Kamis, 09 Desember 2010

LANGKAH


mencari tiada henti
seperti langkah tak berujung
kadang berjingkat, berlari, atau melompat
pun tak segera sampai


adakah angin yang membawa kembali?
pertanyaannya masih menggantung
sambil menjaga agar langkahnya tetap menjejak

Senin, 11 Oktober 2010

Meminta Maaf atau Memberi Maaf

Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future. ~Paul Boese

Sebagai manusia sudah sangat biasa dan maklum jika kita berbuat salah. Lalu, setelah berbuat salah, mudahkah untuk meminta maaf? Atau saat orang lain berbuat salah pada kita, mudahkah untuk memberikan maaf? Keduanya bisa jadi mudah atau bahkan sama sulitnya.

Saat harus meminta maaf terlebih dulu, kita sering merasa gengsi, "ih kenapa harus gw yang minta maaf? Dia dong yang salah." Begitupula sebaliknya, "gw maafkan begitu aja? Dia juga belum minta maaf koq." Atau bahkan merasa sudahh memaafkan tetapi dengan bersungut-sungut, "udah koq, gw udah maafkan, dia aja tuh gitu."

Sebenarnya mana yang lebih utama, meminta maaf atau memberi maaf?

Tentu bukan hal yang mengenakkan kalau kita harus mengakui kesalahan atau kekeliruan yang kita lakukan (sengaja atau tidak disengaja), kemudian menundukkan kepala meminta maaf. Sementara itu ada ego manusia yang demikian besar mengatasnamakan harga diri yang akan terus-menerus berkata, "kenapa harus gw yang mulai?," atau melakukan pembelaan diri, "bukan cuma gw yang salah koq, dan gak sebesar itu juga." Ketika kita meminta maaf, maka ada dua hal besar yang kita lakukan: pertama, mengakui kesalahan atau kekurangan kita, dan kedua menundukkan kepala untuk dapat menyatakan "maaf". Bukan perkara mudah saat kita harus mengakui kesalahan, kekurangan, khilaf atau apapun itu menyangkut hal-hal negatif yang kita miliki. Tetapi, bukankah dengan mengakuinya, berarti kita telah membuka hati kita untuk mau melihat dan mengakui kekurangan kita. Butuh keberanian besar untuk seseorang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Lalu, saat ada orang lain yang berbuat salah pada kita, mudahkah untuk memberinya maaf? Forgiven but not forgotten, dimaafkan tetapi tidak dilupakan. Kesalahan, kekeliruan, khilaf atau apapun namanya, yang sudah terjadi tidak akan dapat diubah. Kenyataannya akan tetap sama sekalipun si pembuat kesalahan telah meminta maaf. Luka, coretan, sakitnya akan tetap ada. Namun, tidak berarti bahwa kita akan selalu hidup dalam luka tersebut. Jalan di tempat dalam masa lalu. Dengan memberi maaf, kita tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi, kecuali kenyataan bahwa kita telah melangkah maju. Dengan memberi maaf, kita telah maju selangkah meninggalkan "luka", lalu membuka diri untuk memulai sesuatu yang baru. Luka itu akan tetap ada, tetapi bukan untuk diratapi, melainkan untuk belajar agar tidak kembali jatuh dan mendapatkan luka yang sama. Kalaupun harus kembali jatuh, setidaknya kita dapat kembali bangkit sedikit lebih cepat daripada saat pertama jatuh.

Allah adalah Maha Pemberi Maaf, lalu sebagai makhlukNya, mengapa kita harus pelit untuk memaafkan?

"Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada
Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?" (QS Al-Nur [24): 22).

Meminta maaf dan memaafkan keduanya mungkin sama sulitnya. Atau sama mudahnya? Entahlah.. Mana yang lebih utama, meminta maaf atau memaafkan? Keutamaannya sekarang adalah, bagaimana kita mau membuka hati, membuka diri, menundukkan kepala untuk meminta maaf atau memberi maaf. Bukan untuk menunjukkan siapa yang salah atau benar. Bukan untuk menunjukkan siapa yang kalah atau menang. Dan bukan untuk mengalahkan ego dan harga diri. Tetapi untuk belajar mengoreksi diri, belajar menerima dengan ikhlas, dan dengan jiwa besar belajar dari kesalahan.

Forgiveness is a funny thing. It warms the heart and cools the sting. ~William Arthur Ward



Jadi, mohon maaf yah kalau saya berbuat salah. Dan, insya Allah saya sedang belajar ikhlas untuk memaafkan. Termasuk memaafkan diri saya sendiri karena sering lupa, dan supaya bisa terus berjalan ke depan, tidak terikat yang lalu.

purnama


Lengkung sabitnya mulai penuh
Tak lagi menyembul malu
Dan titik cahayanya semakin terang
Serupa bola besar bercahaya

Purnama
Lima belas
Setengah perjalanan

Sinarnya yang memantul di air
Menampakkan serupa bayangan wajah
Aku mengenalnya
Dekat, sangat dekat

Hati-hati aku telusuri bayangan itu
Aku mengenali lekuk-lekuknya
Dekat, dan melekat

Lalu bayangan itu menyapaku
"Hai, sudah purnama," sapanya ramah

Aku hanya diam, masih mencoba mencari jejak ingatan tentang bayangan itu
Adakah ia datang dari masa laluku?

"Sudah setengah perjalanan waktu, apa yang telah kau capai?," aku diam mendengar pertanyaannya. Mulutku terkatup rapat tak mempunyai jawaban, meski sepotong.

Bayangan di air kembali berkata-kata, kali ini lebih tepat kalau ia menasehatiku, "Kawan, hari ini lengkungnya sempurna, menyinari langkahmu. Jangan sampai kau terjatuh atau tersesat karena kau tak memiliki persiapan. Kelak, lengkung purnama akan kembali mengecil hingga serupa garis. Saat itu kau harus berjalan sendiri. dan kawanmu bukanlah purnama tapi gelap."

Kakiku mulai melangkah mundur perlahan, ups... Aku tak bisa..
Aku tak bisa melangkah mundur, tapi aku bisa menoleh ke belakang, dan tidak melihat apapun yang menghalangi langkahku..

Aku tak bisa mundur...

"Jangan mundur, kau telah memulainya maka teruskan.. Kau boleh menoleh sesekali, untuk memastikan langkah di depanmu, tapi teruslah berjalan." Suara bayangan itu mengagetkanku. Menjawab hujan pertanyaan dalam kepalaku.

Aku menatap bayangan itu. Di matanya aku menemukan kejujuran. Ia mengatakannya dengan tegas, tidak ada ragu sedikitpun dalam setiap kata-katanya. Aku yang meragu dalam langkahku.

"Kawan, teruslah berjalan. Purnama ini masih bersinar untuk membantu langkahmu, teruslah berjalan dan yakinkan langkahmu."

Kali ini, aku membiarkan suara dari bayangan itu mempengaruhi kerja otakku, dan memerintahkan kakiku melangkah.

BLANK


There are lots of question on my head
For you, for me, for both of us

I want to asked you,
Is there me on your day?
Is there me on your dream?
Is there me on your heart?
Is there me on your plan for the future?

And I want to asked myself,
Is there you on my day?
Is there you on my dream?
Is there you on my heart?
Is there you on my plan for the future?

One day, we meet each other
Day by day, years
We talked, laugh, and cry
We grow older
And we realized, what did we do?

Before i asked you all those questions,
First, i will asked my heart, mine
And still, I couldn't find the answer
Could you help me?
Just tell me with a simply words,

What did we do?
What did we want?

And the answer is still BLANK

Minggu, 10 Oktober 2010

There is a reason for everything

I do believe that there is a reason for everything. For events or people that we met in life.

