Rabu, 31 Agustus 2011

Catatan Sebuah Perjalanan

sebuah tulisan lama dari blog lama yang di re-post. Untuk sahabat, selamat membaca :)



Kesan pertama saya setelah membaca buku itu, wow!!! Two Thumbs Up!!! Not for the writer, bur for those who joined into that amazing adventures.

40 days in Europe, sebenarnya sudah sejak lama saya lihat buku ini nangkring di raknya Gramedia. Saya sering bolak-balik numpang baca di Gramedia, hanya beberapa halaman awal tapi pada akhirnya tidak jadi membeli, karena saya pikir nanti toh penerbitnya pasti akan mengirimkan sample buku itu. Feeling saya mengatakan kalau itu buku bagus dan layak dibaca. Memang pekerjaan saya yang banyak berhubungan dengan buku membuat saya banyak menerima kiriman buku dari para penerbit. Sampai suatu hari seorang teman yang juga bekerja di penerbit buku tersebut benar-benar mengirimkan saya buku 40Days in Europe. Dan saya masih juga belum membacanya. Sampai saat libur Idul Fitri, saya punya cukup waktu luang untuk menuntaskan membacanya.

Kenapa judul buku ini terkesan kebarat-baratan? Tidak nasionalis kah? Menurut saya alasannya hanya komersialitas semata. Penerbit butuh judul yang cukup provokatif, tanpa kehilangan benang merah dengan isinya. Pernahkah anda membaca buku Summer in Seoul (Ilana Tan), Travelers Tale (Aditya Mulya, dll), Ms. B (Vira Basuki), atau The Naked Traveler (Trinity), kemudian mempertanyakan judulnya? Atau pernahkah anda bertanya kenapa kumpulan tulisannya Akmal NAsery BAsral diberi judul “Ada Seseorang di Kepalaku”, atau kenapa Pramoedya Ananta Toer memberi judul Bumi Manusia? Sebuah judul yang cukup ganjil menurut saya. Atau kenapa Remy Silado memberi judul “Kerudung Merah Kirmizi”, atau “Parijs Van Jaza” untuk novelnya? Silakan direnungkan, tapi jawabannya kembali pada alasan tadi yaitu komersialitas dan kesesuaian isi.

Bagaimana dengan endorsement-nya? Endorsement adalah sebuah opini subjektif dari mereka, para pembaca awal yang memang sengaja diminta sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Endorsemen dimaksudkan untuk memberikan gambaran pada calon pembaca tentang nilai sebuah buku. Tapi sekali lagi, saat anda akan membeli buku, cobalah untuk tidak hanya terpaku pada endorsement saja, tapi coba buka-buka dan intip sejenak halaman demi halaman. Buku yang bagus menurut saya, bisa menarik anda bahkan dari halaman pertama yang anda baca. Dan itulah yang terjadi pada saya saat membuka buku 40 days in Europe, meskipun saya akhirnya menahan diri untuk tidak membeli karena saya tahu pasti kalau saya akan mendapatkannya dengan gratis, langsung dari penerbitnya.

Buku ini bercerita tentang segerombolan anak muda yang nekad untuk tetap berangkat ke Eropa, untuk sebuah misi kebudayaan meskipun kondisi keuangan mereka defisit. Apakah mereka gila? Jawabannya sangat mungkin ya, tapi menurut saya alasan dibalik semua kegilaan itu adalah tanggung jawab atas sebuah komitmen yang telah mereka buat. Hanya keyakinan dan keteguhan niat yang mereka punya saat berangkat. Entah apa yang akan terjadi, maka terjadilah, kun fayakun!!!

Saat berangkat, mereka harus direpotkan dengan masalah finansial. Sponsor yang tiba-tiba menarik diri sehingga kondisi keuangan semakin mengkhawatirkan. Belum lagi konflik internal diantara tim. Ketua rombongan yang seharusnya berangkat pun pada akhirnya tidak jadi berangkat, entah dengan alasan apa. Sampai di Eropa pun mereka masih terus dililit masalah, meskipun jadwal perjalanan sudah dibuat sedetail mungkin dan sehemat mungkin. Tagihan demi tagihan terus berdatangan.

Tapi Tuhan Maha Adil, Tuhan terlalu baik untuk terus-terusan membiarkan umatNya dalam kesulitan. Saya selalu percaya pada sebuah quotation indah yang saya temukan dalam salah satu buku Paulo Coelho, When God closes a door, He opens a window, dan itulah yang terjadi pada mereka. Dalam setiap penampilannya mereka selalu mendapatkan sambutan hangat, bahkan tidak jarang standing applause. Sejumlah penghargaan juga berhasil diraih. Bukan itu saja, menilik dari prestasi dan penampilan mereka, bahkan panitia festival bersedia memberikan keringanan biaya yang bisa mereka lunasi setibanya kembali di Indonesia. Yang terpenting adalah mereka punya cukup biaya untuk pulang. Peran KBRI juga tidak bisa diabaikan. Mereka hadir dengan uluran tangannya, berusaha membantu semampu yang mereka bisa. Mulai dari tumpangan tidur, makan, sampai bantuan dana ala kadarnya.

