, terimakasih Tuhan yang Maha Baik tidak mematikan nurani saya hingga ke-aku-an itu tidak terus-terusan menang (walau kadang saya ingin).
Nasehat dari seorang teman berikut ini terus saya ingat dan menjadi sedikit pegangan saat saya melangkah, “Jangan pergi dengan kemarahan, jangan membuat keputusan dengan emosional, kalau kamu akan melangkah ke arah yang lain, lakukan bukan karena ingin meninggalkan yang ada sekarang, tetapi karena ada hal lain yang lebih besar, hal lain yang ingin dicapai, di depan sana.”
Hari ini, saya kembali berjalan, mengukur kembali jarak yang ingin saya capai. Terimakasih untuk senyuman-senyuman yang selalu ada untuk meneduhkan saat saya kelelahan berjalan.
"Coba dulu, kenapa harus takut sih? orang daerah itu semua merantau ke jakarta, kamu malah mau kuliah ke luar kota, gimana sih koq jadi terbalik gitu?" omelan bapak panjang lebar saat aku berusaha memberikan alasan selogis mungkin tentang keinginanku untuk melanjutkan kuliah di Jogja, Semarang, atau Purwokerto.
"Kenapa mau ke luar kota? kamu takut? belom juga dicoba!", kali ini kalimat bapak terdengar seperti ultimatum. Dan aku hanya bisa diam, menunduk patuh, berusaha belajar dan berdoa sama kerasnya. Memasukkan dua pilihan SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru = Sipenmaru = UMPTN = seleksi masuk seluruh universitas negeri se Indonesia, massal!) dan keduanya adalah di UI bagiku bukanlah hal mudah. Perlu lebih dari sekedar keyakinan untuk dapat melakukannya. Saingannya tentu banyak, sehingga aku berusaha serealistis mungkin dengan memilih beberapa universitas di luar Jakarta.
Namun, kali ini bapak tidak bisa dibantah. "Coba dulu, belum juga dikerjakan udah nyerah." Gerutuan bapak terasa semakin mengintimidasi dan menutup perdebatan kami.
Berhari-hari setelah perdebatan itu, aku tahu bahwa perpaduan usaha, doa dan restu orang tua akan berujung pada sebuah keberhasilan. Yak! aku diterima di UI, walaupun untuk pilihan keduaku (pilihan 1 : FE-Akuntansi, pilihan 2 : Psikologi). Dan pilihan itu yang kemudian membawa langkahku hingga detik ini.
*when I was just a little boy barely strong enough to stand I can always count on him oh he taught me everything I know and till this day it shows he was more than just a friend
there was so many times I would doubt myself but his words were always there to help i wouldn't be where i am if my father didn't tell me to never say i can't he'd carry me and never let me fall oh and the only thing he asked right before he passed was to never say you can't oh never say you cant
Drama pemilihan jurusan kuliah itu rasanya mengubah seluruh jalan hidupku. Aku bukan hanya memilih jurusan untuk kuliah. Bukan sekedar pilihan bidang studi yang disukai. Ataupun sekedar pilihan profesi yang kelak akan dijalani (walau kini aku tidak sepenuhnya mengabdi pada profesi sesuai jurusan saat kuliah). Setidaknya, drama pemilihan jurusan itu telah menempaku untuk memulai sebuah pilihan dengan keyakinan.
Pilihan apapun yang akan kita ambil, sekolah, pekerjaan, pasangan hidup, atau sekedar pilihan sederhana mengenai lokasi makan siang, lakukanlah dengan penuh keyakinan. Yakin pada diri sendiri tentang apa yang akan kita lakukan. Kalau kita sendiri saja tidak yakin dengan pilihan yang akan kita jalani, lalu bagaimana kita akan mulai membuat berbagai opsi pilihan alternatif? bagaimana kita akan membuat keputusannya? bagaimana kita dapat berusaha menjalaninya?
Kadang hidup dirasa tidak adil karena tidak memberikan apa yang kita inginkan. Tapi sekali lagi, tanyakan pada hati kita, apa sebenarnya yang kita inginkan? Apakah "keinginan" yang selama ini kita teriakkan sebagai "keinginan" adalah benar-benar "keinginan" yang kita inginkan? (sounds blunder? it is :) )
Kadang kita menjadi bingung atas diri kita sendiri, karena terlalu banyak keinginan, karena kita tidak cukup mengenali diri kita tentang apa yang sebenarnya kita inginkan, atau lebih buruk lagi, yaitu kita tidak yakin dengan diri kita sendiri tentang apa yang sebenarnya kita inginkan, atau apakah kita benar-benar punya keinginan itu atau tidak?
*so when lifes rain begins to fall and youre out there on your own and you cant see a thing
just find that voice that understands for me it was my old man taught me to say the words I can
oh there was so many times I would doubt myself but his words were always there to help I wouldn't be where I am if my father didn't tell me to never say I can't he'd carry me and never let me fall oh and they only thing he asked right before he passed was to never say you can't
Keyakinan kita pada diri kita sendiri, tentang kemampuan kita, tentang hal-hal yang kita inginkan, tentang apa yang kita rasakan, dan tentang seberapa besar kita menginginkan suatu hal, adalah modal kita untuk mencapai sesuatu. Tentu dengan usaha dan doa yang sepadan.
Jadi, berterimakasihlah pada hidup yang terus-menerus meminta kita untuk memilih.
Berterimakasihlah pada orang-orang yang mungkin pernah meragukan kita, karena keragu-raguan mereka memaksa kita untuk berpikir kembali apakah "keyakinan saya cukup besar untuk maju dan membuat keputusan?"
Berterimakasihlah pada siapapun atau apapun yang telah membuat kita jatuh, karena tanpa disadari kita belajar untuk bangkit dan percaya pada kekuatan diri sendiri.
Berterimakasihlah pada bisikan-bisikan yang membingungkan. Karena bisikan-bisikan atau godaan-godaan itulah yang membuat kita berkeyakinan bulat akan sesuatu. Karena bisikan-bisikan dan godaan-godaan itulah yang telah menguji keyakinan kita akan diri kita sendiri, ataupun keyakinan kita atas pilihan yang akan kita jalani.
One day, my co worker told me about a song One night, I found that song The song told me, exactly the same just like my father did He told me once, "never say you can't" And now, I say it again to myself And I say it to you Share it to as many people as I can Sharing the "Never Say You Can't" virus
*a beautiful song from Bruno Mars, Never Say You Can't