Pernahkah anda bertanya-tanya mengapa suatu peristiwa atau kejadian harus kita alami? Atau mungkin, pernahkah anda berandai-andai, “seandainya saya tidak bertemu dia saat itu, entah apa yang akan saya lakukan.” Saya sering melakukannya. Dan saya rasa, kita semua sering melakukannya. Mempertanyakan alasan atas apa yang kita alami, kita temui atau bahkan kita rasakan. WHY, is one of the biggest question. WHY ditanyakan karena kita ingin mendapatkan jawaban, alasan atau dasar atas suatu kejadian. Apakah salah? Tidak juga. Tidak ada yang mutlak salah ataupun benar, tergantung pada apa yang akan kita lakukan kemudian setelah mengajukan pertanyaan tersebut. Apakah kita hanya akan mempertanyakan, kemudian menyalahkan diri sendiri atau lebih buruk lagi menuding orang lain atas apa yang terjadi. Atau sebaliknya, setelah pertanyaan WHY, kita mengubahnya menjadi HOW. How to make it better? How to get the solution? Kita sendiri yang akan menentukan, apa yang akan kita lakukan setelah WHY tersebut terjawab.

Selama perjalanan hidup saya hingga detik ini, ada banyak kejadian yang saya alami ataupun orang-orang yang saya temui, kemudian saya pertanyakan, “why did he/she comes into my life?” atau “why it happened to me?” dan banyak why lainnya. Dari banyak kejadian dan orang-orang tersebut, saya akan menceritakan sebagiannya.

Saya biasa memanggilnya Pak Heri, dan saya tidak pernah tahu nama lengkapnya. Usianya sekitar 55 tahun. Pekerjaannya sehari-hari adalah timer bus Deborah. Bagi anda yang belum tahu, tugas timer adalah mencatat jadwal setiap bus yang lewat, menjaga jarak antar bus, berapa jumlah penumpangnya saat itu (kaitannya dengan jumlah uang setoran). Saya tidak ingat lagi kapan pertama kali kenal dengan Pak Heri, yang jelas sejak saya masih kuliah sekitar tahun 2004 saat bus Deborah trayek Depok-Kalideres mulai dibuka. Dengan dibukanya trayek ini tentu semakin memudahkan saya setiap kali berangkat ke Depok ataupun pulang ke rumah, karena rute bus ini adalah Depok-TB Simatupang-Pondok Indah-Arteri Permata Hijau-Kebon Jeruk-Kedoya-Daan Mogot-Cengkareng-Kalideres. Yippie… rute rumah saya terlewati. Sayangnya, jumlah bus ini tidak terlalu banyak, setiap harinya hanya beroperasi sekitar 7-10 bus saja.

PO Deborah, perusahaan bus ini menempatkan beberapa timer di sejumlah titik. Pak Heri adalah salah satunya, dengan kantornya adalah halte wisma Indovision. Rutin menggunakan bus ini, menunggu di tempat yang sama, membuat kami menjadi sering mengobrol. Dari cerita-ceritanya saya tahu kalau bapak 3 anak ini kehilangan istrinya akibat kanker, pada 2006 lalu. Ketiga anaknya sudah menikah dan bekerja. Si bungsu masih tinggal dengannya, dengan cucu laki-lakinya. Setiap kali saya menunggu bus, pak Heri hadir dengan cerita kesehariannya. Cucu kecilnya yang merusak tanaman-tanaman di depan rumah, anaknya yang berpindah-pindah pekerjaan, kesedihan dia saat istrinya kembali hadir dalam mimpi, atau bahkan rencana kenaikan uang setoran, sopir-sopir baru yang belum hafal rute, hingga pengurangan jumlah armada bus.

Tidak main-main, sudah lebih dari 15 tahun Pak Heri menjalani profesinya saat ini. Penampilannya sederhana, dengan seragam kantor berwarna coklat, dia selalu tersenyum menunjukkan sebagian gigi-giginya yang tanggal setiap kali saya datang. Lalu, dia mulai berceloteh menceritakan apa saja sambil menemani saya di halte hingga bus Deborah yang saya tunggu datang. Kalau hari sangat panas dan berdebu, dia akan mengajak saya berteduh di gubuk kecil di belakang halte tempat penjual tanaman hias. Saya tidak perlu khawat ketinggalan bus, karena setiap bus pasti akan berhenti untuk lapor pada Pak Heri.

Kadangkala, dia mengirimkan pesan singkat pada saya mengabarkan kondisi bus saat itu, “Ayu, hari ini ke depok? Bus nya cuma 6 yang jalan, jaraknya jauh-jauh.” Bahkan, setiap kali saya akan bepergian dengan Deborah dari rumah, saya akan mengirimkan sms terlebih dulu atau menelepon, “Pak, mau ke depok nih, masih jauh gak?” Lalu, Pak Heri akan menanyakan posisi saya saat itu dan dimana saya akan menunggu. “Mau tunggu dimana? Di depan apartemen yah, nanti kalau udah ngelewatin saya, dimiskol aja yah.” Begitulah Pak Heri, dia akan menelepon saya untuk mengabarkan bahwa bus baru saja melewatinya, sehingga saya dapat memperkirakan berapa lama lagi bus tersebut akan sampai di tempat saya menunggu.

Pak Heri dekat dengan banyak penumpangnya. Bahkan ada diantara mereka yang saling bertukar tanaman hias dan tanaman obat dengan pak Heri, karena hobinya memang bercocok tanam. “si A kemarin adiknya sakit, aku kasih tanaman Y, udah diambil tuh. Saya punya banyak, kemarin dikasih si Z bibitnya. Kayaknya si Z pindah kerja, kemarin gak bareng-bareng lagi sama si S,” begitulah sebagian ceritanya.

Terkadang Pak Heri menceritakan tentang betapa rukunnya tetangga-tetangganya. “Kemarin rapat RT sekaligus halal bihalal di rumah pak Buyung (Adnan Buyung Nasution / ABN, red), urun rembug pelebaran jalan.” Dengan semangatnya pak Heri menceritakan letak rumahnya pada saya begitu mengetahui bahwa saya pernah liputan ke rumah ABN. Padahal, kalau saya boleh jujur, saya sendiri lupa detail daerahnya. Saya hanya ingat ada di seputaran daerah Lebak Bulus. Sekarang, dia selalu semangat bercerita tentang program TV yang ia saksikan tempat saya bekerja. “Wah bagus tuh yang kemarin, saya nonton tapi ngantuk banget, udah malam,” komentar singkat yang sering saya dengar. Bagaimana dengan hari liburnya? Seingat saya, dia hampir tidak pernah libur. Dia lebih memilih bekerja karena menurut pengakuannya di rumahnya sepi dan ia kebingungan sendiri apa yang akan dia lakukan di rumah.

Setiap kali kami mengobrol, pak Heri sering menasehati saya tentang pekerjaan ataupun hal lainnya. “Mau kuliah sampai S berapa nanti? Cepat luluslah, kerja yang baik, lalu nikah” nasehatnya. Atau beberapa nasehat ringan lain semisal tanaman obat alternatif. Dari Pak Heri, saya melihat kesepian seorang lelaki tua, manakala anak-anaknya sudah beranjak dewasa dan tak lagi didampingi istri. Pak Heri sering menceritakan tentang kebaikan-kebaikan istrinya dan juga betapa ia mencintai istrinya. Saya sering berseloroh, “nikah lagi aja pak,” dan jawaban tegasnya adalah, “Nggak ah, saya trauma, dan saya cinta sekali sama istri saya, menikah yah sekali saja.” Jawaban singkatnya membuat saya langsung diam dan tidak lagi berani mempertanyakan.