Kalau kemudian, mereka seperti diselamatkan tsunami hingga semua hutang bisa lunas, itulah yang namanya nasib. Sekali lagi, Tuhan terlalu baik untuk membiatkan hambaNya dalam kesusahan, dan selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Tsunami bisa jadi meluluhlantakkan bumi serambi mekah, tapi tsunami juga yang kemudian menyelamatkan mereka dari lilitan hutang.

Bagaimana dengan peran Maulana sebagai penulis? Yup, perannya cukup besar. Dialah contact person untuk semua panitia kompetisi dan festival. Dia juga contact person untuk sejumlah KBRI. Karena ia kebetulan tinggal di Jerman, dia aktif dalam kegiatan kesenian dengan mahasiswa Indonesia, dan dia juga aktif dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia Jerman. Sehingga menempatkan Maulana sebagai contact person sangat menguntungkan. Mengingat aktivitasnya selama di Jerman, menyebabkan ia banyak berhubungan dengan pihak KBRI dan ia juga lebih mengenal medan, lebih mengenal budaya masyarakat Eropa. Terlepas dari apakah Maulana dulu (sewaktu SMA) adalah anggota KPA (kelompok Angklung di SMA 3) atau bukan, itu tidak lagi penting menurut saya.

Untuk masalah lobi, di awal Maulana memang memegang peranan penting. Tapi sekali lagi, ini adalah kerja tim. Saat di Jakarta, dalam tim ada orang-orang hebat yang mampu melobi untuk masalah sponsorship, ataupun sekedar pengurusan visa dan paspor. Saat di Eropa, kenyataannya bukan hanya Maulana yang melobi. Toh, kenyataannya ada orang-orang dalam tim yang juga berperan dalam melobi KBRI ataupun panitia festival. Kerja tim yang luar biasa menurut saya.

Selesai membaca buku itu, saya langsung menghubungi Maulana, penulisnya, melalui imel yang tertera di buku. Kami kemudian berteman dan berkomunikasi hanya melalui imel. Melalui Maulana, saya kemudian berkenalan dengan beberapa orang personil yang ikut berangkat ke Eropa. Kali ini saya berkomunikasi secara langsung, dengan telepon. Melalui mereka, saya tahu banyak detail cerita yang tidak diceritakan di buku, termasuk konflik internalnya. Menurut saya, adalah sebuah keputusan yang bijak untuk tidak menampilkan seluruh konflik internal dalam cerita buku itu. Bukan bermaksud untuk mengurangi cerita, tetapi lebih pada apakah layak atau apakah etis mengemukakan konflik internal tersebut? Membuka aib seseorang? Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diceritakan. Toh pembaca sudah menangkap pesan dari tulisan itu. Semangat anak-anak itu untuk tetap berangkat, membawa nama Indonesia, keyakinan untuk sebuah tujuan. Mereka pulang bukan hanya membawa penghargaan, tapi saya yakin kalau mereka belajar banyak tentang kehidupan. Bahkan saya yang membacanya, dan hanya melihatnya dari luar, melalui sebuah buku juga belajar tentang arti persahabatan, semangat dan kerja keras, serta bagaimana sebuah keyakinan akan berbuah indah saat dijalani dengan sungguh-sungguh.

Lalu apakah 40days termasuk buku yang sangat tebal untuk jenisnya? Menurut saya, ketebalan sebuah buku adalah relative. Cara penulisnya menceritakannya sangat menarik, karena dituliskan dengan sangat biasa. Dilengkapi dengan begitu banyak catatan dari percakapan melalui chating, imel ataupun sms. Menurut sebagian orang, catatan chating, imel ataupun sms itu tidak penting. Tapi menurut saya, catatan-catatan chating, imel ataupun sms itu justru berbicara lebih banyak dibandingkan rangkaian kata yang disusun penulisnya. Catatan itu adalah saksi perjalanan mereka.

Kemudian, apakah Maulana menjadi pahlawan dalam perjalanan itu? Padahal dulu dia bukan siapa-siapa. Mungkin sebelumnya dia hanya ketua OSIS dijamannya yang bahkan tidak terlibat aktif dalam kegiatan KPA3, yang notabene adalah kelompok angklung yang super terkenal itu. Lalu kemudian kenapa sekarang ia yang menjadi pahlawan dalam perjalan itu? Kenyataannya memang seperti itu, suka atau tidak suka. Menganggapnya sebagai pahlawan mungkin menjadi sedikit hiperbol, karena ini adalah kerja tim, Tapi peran Maulana juga tidak bisa diabaikan, he’s doing something for that journey.

