Minggu, 19 Juni 2011

Dear You

Suatu hari kamu bertanya, "jadi apa artiku untukmu?", pertanyaan bernada setengah bercanda itu pun tak pernah kutanggapi. Tidak dengan sungguh-sungguh. Andai bisa, aku ingin meneriakkan seluruhnya agar kamu tahu yang sebenarnya. Dan hanya ini yang bisa aku tuliskan, surat singkat untukmu, untuk kita, atas nama persahabatan yang pernah dan akan selalu ada diantara kita.


Dear you,


I let you in
Through into my heart

Since the first time we met
We're talked like we've met before
And we became a very best friend
You did all the good things for me
Supporting me on my very bad times

And I just let the time goes on
I never realized it
I deny my feeling
till I know there is someone
And I am too scared for losing you

And I just realized that you already made it
Took a corner in my heart
Left a footprints on it
And I can't control it
You made me lost

Dear you,

I won't deny it anymore
I won't let myself lost on mine
And I will kept your name
Write it as the one

The one who made me laugh and cry at the same time
The one who made me quite and listen on a crowd
The one who taught me how to keep positive on very bad situation
The one who taught me how to care and share with your best friend


and i want to say thank you for all the best thing that you've done for me
thank you for coming into my live with your own colour

PAHLAWAN DAN IDOLA ALA YOUTUBE

“ayo dong, coba om kasih tahu gimana gayanya keong racun,”

“sini ibu yang nyanyi yah…. dasar kau keong racun…. Baru kenal sudah ngajak tidur…”

“ayo dong tangannya gimana? Kepalanya goyang-goyangnya gimana?”



Seorang ibu dengan semangat ingin menunjukkan gaya goyang Keong Racun dari putri kecilnya yang baru berumur 4 tahun. Si anak mendadak diam dan bergeming sesaat setelah pria yang disebut om datang dan ingin melihat gaya goyangnya. Si Ibu ingin menunjukkan betapa berbakatnya si anak karena dapat mengikuti gaya goyang keong racun ala Shinta dan Jojo.

Nama Shinta dan Jojo mendadak tenar beberapa bulan belakangan. Mereka dikenal karena gaya lypsinc dari lagu Keong Racun yang dipublikasikan melalui youtube. Shinta dan Jojo menjelma menjadi selebriti kondang yang selalu menghiasi TV. Sebenarnya, mereka banyak tampil dalam program infotainment. Akan tetapi karena frekuensi infotainment melebihi frekuensi minum obat, maka wajah mereka hampir tidak pernah absen. Belum lagi, mereka juga tampil sebagai mdoel iklan sebuah produk makanan. Maka demam Shinta-Jojo pun tak terelakkan lagi. Infotainment merekam seluruh kegiatan mereka, termasuk kebiasaan mereka memasak sendiri mie instant di kamar kos. Berbagai acara TV mengundang mereka tampil sebagai narasumber, mulai dari program dialog hingga program musik. Mereka pun kemudian memiliki sebuah lagu, diciptakan khusus oleh seorang pemusik. Tidak tanggung-tanggung, mereka juga mendapat beasiswa dari universitas tempat keduanya berkuliah. Kalau sebelumnya nama Shinta dan Jojo hanya nama biasa, kini saat kedua nama ini digabungkan, seantero negeri mengenalnya dengan gaya joget khas.

Baru reda demam Shinta-Jojo, negeri ini kembali diguncang keriaan baru dari seorang polisi bernama Briptu Norman. Tingkah polahnya menirukan joget india yang direkam dan dipublikasikan melalui youtube, mengundang berbagai komentar. Beberapa pihak mempertanyakan aksi Briptu Norman yang sedang bertugas tetapi merekam joget india-nya tersebut. Beberapa pihak mempertanyakan piercing yang tampak digunakannya. Si empunya wajah dalam video itu sendiri pada awalnya ketar-ketir. Namun, tanpa disangka-sangka, sanksi yang diberikan berupa bernyanyi dihadapan barisan rekan-rekannya dan disiarkan oleh berbagai stasiun TV, justeru mendapat sambutan meriah dari seluruh masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, Briptu Norman dipanggil ke Jakarta, bertemu dengan Kapolri, dan mendapatkan “ijin“ ataupun “perintah untuk seolah-olah menjadi “duta seni” polisi, memberikan citra yang baik terhadap polisi, akrab dengan masyarakat.