Melalui Pak Heri, saya diajarkan untuk mensyukuri setiap pekerjaan yang dimiliki, menjalaninya dengan ikhlas, sungguh-sungguh dan kerja keras. Dari Pak Heri, saya diingatkan tentang cinta ayah pada anak-anaknya. “Anak saya itu kemarin kehabisan pulsa, jadi dia pakai hp saya yang satu lagi, saya pakai yang ini (sambil menunjukkan salah satu hp nya), eh ternayata habis juga pulsanya dipakai main internet sama anak saya, hehehe.” Cerita-cerita itu mengalir begitu saja dengan ringan dari pak Heri. Mungkin itulah alasan mengapa Tuhan mempertemukan saya dengan Pak Heri, agar saya tidak hanya duduk diam menghitung jumlah kendaraan yang lewat setiap kali menunggu bus. Tuhan mengirimkan teman bicara yang begitu baik dan mengajarkan banyak hal.

Pak Heri hanya satu dari banyak orang yang saya temui di hidup saya. Ada yang saya temui dalam waktu lama dan ada juga yang hanya sebentar, tapi meninggalkan bekas.

Suatu pagi, salah seorang teman kos saya, Ninid baru datang dari Bandung. Kali ini Ninid datang tidak sendiri. Seorang ibu berusia sekitar 50 tahun mengikuti dibelakangnya dengan senyum yang terus terkembang. Ninid mengenalkannya pada kami semua di kos, yang sedang tergesa akan berangkat ke kampus.

Kami mengenalnya dengan panggilan Bu Tri, salah seorang dosen psikologi di Universitas Padjajaran. Ninid mengenalnya secara tidak sengaja di travel dalam perjalanan ke Depok. Setelah mengobrol, ternyata bu Tri akan mengikuti seminar selama dua hari di UI dan belum mendapatkan penginapan. Ninid menawarkan untuk menginap di kos, dengan ijin ibu kos tentunya. Bu Tri kemudian menempati salah satu kamar kosong di kos, dan kami pun saling menyumbang perlengkapan untuk kamar tersebut. Mengantar bu Tri ke kampus menunjukkan lokasi seminar. Malamnya, kami makan malam bersama, dan dengan penuh keberuntungan, kami ditraktir!! Bu Tri mulai bercerita tentang rencananya dalam beberapa bulan kedepan yang akan mengikuti short course di Australia, tentang keluarganya, dan menasehati kami semua tentang pendidikan yang sedang kami jalani.

Hari kedua seminar, bu Tri selesai lebih cepat dan langsung kembali ke Bandung. Beliau tidak dapat berpamitan langsung pada kami. Tapi, betapa terkejutnya kami karena Bu Tri menyisipkan surat untuk masing-masing kami. Untuk saya, bu Tri meletakkannya di atas jemuran lipat depan kamar saya dengan sprei yang dilipat rapi.


Ayu,

Terimakasih banyak pinjaman sprei dan sarung bantal. Perlu di laundry lagi ya, ini ongkosnya, selamat berkarya.

Ibu Tri
Jl. Xyz
0812214XXX





Lalu, ada surat untuk kami semua di kos berisi pesan untuk kami agar terus berjalan tegak dalam menjalani kuliah kami. Menetapkan cita-cita, target, tujuan yang akan kami capai kelak.

Sama seperti Pak Heri, dengan kehadiran singkatnya bu Tri mengajarkan pada kami, saya dan teman-teman kos betapa semangatnya beliau untuk terus menuntut ilmu, mengembangkan diri bahkan sampai usia tuanya. Tanpa mereka sadari, mereka mengajarkan pada kami tentang kemandirian dan semangat. Di usia senjanya, mereka masih terus bersemangat, sedangkan kami kadang terlalu sering mengeluh dengan apa yang kami hadapi. Tuhan mengirimkan mereka dengan caranya masing-masing pada kami, saya dan teman-teman saya untuk kami belajar menjalani hidup dengan lebih baik.

Terimakasih Tuhan, saya mulai menemukan jawabannya, walaupun masih terus bertanya tentang beberapa kejadian lain dan beberapa orang lainnya.

Cerita Tentang Seorang Perempuan




Ini adalah cerita tentang seorang perempuan. Cerita yang hadir karena diingatkan oleh si Tuan Setan. Cerita yang hadir karena saya merasa tidak cukup adil telah banyak menceritakan tentang kekasih perempuan itu, sementara cerita tentang perempuan itu belum pernah ditulis. Ini cerita tentang seorang perempuan sederhana yang hanya menjalankan kariernya di rumah, sebagai ibu dan istri. Sekolahnya hanya selesai di SMP. Merantau ke Jakarta mengikuti kakaknya dan menikah di usia muda, 18 tahun! Saat usianya baru genap dua puluh tahun, anak pertamanya lahir, juga seorang perempuan.

Perempuan itu membesarkan anak perempuannya sekaligus mengurusi suaminya seorang diri, tanpa pembantu. Penghasilan suaminya tidak cukup untuk dapat membayar seorang pembantu rumah tangga di rumah kontrakan mereka. Lagipula perempuan itu merasa bahwa ia masih dapat melakukan semua tugas rumah tangga seorang diri. Sama sekali tidak merepotkan, bahkan ia masih dapat melakukan pekerjaan sampingan walaupun sekedar hobi dan dapat menambah sedikit penghasilan, menjahit. Tidak hanya menjahit, tetapi perempuan itu pun mencoba peruntungan dengan membuat berbagai kue kering, berbagai penganan yang dititipkan di warung-warung, hingga membuka warung kelontong kecil-kecilan di rumah mereka yang kecil. Dan semua usaha yang dijalankan perempuan itu selalu berhasil menambah penghasilan sang suami.

Anak perempuannya tumbuh besar. Dan perempuan itu selalu mengatakan, "ini anak pertama saya," Walaupun anak perempuannya selama 11 tahun menjadi anak tunggal. Bahkan setiap kali teman atau tetangga berkeras mengatakannya sebagai anak tunggal, perempuan itu tetap bersikukuh dengan pendapatnya, "ini anak pertama saya."

Dan perempuan itu BENAR!! Anak perempuannya adalah anak pertama. Tepat saat anak perempuannya berusia 11 tahun 6 bulan, tepat di hari ulang tahun perkawinannya yang ke 13, perempuan itu melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak laki-laki yang selama ini diidamkan olehnya dan suaminya untuk melengkapi keluarga kecil mereka. Namun, Tuhan terlalu sayang pada perempuan itu dan bayi laki-lakinya. Perempuan itu tidak pernah mendengar tangisan bayi laki-lakinya. Dan dia tahu sejak awal, bayi laki-lakinya akan damai dalam tangan Sang Pemilik Hidup. “Maaf yah, Mama gak jadi kasih adeknya, harusnya buat hadiah yah” hanya kalimat singkat itu yang keluar dari mulut perempuan itu manakala anak perempuannya datang menjenguk. Bahkan perempuan itu meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dilakukannya.

Entah dari apa hati perempuan itu dibuat. Ia demikian sabar, pemaaf dan ikhlas. Bahkan saat ia tahu beberapa orang bergunjing dibelakangnya, mengumpat kenaifannya. Perempuan itu selalu keluar dengan senyum di wajahnya.

Pada anak perempuannya, ia adalah ibu yang manis, tegas, dan pemurah. Ia mengajarkan anak perempuannya menyanyikan lagu-lagu dalam buku lagu-lagu wajib. Ia membuatkan baju untuk anak perempuannya, mengajarkannya berhitung. Perempuan itupun memiliki strategi untuk mengajarkan anaknya disiplin. Tanpa pernah tahu tentang teori pembentukan perilaku, tanpa sadar ia telah menerapkan sistem positive reinforcement dalam pembentukan perilaku anak perempuannya sejak kecil. Ia menjanjikan hadiah pada anaknya apabila berhasil menghabiskan makanannya, atau selesai mengerjakan tugas. Imbalannya? Sederhana, hanya buah-buahan yang memang sengaja ia siapkan untuk pencuci mulut. Belakangan, anak perempuannya baru mulai menyadari bahwa yang dilakukan perempuan itu adalah sebuah cara sederhana untuk menumbuhkan kesukaan anak pada buah.
Entah ada hubungan apa antara angka 13 dengan perempuan itu, tapi di angka 13 perempuan itu selalu mendapatkan atau kehilangan anaknya. Di usia perkawinannya yang ke 13, ia mendapatkan seorang anak laki-laki sekaligus kehilangannya. Di usia anak perempuannya yang ke 13, perempuan itu kembali melahirkan seorang anak perempuan. Dan sekali lagi, keyakinan perempuan itu tentang anak pertamanya, adalah BENAR!