Maulana sendiri memiliki kelompok angklung bersama teman-temannya di Eropa. Mereka sesekali manggung, bukan hanya untuk pentas angklung tapi juga untuk rampak kendang, wayang kontemporer, dan banyak lagi. Sederet kegiatan kesenian yang menurut saya juga patut mendapat acungan jempol.

Saat mengangkat cerita perjalanan 40 days in Europe dalam talkshow Kick Andy, sejumlah konflik internal yang pernah ada kembali mencuat. Sesuatu yang menurut saya tidak perlu ada. Bagaimanapun juga, semua kembali pada manusianya.

Kalau kemudian ada sebagian orang yang keberatan kenapa sekarang terkesan Maulana yang terus-menerus tampil dan bicara tentang angklung, menurut saya sah-sah saja. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengelak kalau kita pada akhirnya baru mengetahui tentang perjuangan mereka membawa nama Indonesia dari buku 40 days in Europe. Untuk itu terimakasih kepada Maulana yang telah menuliskannya. Meskipun sebagai sebuah novel debut, tentunya masih banyak kekurangan dalam tulisan tersebut. Bentuknya yang seperti catatan harian memang memudahkan pembaca dalam menikmati apa yang disajikan dengan sangat biasa. Tapi dalam beberapa bagian menjadi sangat bertele-tele, karena diceritakan dengan sangat detail.

Meskipun demikian 40 days in Europe, menurut saya hadir semata bukan untuk popularitas penulisnya. Tapi lebih pada menghadirkan kembali semangat mereka, yang pernah dengan kegilaannya nekad berangkat ke Eropa, melakukan sebuah mission impossible. Cerita mereka terlalu sayang untuk tidak dibagikan kepada banyak orang. Agar mereka yang membacanya bisa kembali bercermin, apa yang sudah saya lakukan untuk negeri ini?

Mereka yang berangkat adalah orang gila. Tapi mereka tidak akan pernah tahu bahwa mereka bisa kalau mereka tidak pernah mencobanya. Hidup adalah pilihan, dan mereka memilih untuk maju, mencoba sesuatu yang sejak awal terlihat mustahil. Sebuah buku yang sangat inspiratif menurut saya. Buku itu juga hadir untuk mengingatkan kepada kita, agar apa yang mereka alami tidak lagi berulang. Agar perjuangan anak-anak muda lainnya untuk angklung, untuk Indonesia, tidak lagi menemui jalan buntu.

Enthusiasm is the force that leads us to the final victory (Paulo Coelho). Percayalah, dalam 40 days in Europe, anda akan benar-benar menemukan implementasi dari quotation Paulo Coelho tersebut.

Minggu, 14 Agustus 2011

Waktuku Untukmu


Andaiku bisa memutar kembali waktu yang lalu
Banyak kata yang ingin kuucapkan

Andaiku bisa memutar kembali waktu yang lewat
Banyak laku yang ingin kulakukan

Andaiku bisa memutar kembali waktu yang hilang
Banyak janji yang ingin kupenuhi

Tapi waktu berjalan maju, tidak mundur ataupun diam
Dan aku disini, melangkah terus mengikuti arus waktu

Kau bilang, "jangan salahkan waktu yang bergerak,"
Kau bilang, "jangan diam atau nanti tergilas,"
Kau bilang, "jangan takut, coba dulu!"

Kau yang mengajarkanku keberanian
Kau yang membimbingku melangkah
Kau yang mengantarkanku pada titik ini

Aku limbung tanpamu,
Tapi,

Ketiadaanmu mengajarku untuk berdiri
Ketiadaanmu memapahku agar tak berjalan dengan terseok

Aku ingin membayar
Waktuku yang hilang untukmu

Aku ingin mengganti
Waktuku yang terlewat untukmu

Dan aku akan berjalan,
Disini,
Sekarang
Untukmu, dan untukku
Seperti katamu, "lakukan juga untuk dirimu sendiri,"




Selasa, 02 Agustus 2011

Titik Bernama Rindu

suatu hari, aku sampai pada suatu titik bernama rindu
rindu pada suatu masa, rindu pada mereka yang ada di sana
rindu pada semua yang telah dilewati

pada titik yang sama, aku menyadari makna dari setiap kejadian yang lalu
makna dari setiap orang yang hadir
ah... katanya, kenangan adalah ingatan berbalut perasaan

aku tidak hidup dalam kenangan
tapi aku ada bersama kenangan untuk sebuah harapan

untukku, di dalam kenangan ada rindu dan harapan
dengan campuran ajaib yang memungkinkan kita,
untuk maju memulai sesuatu yang baru


-untuk semua yang telah terlewati-