Demam Shinta-Jojo pun beralih menjadi demam Briptu Norman. Lebih dari satu minggu, sang Briptu melakukan safari pada berbagai acara. Sepanjang perjalanan sang Briptu kerap dikawal oleh atasannya, sebuah pengawalan super istimewa yang mungkin baru kali ini dilakukan.

Setiap hari, wajahnya menghiasi layar kaca, melalui infotainment, acara talkshow, panggung musik, reality show, hingga acara dialog/talkshow. Tidak tanggung-tanggung, dalam kunjungan singkat sekitar dua minggu di ibukota, sang Briptu pun telah menghasilkan sebuah single / lagu, lengkap dengan video klip. Para produser pun menanti kembalinya sang Briptu ke ibukota untuk melakukan kontrak sinetron dan sebagainya, dengan nilai kontrak yang cukup fantastis.

Sihir sang Briptu pun seolah tak berhenti sampai disitu. Dalam salah satu adegan di tayangan infotainment, sang Briptu keluar dari balkon apartemen menyapa para penggemarnya yang menanti di bawah. Adegan yang persis sama seperti saat Obama menyapa warga Amerika dari balkon gedung Putih seusai pengucapan sumpah jabatannya. Briptu Norman pun kembali bernyanyi dan berjoget India khas seperti yang dilakukannya dalam video.

Dua minggu roadshow di Ibukota, sang Briptu kembali ke Gorontalo. Kali ini penyambutannya luar biasa meriah, layaknya pahlawan kembali dari medan perang dan berhasil merebut satu wilayah. Kendaraan lapis baja dikerahkan untuk menjemput dan mengarak sang Briptu keliling kota. Spanduk besar ucapan selamat datang dibentangkan lebar sepanjang jalan. Masyarakat berbondong-bondong menyambut di pinggir jalan. Seluruh pejabat menyambut dengan penuh hormat. Kekasihnya yang belakangan diketahui media tidak luput dari wawancara dan kilatan kamera. Dan Sang Briptu terus mengembangkan senyum.

Jauh sebelum Shinta-Jojo dan Briptu Norman dikenal, kita dikenalkan dengan nama Justin Bieber. Lagi-lagi, ia ditemukan melalui videonya di youtube saat tampil dalam kompetisi Stratford Star. Demam Bieber segera melanda anak-anak muda di seluruh negara dan dikenal dengan nama Bieber Fever. Pengikut (follower) Justin Bieber dalam twitter melalui account @justinbieber melebihii angka 9juta. Film biografi pertamanya bertajuk Never Say Never dirilis pada februari 2011. Patung lilinnya juga sudah menghiasi museum Madame Tussauds, London. Sekarang, demam Justin Bieber yang kembali melanda. Penyanyi belia asal Canada yang baru genap berusia 17 tahun pada 1 maret lalu ini, akan menggelar konsernya di Jakarta. Dalam konsernya nanti, para fansnya berencana mengenakan kostum dengan dresscode warna ungu, warna favorit sang idola.

Demam Shinta-Jojo, Demam Briptu Norman ataupun Bieber Fever seakan mengingatkan kita, apakah kita sudah kehabisan pahlawan? Apakah kita sudah tidak lagi sensitif dan peka untuk memberikan penghargaan terhadap sebuah keberhasilan?

Kemana kita saat para atlet pulang bertanding dan membawa medali ? Kenalkah kita pada anak-anak pemenang olimpiade? Ataukah, seharusnya anak-anak pemenang olimpiade itu merekam sesuatu dan mempublikasikannya melalui youtube terlebih dulu, baru kemudian mereka kembali ke tanah air.

Bukan youtube atau media nya yang bersalah dan mempopulerkan mereka. Akan tetapi bagaimana kita merespon suatu hal dan memberikan penilaian atas hal tersebut. Mungkin kita terlalu lelah terus-menerus dijejali informasi mengenai korupsi, penyalahgunaan jabatan, penipuan, penyelewengan kekuasaan militer, dan banyak informasi negatif lainnya.

Bukan pula salah Shinta-Jojo ataupun Briptu Norman, kalau mereka menjelma bak idola dan super hero. Mungkin kita kehabisan berita mengenai contoh perilaku yang baik dan layak mendapatkan penghargaan. Hingga dengan penuh keriangan kita memberikan penghargaan berlipat ganda pada mereka yang tampil menghibur, padahal kita berharap dalam keputusasaan tentang mereka yang dapat menjadi teladan.



I was born to be somebody.
Ain't nothing that's ever gonna stop me.