Usia perkawinannya melewati angka 28 tahun. Dan sepanjang 28 tahun juga, perempuan itu mengurusi suami dan kedua anak perempuannya, seorang diri. Juga mengurusi warung kecilnya untuk mengisi waktu luang.

Hingga suatu pagi, perempuan itu menghampiri anak perempuannya yang pertama dengan wajah panik, kebingungan dengan apa yang terjadi dengan suaminya yang sedang sesak nafas. Perempuan itu membawa suaminya ke rumah sakit. Perempuan itu mendampingi suaminya selama terbaring sakit, satu bulan penuh. Dan tidak satu haripun perempuan itu pergi dari sisi kekasihnya yang telah dinikahi berpuluh tahun.

Perempuan itu tidak menangis di depan anak perempuannya. Dia hanya menangis dalam doa panjangnya setiap kali shalat. Waktu tidurnya menjadi berkurang jauh, karena ia kerap terjaga, melakukan shalat dan doa, memohon untuk pria yang telah hidup bersamanya selama 28 tahun. Demi keluarganya, perempuan itu selalu bertanya pada anak perempuannya,”bagaimana kalau…..,” atau, “kamu setuju gak, kalau…..” Pertanyaan-pertanyaan yang meminta persetujuan untuk setiap langkah yang akan diambilnya untuk suami dan anak-anak perempuannya.

Dan perempuan itu masih berdiri tegak sambil memeluk anak-anak perempuannya, berkata dengan suara lirihnya, “terimakasih, kamu telah melakukan segalanya untuk dia,” pada detik ia menjadi janda. Dan hingga kini, setahun setelah suaminya pergi, perempuan itu masih berdoa panjang dalam shalatnya, setiap malam. Sesekali ia menangis ditengah keluh kesah doanya.

Perempuan itu kini hidup dengan dua anak perempuannya. Perempuan itu masih menyimpan rapi setiap kenangannya dengan suaminya, termasuk undangan saat menghadiri wisuda anak perempuan mereka. Perempuan itu tidak pernah sadar bahwa ia telah mengajarkan lebih banyak hal dari yang dapat dikatakannya pada anak-anak perempuannya.

Suatu malam, anak perempuannya mencuri dengar doa perempuan itu, “Tuhanku, berikan kebahagiaan pada anak-anakku, sekolah, rezeki dan jodoh terbaik. Berikan suamiku tempat terbaik di sisiMU.” Lirih doanya setiap malam. Perempuan itu tidak pernah meminta untuknya. Seumur hidupnya adalah mengabdi untuk keluarganya. Dan anak perempuan itu kini berharap agar ia menjadi kuat, tabah, sabar, dan ikhlas seperti perempuan itu.

Ini adalah cerita tentang seorang perempuan sederhana yang sabar, dengan keikhlasan luar biasa mengurus keluarganya. Cerita tentang ketabahan seorang perempuan yang kehilangan suami yang telah dinikahinya 28 tahun. Cerita tentang seorang anak perempuan yang berharap untuk memiliki hati seperti ibunya.

Kamis, 07 Oktober 2010

RUMAH KEDUA

Goodbyes are not forever. Goodbyes are not the end. They simply mean I'll miss you Until we meet again! *Unknown*

Pindahan selalu menyisakan hal tidak mengenakkan. Bukan hanya dari tenaga yang terkuras, tapi juga emosi yang menyertainya. Dan acara pindahan kali ini penuh dengan aneka perasaan, persis kayak permen nano-nano, tapi tidak seindah aneka warna pelangi.

18 bulan tinggal di rumah itu rasanya sangat berbekas. Perasaan nyaman selama tinggal di rumah itu membuatku semakin malas untuk mengepak barang-barang. Beberapa kali jadwal packing pun tidak dikerjakan dengan baik. Perasaan enggan beranjak mengikat demikian kuat. Rasanya kalau packing mulai dikerjakan, maka waktuku di rumah itu semakin dekat.

Apa istimewanya rumah itu? Tidak ada, sama seperti rumah-rumah lainnya. Rumah dua lantai dengan 12 kamar. Dan di kamar berukuran sekitar 4m x 6m itu aku menghabiskan sebagian besar waktuku selama sekitar 18 bulan terakhir. Kamar yang tidak cukup besar dan masih dijejali dengan tumpukan buku yang berserakan bahkan hingga ke kolong tempat tidur. Jumlah baju dan buku yang ada di kamar itu pun tidak sebanding. Di salah satu sudut kamar ada kamar mandi, yang digunakan berdua dengan tetangga kamar. Urusan kamar mandi inipun seringkali menimbulkan masalah tersendiri, terutama berkaitan dengan kunci pintu. Pasalnya, tetangga kamar seringkali lupa membuka kunci pintu kamar mandi yang menjadi penghubung ke kamar lainnya. Masalah lain berkaitan dengan kunci pintu adalah, jika salah seorang dari kami terlupa meninggalkan kunci di dalam kamar. Kehebohan mencari kunci cadangan akan menjadi keramaian tersendiri.



Di rumah itu hanya ada 12 kamar, dan seringkali tidak full 12 orang yang menghuninya. Dilengkapi dengan satu dapur tempat kami biasa menghangatkan berbagai makanan, sekedar membuat masakan instant, atau mencoba berkreasi berbagai resep dengan menyisakan dapur yang berantakan. Lalu ada tv kecil di ruang tengah tempat kami biasa berkumpul. TV yang sering menghebohkan karena kami harus berusaha keras agar antenna terpasang dengan baik sehingga kami dapat menangkap siaran TV dengan baik pula.

Ada meja makan yang fungsinya untuk menaruh segala perlengkapan makanan, bukan untuk makan bersama. Kami lebih suka duduk di atas karpet di depan TV di ruang tengah untuk makan bersama. Sementara meja makan dipenuhi berbagai stok makanan. Di dinding diatas meja makan ditempel tulisan besar “selesai makan langsung cuci yah piring-sendoknya”. Di atas lemari es, ada aquarium berisi dua kura-kura peliharaan kami, namanya Tamama dan Taruru. Kami sering bergiliran memandikan Tamaru (singkatan dari Tamama-Taruru). Memandikan dan membersihkan aquariumnya. Memberi makan Tamaru dengan makanan ikan, padahal kalau terpaksa Tamaru juga mau makan “egg drops” hehehe..


Lemari es selalu dipenuhi dengan stok makanan. Seringkali si pemilik bahkan lupa kalau menyimpan makanan. Sampai lemari es tidak lagi muat menampung stok makanan kami, maka akan dilakukan pembersihan besar-besaran, dan berbagai stok makanan “terlupakan” akan segera dimusnahkan.

Karpet di ruang tengah tempat kami biasa berkumpul, makan bersama, ngobrol, curhat, atau menunggu antrian menyetrika. Tempat lain untuk kami berkumpul adalah musholla kecil di bagian tengah rumah. Tempat kami biasa shalat jamaah, mengaji, ngobrol santai sampai curhat serius. Kamar-kamar kami pun biasa dipakai bergiliran untuk beberapa hal. Kamar Nid biasa digunakan untuk karaoke ria, sampai suara centil dan cempreng kami terdengar tetangga. Kamar Pit suka digunakan untuk curhat dadakan. Kamar Dhikung suka mendadak diinvasi untuk fitting baju dan make up. Kamarku sering dijajah untuk mengobrak-abrik buku apa yang bisa dijarah, terutama oleh Dhikung. Kamar Hay ?! relatif aman, karena selalu dilindungi dengan alasan, “kamar gw berantakan, jangan ah.”

Ah.. terlalu banyak kenangan di rumah itu. Berbagi dan saling mengingatkan, seperti layaknya saudara. Panggilan nyaring untuk shalat jamaah, lalu saling berebutan tempat shalat di pinggir, menghindari kemungkinan menjadi imam. Kehebohan memilih imam selalu diwarnai dengan hitung-hitungan, “imam itu yang paling tua,” atau “gw udah imam tadi ashar, magrib gantian ah,” atau “kan gw udah imam kemarin, lo belum tauk,” dan beragam alasan lainnya sampai ada yang mengalah, “yaudah deh… cepetan ah, tapi tar gantian yah.” Keinginan menjadi manusia yang lebih baik mengantarkan kami pada sebuah kesepakatan untuk membuat pengajian kecil. Dibuatlah jadwal sederhana tentang giliran siapa yang akan menjadi penanggung jawab pengajian setiap minggunya hingga siapa yang mendapatkan giliran untuk sharing. Sesi pengajian seringkali juga diakhiri dengan sesi curhat.

Saling mengingatkan bukan hanya untuk ibadah. Tetapi juga mengingatkan untuk mencuci piring-sendok-gelas bekas makan langsung dan tidak menumpuknya di tempat cuci piring. Maklum, kami tidak memiliki asisten rumah tangga. Kami seringkali lupa mencuci perlengkapan bekas makan, hingga yang lain akan mengingatkan dengan teriakan nyaring dari ruang tengah, “siapa yang habis makan nih, cuci yah.” Atau teguran Karena sering lupa mencuci perlengkapan bekas memasak.

Berbagai masalah keseharian kami menjadi pembicaraan ringan hingga serius. Siapa dosen yang galak, siapa sedang suka dengan siapa, siapa yang sedang didekati cowok, masalah dengan pacar, mendengarkan teman menangis karena baru putus dengan pacarnya, masalah BEM, masalah keluarga, atau sekedar kesulitan tugas kuliah. Rasanya semua hal bisa menjadi bahan pembicaraan kami. Lalu, olok-olok bercanda, bukti perhatian dan rasa sayang kami.

Salah satu hal lucu di rumah itu adalah awalnya kami semua satu angkatan, yaitu angkatan 2008. Hanya saja, aku dan 3 teman lainnya program magister profesi psikologi, sementara 6 orang lainnya adalah mahasiswa program S1 reguler. Lalu, aku dan 3 temanku menjelma menjadi anak tertua di rumah itu.

Penghuni rumah itu bukan hanya kami, tapi juga si pemilik rumah. Kami memanggilnya “Ibu”, ibu kedua kami. Ibu yang selalu sabar dengan wajah lembutnya tidak pernah protes kalau kami telat membayar uang kos. Atau saat kami mengirimkan sms memberi tahu akan terlambat pulang dan meminta agar pintu tidak dikunci lebih dulu, Ibu akan meninggalkan kunci agar kami tetap bisa masuk rumah tanpa memanjat pagar.

Ada Ibu, ada adik-adik, ada rumah tempat kami berkumpul. Rumah kedua itu bernama “Kos Muslimah”. Bukan nama resmi, kami yang memberi nama dengan spontan karena iri rumah kos lain memiliki nama. Nama yang diberikan secara spontan saat mbak-mbak laundry menuliskan nama kami di kertas pesanan dan menanyakan alamat kos. Nama spontan yang diberikan saat mas-mas aqua bertanya alamat pengiriman gallon aqua. Nama spontan yang diberikan saat pesan indomie atau roti bakar di warung depan dan mas/mbak pelayannya bertanya akan diantarkan kemana.

Di rumah kedua itu, aku mendapatkan keluarga kedua. Ibu, Adik, Sahabat, Keluarga, semua lengkap satu paket dalam rumah itu. Dan tumpukan kardus berisi penuh barang-barang mengingatkanku kalau rumah kedua itu, kamar itu akan mendapatkan banyak penghuni baru. Berat rasanya untuk meninggalkan rumah itu. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa ternyata waktu 18 bulan cukup untuk membuat ikatan diantara kami, layaknya saudara. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku, bahwa ternyata melangkahkan kaki keluar dari rumah itu rasanya akan demikian berat.

Teman, hidup tidak berhenti dengan kita keluar dari rumah kedua itu. Hidup baru akan segera dimulai. Rumah kedua kita telah menempa agar kita menjadi manusia yang peka, peduli pada sesama, mau berbagi dan insya Allah kita akan terus bersama dalam persaudaraan yang indah.

“Some people come into our lives and quickly go. Some stay for awhile and leave footprints on our hearts. And we are never, ever the same.”


Rumah kedua itu dan kalian telah meninggalkan jejak yang terlalu jelas, hingga aku kini, tidak lagi sama seperti aku, 18 bulan lalu, dan aku bersyukur untuk jejak-jejak yang telah kalian tinggalkan.

LANGKAH KE-28


Hari ke 28

Aku mengetuk pintuMu

Di rumahMu aku bersimpuh

Dalam sujud panjang

Dalam diam

Dalam dingin dan kerasnya hati

Aku mengadu

Tahun lalu, dilangkah ke 28

Dalam sunyinya pagi

Aku limbung

Rumah itu goyah

Karena satu tiangnya rapuh

Mencoba menjejak dalam ketakpastian

Berusaha menggapai asa dalam ketakberdayaan

Lalu, langkah-langkah lunglai itu mencoba kembali bertahan

Hingga kini, hari ke 28

Aku kembali menyapaMu

DirumahMu

Mengadu

Berharap

Dengan segala pinta

Dengan semua asa yang tersisa

Jangan kau beri aku batu yang tak sanggup kulewati

Jangan kau beri aku gelombang yang tak mampu kulawan

Aku masih limbung

Dan masih berusaha menjejak

Kau yang Maha Berencana

Aku berserah

Untuk setiap detik yang terlewati

Aku berpasrah

Untuk setiap hal yang Kau beri

Langkah ke 28

Dan aku masih akan terus berjalan

Hingga ujung waktuMu

Antara Ramadhan dan Ikan

Entah mengapa, dua tahun belakangan Ramadhan saya selalu diwarnai dengan aksi para ikan. Jangan berpikir yang negatif, karena ikan yang saya maksud adalah ikan yang sebenarnya, dalam arti denotasi. Tahun lalu, menjelang akhir Ramadhan saya harus direpotkan dengan berpuluh ikan lele dan gurame. Tahun ini, giliran awal Ramadhan yang direpotkan dengan ikan cakalang.

Saya masih mengiingat dengan sangat jelas acara bakti sosial tahun lalu. Awalnya membantu seorang teman untuk melakukan baksos bersama dengan teman-teman SMP-SMA nya. Saya mengajak rombongan ini ke salah satu panti asuhan di seputaran Bogor.

Pertama, saya akan ceritakan dulu tentang panti asuhan yang kelak akan menghubungkan saya dengan kehebohan bersama ikan lele dan gurame. Panti asuhan ini adalah milik Pak Haji, setidaknya begitulah kami biasa memanggilnya. Pak Haji membiayai anak-anak di panti asuhan dengan mengandalkan hasil dari kolam ikan lele dan gurame yang dikelolanya. Tidak main-main, anak-anak yang tinggal dipanti asuhannya mencapai jumlah 200an anak. Beberapa bahkan ada yang sudah bersekolah hingga ke perguruan tinggi dan menikah. Dan semua itu, Pak Haji yang membayainya, sendirian!!