-Born to be somebody, Justin Bieber-

Rabu, 15 Juni 2011

#indonesiajujur : JUJUR ITU TIDAK INSTANT







“Setujukah Anda dengan Ujian Nasional (UN) sebagai faktor tunggal penentu kelulusan?”


Pertanyaan itu menjadi pembahasan alot selama beberapa tahun belakangan. Pemerintah dihujat kanan-kiri-atas-bawah mengenai penggunaan UN sebagai penentu kelulusan. UN dianggap tidak adil karena proses belajar selama bertahun-tahun ditentukan hanya dalam beberapa hari. Kemudian, masih ada lagi pertentangan mengenai nilai batas minimal kelulusan. Sampai akhirnya tahun ini, saat Mendiknas membuat formula khusus untuk UN dan Ujian Sekolah (US) untuk menentukan kelulusan siswa, lahirlah ujian yang lain, UJIAN KEJUJURAN!

Belum selesai balada ibu Siami dari desa Gadel, kita kembali dikejutkan dengan kisah nyontek massal lainnya dari SD 06 Petang Pesanggrahan. Tidak tanggung-tanggung, para siswa ranking 1-10 dikumpulkan oleh guru dan membuat kesepakatan tertulis untuk memberikan contekan kepada teman-temannya yang lain. Siswa yang ketahuan tidak memberikan contekan justru diancam oleh teman-temannya. Sementara ibu Siami didemo oleh warga desanya, dan mengungsi ke tempat lain karena terus-menerus dicaci atas kejujurannya. Atas nama solidaritas dan tuntutan hasil, maka mencontek dan kecurangan menjadi legal.

Beberapa tahun belakangan, saya terheran-heran dengan pemberitaan tentang persiapan ujian yang dilakukan oleh para siswa. Hypnosis massal atau zikir dan doa massal hingga menangis meraung-raung atau bahkan hingga ada yang pingsan, dianggap sebagai salah satu cara efektif mempersiapkan siswa menjelang ujian.

“Doa tanpa disertai usaha itu namanya bodoh, kalau usaha saja dan tidak berdoa itu namanya sombong,” ujar salah seorang ustad dalam salah satu adegan sinetron komedi-religi.

Saya tidak menyalahkan kegiatan doa bersama menjelang ujian, saya juga manusia beragama yang mengakui adanya Tuhan. Tetapi, saya melihat kegiatan tersebut sebagai bentuk kepasrahan berlebih. Menjelang H-1 ujian, siswa masih dilibatkan dalam kegiatan doa bersama. Padahal saat itu siswa membutuhkan ketenangan dan istirahat yang cukup. Bukan berarti doa tidak penting, tetapi saya melihat bentuk kegiatan doa bersama itu sebagai bentuk “pressure” atau tekanan emosional pada siswa menjelang ujian. Hasil menjadi fokus utama, sehingga segala cara dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik.

Fokus pada hasil itulah yang sepertinya menjadi “DEWA” para guru di SD 06 Petang Pesanggrahan dan SDN 2 Gadel. Menghasilkan siswa-siswa yang lulus UN dengan nilai tinggi adalah prestasi, untuk siswa dan guru. Tambahkan juga, hasil UN yang tinggi dapat meningkatkan level sekolah. Mulai dari SSN (Sekolah standar nasional), RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan sebagainya.

Sebagai psikolog yang biasa melakukan assessment untuk tes masuk sekolah, saya dikejutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya terima saat menjalani proses wawancara untuk mendaftarkan adik saya ke SMA. Guru yang menanyakan motivasi saya mendaftarkan adik di sekolah tersebut ternyata mengharapkan saya menjawab status sekolah RSBI sebagai motivasi utamanya. “Nah, karena RSBI kan berarti yah,” komentar singkatnya memotong cerita saya mengenai proses pemilihan sekolah. Dan saya menahan berkomentar dalam hati, “ok, I got your point.”

Saat hasil menjadi dewa, lalu apa yang akan kita lakukan pada proses? Kita tidak lagi peduli pada proses. Seperti mie instant, kita mau menikmatinya dengan cepat. Kita tidak ingin direpotkan dengan segala macam hal yang harus dilewati hingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Apakah semuanya sudah menjadi jaman instant? Atas nama kecepatan dan kenikmatan, segalanya menjadi legal.

“Guru itu digugu dan ditiru,” kata bapak saat menjelaskan falsafah tentang guru. Digugu dan ditiru berarti guru menjadi teladan. “Guru itu bukan pengajar, tapi pendidik,” falsafah lain yang pernah dijelaskan oleh bapak. Mengajar itu sekedar bisa baca, tulis, dan hitung. Sementara mendidik jauh lebih berat, menanamkan nilai, kebaikan, membentuk manusia. Masihkah falsafah tersebut berlaku di jaman serba instant ini?