Anak-anak tinggal dalam asrama sederhana. Baru setahun belakangan ada seorang donatur baik hati yang kemudian membangunkan asrama untuk para santri laki-laki. Guru dan para pengasuh dibayar dengan honor sukarela atas dasar ikhlas.

Selesai acara baksos, Pak Haji baik hati itu menawari saya untuk membawa oleh-oleh ikan dari kolamnya. Tak tega menolak, saya pun menerimanya. Lagipula saya bersama dengan salah seorang ibu dari teman, yang biasa saya panggil Mama Panda telah membuat kesepakatan akan membagi dua oleh-oleh ikan tersebut. Sebagai anak kos, saya menerima dengan tangan terbuka dan akan memberikannya pada ibu kos sebagai oleh-oleh. Tentu sebelumnya saya sudah menelepon ibu kos untuk memastikan si Ibu tidak berkeberatan dengan ikan oleh-oleh tersebut. Kira-kira seperti ini percakapannya:

Ayu : ibu, lagi di bogor nih. Dikasih oleh-oleh ikan dari kolam langsung bu, mau gak?

Ibu kos : mau, ikan apaan yu?

Ayu : ikan lele dan gurame, mau yah bu beneran?

Ibu kos : iya, mau. Nanti ibu masakkin.

Ayu : asik… oiya bu, aku pulang malam, jangan dikunciin dulu yah hehehe…

Ibu kos : ok.. nanti sms ibu aja pulang jam berapa yah,.

Ayu : ok bu, makasih

Walhasil, Pak Haji kemudian membungkuskan beberapa ekor ikan lele dan gurame. Awalnya saya kira beberapa ekor (beberapa sama dengan tidak lebih dari 20 ekor). Tetapi kenyataan berkata lain. Saat dimasukkan ke dalam mobil, ada dua kantong plastik besar berisi ikan. Saya bisa mendengar dengan jelas geliat ikan-ikan itu di dalam plastik. “Ya Rabb… ikannya masih hidup…” dan saya hanya bisa menggumam dalam hati sambil mengulum senyum ucapan terimakasih. Melihat senyum saya, pak Haji menjelaskan dengan tenang, “nanti lama-lama juga mabok, ikannya diem,” ujarnya singkat. “hah?? Mabok?? Waduh.. halal gak yah kalau ikannya mabok?” sekilas ada pikiran jahil yang melintas di kepala saya.

Selesai baksos, kami pun melanjutkan dengan cara buka puasa bersama di kafe salah seorang teman. Dan ikan-ikan itu tentu tidak ikut bersama saya untuk masuk ke dalam kafe, melainkan tetap di plastik dalam mobil. Jujur saja, sepanjang buka puasa saya sempat teringat dengan nasib ikan-ikan tersebut. Karena sepanjang perjalanan, ikan-ikan itu terus menggeliat dengan ribut.

Selesai buka puasa, saya menemukan ikan-ikan itu semuanya diam dan sangat tenang. Tampaknya Pak Haji benar, lama-kelamaan mereka akan mabok dan diam. Dan saya pun melanjutkan perjalanan dengan tenang hingga Depok.

Urusan dengan ikan tidak begitu saja selesai. Sampai di kos, karena sudah terlalu malam, maka Mama Panda, ibu teman saya memutuskan untuk merelakan ikan bagiannya kepada ibu kos saya. Alasannya, agar cepat diolah, sebab asisten rumah tangga di rumahnya mungkin sudah tidur dan akan lebih baik jika dapat segera diolah. Baiklah, saya tidak akan membantah orang tua dan hanya menurut. Setelah ditimbang-timbang, ternyata ikan yang saya bawa sangat berat. Kelelahan beraktivitas seharian membuat saya tidak sanggup membawa kantong plastik berisi ikan tersebut. Belum lagi, kekhawatiran saya kalau ikan tersebut akan loncat ketika saya bawa.

Beruntung ada salah seorang teman yang kebetulan juga tetangga kos, masih bangun dan bersedia diganggu, sebut saja namanya A. Kebetulan kos A memiliki halaman yang lapang sehingga mobil yang mengantar saya bisa parkir sekaligus menjemput A agar membawakan kantong plastik berisi ikan. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Dalam keadaan setengah sadar karena dibangunkan dari mimpi, A membawakan plastik berisi ikan ke kos.

Setelah memakan pisang bakar keju sebagai upah mengangkut plastik ikan dan memastikan bahwa saya akan membagi hasil masakan ikan, A langsung berpamitan. Dan saya, tentunya langsung mengabari ibu kos bahwa oleh-oleh ikan telah sampai. Khawatir bau, ibu kos memutuskan akan langsung membersihkan ikan dan menyimpannya di lemari es. Tidak enak hati karena sudah larut malam, maka saya membantu si ibu kos untuk ikut membersihkan ikan.

Alamak!! Betapa kagetnya kami, saat plastik dibuka, ternyata ada berpuluh ikan lele dan gurame. Kami harus menempatkannya dalam satu buah bak besar dan ikan-ikan itu berjejal memenuhi bak tersebut. Saya haru jujur kalau saat itu saya sama sekali TIDAK BISA membersihkan ikan. Dan saya, TAKUT untuk membersihkannya. Takut ikannya tiba-tiba loncat dan menggigit. Tapi, manusia dalam keadaan terdesak dapat melakukan apa saja. Mati-matian menekan rasa takut saya, akhirnya rasa tidak enak hati dengan ibu kos yang menang, dan saya menurut diajari bagaimana caranya membersihkan ikan. Beruntung ikan-ikan tersebut benar-benar sudah mabok saat ditinggal di mobil waktu buka puasa tadi.

Pagi itu (dini hari) saya belajar membersihkan ikan. Awalnya saya membutuhkan waktu lama hanya untuk membersihkan satu ekor ikan dan dilanjutkan dengan pertanyaan: “udah bersih belum nih bu?”, sampai kemudian saya bisa melakukannya dengan cepat dan tidak lagi memerlukan penguatan dari ibu kos.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Karena proses membersihkan ikan ini berlangsung selama hampir 3 jam. Jumlah ikannya sendiri mencapai puluhan, 20 ekor gurame ditambah dengan 100 ekor ikan lele. Jumlah yang sangat cukup untuk latihan dan menjadikan saya ahli membersihkan ikan. Kami pun masih harus putar otak agar ikan-ikan tersebut dapat disimpan di lemari es karena jumlahnya yang sangat banyak.

Teman kos lainnya hanya bisa geleng kepala melihat oleh-oleh yang saya bawa malam itu. Sementara saya hanya bisa tersenyum sambil meringis membayangkan mualnya makan ikan lele. Ibu kos pun kemudian dengan bijaknya berpesan, “yu, tahun depan cari Pak Haji yang panti asuhannya dari kebun duren aja yah, ibu mau banget”. Sekedar info, ibu kos saya adalah teman makan duren yang sangat menyenangkan hehe…

Jumlah ikan yang terlalu banyak, tentu tidak akan enak bila dimakan sendiri. Setidaknya, saat itu saya sempat berjanji tidak akan makan lele selama beberapa bulan ke depan. Ibu kos akhirnya memutuskan untuk membagi ikan lele kepada para tetangga. Sayangnya, ibu kos lupa kalau ternyata masih ada ikan gurame di lemari es lainnya.

Merasa bersalah dan tidak enak hati, akhirnya saya bersikukuh untuk memasakkan ikan gurame untuk seisi kos, dan juga ibu kos tercinta. Resepnya dari resep khas masakan ibu saya. Konsultasi resep via telepon pun dilakukan. Alhamdulillah… masakan sukses dilakukan di dapur kos, dengan alat masak pinjaman ibu kos. Kali ini, tetangga kos yang telah berbaik hati membawakan plastik ikan tidak lupa menuntut bagiannya. Dan gurame-gurame pun tergolek manis dalam piring saji menjadi “gurame asam manis”, sebagai sajian menu sahur terakhir di kos pada ramadhan 1430H. Resepnya saya sertakan untuk berbagi dengan teman semuanya.

Lain gurame, lain ikan lele, lain pula ikan cakalang. Kali ini terjadi di hari pertama Ramadhan tahun ini, 1431H. Salah seorang teman kos, sebut saja namanya Hay, memiliki teman-teman yang luar biasa baik. Saking baiknya, teman-temannya sangat senang memberi oleh-oleh setiap kali dari luar kota. Sebagai teman kos, kami tentu sangat senang karena turut merasakan oleh-oleh tersebut. Kali ini, oleh-olehnya sedikit luar biasa. Oleh-oleh dibawa dari Papua dan diantarkan langsung ke kos. Namun, sayangnya Hay sedang tidak di kos sehingga tidak tahu kalau ada sebungkus ikan cakalang di atas lemari es yang mulai menebar aroma harum. Setelah meributkan siapa pemilik ikan, akhirnya diketahuilah asal-usul ikan sebenarnya. Atas kesepakatan bersama, kami pun sepakat untuk mengolahnya menjadi “ikan cakalang cabe hijau” sebagai menu sahur pertama.

Setiap kali acara memasak dilakukan di kos, selalu ada kehebohan. Beruntung kali ini saya tidak harus mengulang kembali adegan membersihkan ikan. Dengan semua kehebohan, kami kembali meminjam alat masak ibu kos, mengacak-ngacak dapur, dan bereksperimen dengan berbagai bumbu, hingga akhirnya tersaji menu yang kami harapkan. Ikan cakalang cabe hijau yang gurih dan pedas tersaji untuk seisi kos menemani sahur pertama kami. Dan tak lupa, ibu kos kami juga tersenyum riang melihat anak-anaknya ternyata bisa berkreasi di dapurnya. Makasih yah bu :) dan sekarang saya mulai berpikir, tahun depan kira-kira ikan apa lagi yang akan hadir mewarnai ramadhan saya? huehehehe

RESEP*

IKAN / AYAM SAUS BAWANG BOMBAY, ATAU SAUS ASAM MANIS

BAHAN

Ikan yang sudah digoreng setengah matang

Jahe, lengkuas

Gula

Garam

Bawang Bombay

Bawang putih

Saus cabe

Saus tomat

Saus tiram (2 sendok makan, atau 1 sachet)

Nenas (boleh juga gak dipakai, sesuai selera)

CARA MEMBUAT

  1. Ikan dibumbui dengan bumbu halus (kunyit, jahe, garam, ketumbar, haluskan dan lumuri pada seluruh bagian ikan)
  2. Goreng ikan hingga matang, sisihkan
  3. Buat saus asam manis
    • Tumis bawang Bombay, bawang putih sampai wangi
    • Masukkan jahe, lengkuas, daun salam
    • Masukkan saus cabe, saus tomat, kecap (kalau suka kecap atau saus tiram aja)
    • Tambahkan air sedikit
    • Masukkan nanas, biarkan mengental, angkat, sisihkan
  4. Penyajian

Sajikan ikan dipiring, trus disiram saus asam manis hehehe. Sajikan dengan sayuran rebus (sayuran instan yang direbus kayak buncis, kacang polong, wortel, atau sayuran segar direbus +++ kentang goreng juga enak koq)

Tips :

  1. Ikan yang sudah dibersihkan, sebelum disimpan bisa dilumuri dengan air garam dan jeruk nipis agar tidak amis. Kalau kepepet, hanya garam juga boleh. Bisa diulang sebelum digoreng dan biarkan meresap.
  2. Ikan bisa juga diganti dengan ayam, dan resepnya bisa seperti :
  • Ayam digoreng setengah matang, sisihkan
  • Tumis bawang Bombay, bawang putih sampai wangi
  • Masukkan jahe, lengkuas, daun salam
  • Masukkan saus cabe, saus tomat, saus tiram (atau kecap)
  • Tambahkan air sedikit
  • Masukkan ayam, biarkan bumbu meresap sampai ayam matang
  • Angkat, sajikan

IKAN ASAP TUMIS CABE HIJAU

BAHAN

Ikan asap (boleh diganti ikan lainnya atau ayam, goreng setengah matang dulu)

Jahe, lengkuas, daun salam (secukupnya, biar gak amis)

Cabe hijau besar (iris kasar)

Cabe merah besar (iris kasar)

Bawang Bombay (iris halus)

Bawang putih (iris halus)

Gula, Garam (sesuai selera, boleh juga ditambah penyedap seperti royco, dkk. Tapi kata Rudi Choirudin, gula+garam = penyedap alami)

Penyedap (royco, dkk)

Sayuran : Daun melinjo, Kacang kapri, Jagung manis yang dipipil kecil, kacang panjang, paprika)

Santan

Kacang panjang

Soun / bihun

CARA MEMBUAT

  1. Irisan bawang Bombay dan bawang putih, tumis di api sedang
  2. Masukkan cabe hijau+merah, jahe, lengkuas, daun salam
  3. Masukkan sayuran (khusus jagung manis aja, kalau sayuran lain menyusul belakangan)
  4. Tambahkan gula dan garam, kasih kecap sedikit juga enak hehehe
  5. Tambahkan air sedikit untuk membantu jagung agar cepat masak
  6. Kalau suka, bisa tambah santan supaya gurih kuahnya. Kalau gak, tambah air aja.
  7. Masukkan ikan, diamkan hingga mendidih.
  8. Masukkan sayuran+paprika, aduk sebentar sampai sayuran matang
  9. Masukkan soun / bihun, angkat
  10. Sajikan

Tips : pilihan sayuran boleh diganti apa aja, sayuran tadi untuk melengkapi aja dan biar cantik warnanya hehehe.. boleh pakai santan atau diganti air aja, jadi tumis setengah berair gitu.

*sudah sukses di uji coba di dapur uji ayu

gurame asam manis

cakalang tumis cabe hijau

WAKTUNYA TELAH TIBA


Langit senja memerah
Menandakan waktunya tlah tiba
Sejak siang, langit pun berduka
Matahari menyembunyikan senyumnya dibalik awan
Perlahan, rintiknya mulai membasahi bumi


Sepertinya, langit pun tahu dukaku
Aku belum cukup baik menjamumu
dan aku lupa,
Sejak awal perpisahan ini adalah sebuah kepastian

Ah, rasanya kita baru saja bertemu
Bahkan rindu itu tlah timbul
Saat aku mulai menyadari kalau kita akan berpisah

Akankah kita kembali berjumpa kelak?
Sepenuh hati aku berharap
Akan perjumpaan kembali denganmu
Agar kelak aku dapat menjamu dengan lebih baik


Suara Gemuruh petir mengiringi alunan takbir
Membelah sunyi dan gelapnya semesta

Paduan suaranya menjadi alunan merdu
Mengiringi duka akan perpisahan kita


Suara tasbih memuji
Segala rasa tercurah


Kumandang takbir dan tahmid
Syukurku untuk semua keindahan yang kau beri dalam perjumpaan singkat kita


Mengiringi lirih doaku
Untuk dia
Yang damai di peluk bumi

Hadiah Lebaran Untuk Para Ayah

Kita memanggilnya dengan sebutan bapak, ayah, papa, papi, dedi, abi, dll. Dalam salah satu cerita, pernah dikisahkan ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah Saw, “siapa orang yang harus kuhormati?”. Jawab Nabi Saw, “ibumu,” lalu orang itu kembali bertanya, “lalu siapa lagi ya Rasulullah?.” Dan Rasul kembali menjawab, “ibumu.” Dan orang itu kembali bertanya dengan keheranan, “siapa lagi ya Rasulullah?”, dan kembali dijawab dengan keyakinan, “ibumu.” Belum puas lagi, orang itu kembali bertanya, “lalu siapa lagi ya Rasul?,” dan Rasulullah Saw pun menjawab, “ayahmu.” Begitulah kira-kira mengapa seorang ibu mendapatkan penghormatan hingga tiga kali lipat, bahkan ada ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu.” Kita tidak akan ada tanpa ayah dan ibu, dan ini adalah suatu kepastian. Ada hari khusus untuk perayaan cinta pada ibu. Untuk ayah pun ada, walaupun di Indonesia hal ini bukanlah hal yang umum dilakukan. Lalu, pertanyaan saya, “seberapa baik kita mengenal ayah/bapak/papa/papi/dedi/abi?”. Dan ini cerita sederhana tentang para ayah, dari para ayah yang saya kenal, dari mereka tentang ayah-ayah mereka, dan juga tentang bapak yang saya kenal.