Saat guru membiarkan atau bahkan memerintahkan siswa untuk membagi contekan, apa yang bisa kita harapkan dari sekolah untuk mencetak manusia yang baik? apa yang bisa kita harapkan untuk dapat menyelesaikan penggalan berita berikut : Peringkat korupsi Indonesia berada di urutan kedua paling bawah dari negara-negara Asia Pasifik. Sementara secara global tingkat korupsi Indonesia berada di urutan 47 (juni 2011, http://news.okezone.com/read/2011/06/14/339/468071/pemberantasan-korupsi-di-indonesia-peringkat-2-dari-bawah).

Saya masih percaya bahwa hasil yang baik itu penting. Tapi untuk mencapai hasil yang baik, juga diperlukan proses yang baik. Kita tidak akan mendapatkan kue yang enak kalau takaran bahan-bahan pembuatnya tidak pas ataupun waktu memasaknya tidak tepat. Keseluruhan proses yang baik tentunya akan menghasilkan kue yang enak. Mungkin kita bisa dengan mudah membuat kue, dengan mengikuti takaran dalam resep. Tapi anak-anak bukan kue yang memiliki takaran massal. Anak-anak adalah sponge yang akan menyerap apapun dari yang yang dilihat, diterima, dan dirasakannya. Kita bisa memasukkan aneka bahan ajaran, tetapi mereka juga dapat menyerap informasi lainnya dan mengolahnya menjadi nilai-nilai yang akan mereka pahami dan amalkan.

Dalam pelajaran agama dan moral, anak diajarkan untuk berbuat jujur. Dalam pelajaran bahasa Indonesia pun berbagai bahan bacaan mengajarkan nilai kejujuran. Bahkan dalam dongeng yang disampaikan pun, nilai kejujuran (ingat dongeng si Kancil mencuri ketimun?). Lalu apa yang akan kita katakan, manakala yang dilihat dan diterima anak adalah kebalikannya? Kejujuran itu sifat, kualitatif dan bukan kuantitatif. Tidak ada yang tahu seberapa jujur seseorang kecuali Tuhan dan orang itu sendiri. Tapi, kejujuran itu juga terbentuk, bukan proses instant. Mungkin ada makeover untuk penampilan, tapi tidak ada makeover untuk kejujuran.

Sekolah menjadi rumah kedua, tempat anak menghabiskan waktu sekurangnya 6 jam setiap hari. Di sekolah mereka tidak hanya belajar membaca, menulis dan berhitung. Di sekolah mereka belajar tentang kerjasama, tenggang rasa, menghargai, memaknai proses, dan menerima hasil dengan legowo, ikhlas. Begitupula di rumah, nilai yang sama diajarkan dengan cara-cara berbeda. “Konsistensi penerapan nilai dan aturan yang dijalankan di rumah dan di sekolah,” saran itu salah satu saran yang sering saya berikan pada klien masalah perilaku.

Kejujuran dan banyak nilai kebaikan lainnya tidak hanya ditanamkan di sekolah atau di rumah saja. Karena sekolah ataupun rumah (keluarga) bukanlah mesin pencetak manusia. Seberapa takutnya kita untuk mendapatkan hasil buruk sebagai buah kejujuran kita? (misalnya : tidak ikut mencontek dan tidak lulus). Kejujuran mungkin tidak selalu memberikan hasil yang manis seperti yang kita iniginkan, tetapi setidaknya kejujuran akan memberi kelegaan dan melepaskan kita dari perasaan bersalah. Kebohongan akan mengantarkan kita pada kebohongan-kebohongan lain dan melilit kita dalam perasaan bersalah yang berkepanjangan.

Membaca berita mengenai Ibu Siami yang terus diteriaki, “Usir, usir…tak punya hati nurani,” saat meminta maaf di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, saya bertanya-tanya, “hati nurani mana yang diharus ditanyakan?” Ataukah kita memerlukan hidung panjang ala pinokio sebagai alat deteksi kejujuran?

Beranikah kita menantang diri kita sendiri, untuk mengatakan pada anak-anak kita, adik, keponakan, ataupun siswa kita, “Nak, belajarlah yang baik. Kerjakan dengan baik dan jujur. Aku tidak akan bangga dengan hasil baikmu dari mencontek. Aku lebih suka kamu tidak lulus tetapi jujur.”