Suatu malam di jalan menuju kos, seorang penjual mpek-mpek melintas sambil menenteng barang dagangannya. Seorang bapak kurus berusia sekitar 40 tahun. Setiap malam dia melintas membawa dagangannya sambil berteriak, “mpek-mpek…mpek-mpek.” Suara nyaringnya tentu ditujukan untuk menarik pembeli. Tetapi, berapa banyak orang yang tertarik makan pempek di tengah malam? Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, dan dagangannya masih utuh. Bersama seorang teman saya membeli beberapa dagangannya. Jujur, alasan kami membeli saat itu bukan karena kami menginginkannya, tetapi lebih karena kasihan, membayangkan jarak yang harus ia tempuh sementara hari semakin malam dan dagangannya masih utuh. Semuanya tentu dilakukannya demi keluarganya, demi si anak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Tukang bakso yang biasa lewat di depan rumah saya sudah berjualan sejak puluhan tahun lalu. Sejak saya masih kanak-kanak dan harga bakso semangkok masih dapat dibeli dengan harga Rp. 500,/ mangkuk. Dan kini harga permangkuknya mencaai 10 kali lipat. Saya mengenal tukang bakso ini, karena rumahnya yang juga tidak berapa jauh dari rumah saya. Anak-anaknya tentu dapat menikmati kehidupan yang lebih baik dari usaha bakso ini. Setidaknya itu yang saya lihat, ketika anak-anak tersebut melintas dengan mengendarai sepeda motor sementara ayahnya masih jalan berkeliling mendorong gerobak bakso.

Lalu, ada seorang tukang bakso lainnya yang saya kenal karena pekerjaan saya. Setiap harinya dia harus mendorong gerobak baksonya hingga berpuluh kilometer dari rumahnya untuk berjualan. Rumahnya di daerah Kedoya sementara dia berdagang di daerah Cengkareng. Saya tidak terlalu paham jaraknya, hanya menduga-duga saja sekitar 30km. Dan dari usaha bakso ini (juga dari usaha jamu gendong sang istri), bapak ini dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Bukan satu, tapi dua anaknya.

Dan saya ingat pekerjaan bapak sebagai pemadam kebakaran. Dulu, saya sering merasa tidak adil karena jam kerja bapak yang tidak biasa dan berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Bagi jadwal kerja bapak, semua tanggal di kalender berwarna hitam. Tetapi lama-kelamaan, saya mulai mengerti ada kewajiban yang harus diselesaikannya.

Pernahkah terpikir apa yang telah dilakukan ayah kita, untuk dapat memberikan kehidupan terbaik bagi keluarganya?

Lalu, saya mengenal seorang ayah yang karena pekerjaannya harus rela terpisah jauh dari keluarganya. Saya tidak pernah habis pikir apa yang ada di otaknya sehingga membuat pilihan sedemikian rumit. Suatu malam ayah ini mengabarkan saya kalau ia saat itu sedang berada di Jakarta hanya dalam hitungan hari, demi menghadiri ulang tahun putri kecilnya. Padahal saat itu ia berada di Liberia, negeri nun jauh disana, yang entah apakah akan dapat dengan mudah saya temukan dalam peta dunia. Untuk sampai di Jakarta, ia harus menempuh penerbangan 18 jam, menyeberangi dua samudra (Atlantik dan Hindia) dan dua benua (Afrika dan Asia). Toh hal ini tetap dilakukannya. Malam itu saya dikejutkan dengan telepon singkat, “neng, saya di Jakarta nih, datang kemarin tapi cuma sebentar, besok Abi Ulangtahun, lusa saya balik.” Dan saya hanya bisa bengong menerima telepon singkat itu. Saya mengenal putri kecilnya yang berulangtahun. Tidak dekat, hanya sesekali bertemu saat saya bertandang ke rumah keluarga mereka. Atau melihat foto-fotonya melalui facebook. Atau membaca cerita yang dituliskan si ayah tentang kebanggaan pada putra-putrinya.

Seorang teman yang baru saya kenal, tinggal terpisah jauh dari keluarganya. Bukan karena pekerjaan seperti ayah yang sebelumnya saya ceritakan, tetapi karena teman ini masih menyelesaikan pendidikannya. Saya masih ingat bagaimana gembiranya teman ini saat mengabarkan bahwa sang istri akan segera melahirkan. “Yu, istri gw mau melahirkan, udah di RS nih, bantu doain yah,” begitulah isi pesan singkatnya melalui yahoo messenger. Saya kemudian mengingatkan sekaligus mencandainya agar berdoa dan tidak online saja. Tapi kemudian saya tergelak sekaligus tertohok saat mendengar jawabannya, “gw juga lagi baca quran nih, sambil sms ke RS lewat internet, nomor yang satu lagi gak bisa.” Saya baru tersadar bahwa saat itu, sekuat tenaga dengan segala cara teman ini berusaha untuk selalu terhubung dengan keluarganya. Dan setelah anaknya lahir, ia kembali mengabarkan dengan penuh keriangan. Putri kecilnya sudah lahir, sehat, dan tidak kekurangan satu apapun.

Suatu hari teman ini juga bercerita tentang kekesalannya saat ada yang berpendapat bahwa nama putri kecilnya terkesan “biasa”. Dan saya hanya bisa mengulum senyum sambil mengatakan, “tidak ada yang benar-benar original di atas muka bumi ini. Dan bagi seorang ayah, nama anaknya adalah nama yang paling indah, abaikan saja yang lainnya. Kita shalat pun dengan doa yang sama, lalu kenapa harus kesal karena kesamaan dengan yang lainnya?, nama saya jauh lebih biasa, menjadi nama warung makan, stiker yang ditempel di angkot, bahkan presiden SBY memberikan nama yang sama seperti nama saya kepada anak harimau di ragunan.” Apa yang salah dengan menjadi sama? Asalkan bukan mencontek yah…

Seorang teman yang lain, ayahnya bekerja masih di negara yang sama dengan tempat tinggal keluarganya. Namun, pekerjaannya mengharuskan ia sering bepergian ke luar kota. Pekerjaan yang unik sebagai wasit PSSI, kemudian pengawas pertandingan PSSI. Saya hanya bisa ternganga kagum saat mengetahui profesi tersebut. Namun, sorot mata kebanggaannya pada sang anak dapat saya lihat dengan jelas saat menjemput dan mengantarkan putrinya yang harus menuntut ilmu ke negeri matahari terbit. Saya tahu bahwa ditengah kesibukan jadwal pertandingannya, dia sengaja datang menjemput putrinya, sendiri ke bandara, dan memastikan anak gadisnya itu sampai dengan selamat. Lalu dengan riangnya bercerita pada kami, yang juga ikut menjemput tentang berbagai hal.

Sorot mata bangganya terpancar dengan jelas, sama seperti dua tahun sebelumnya saat menghadiri wisuda anak gadisnya tersebut. Sorot mata yang sama seperti yang ditampilkan Bapak saat memakai jas, hadir di balairung, meski berpanas-panas tetapi tetap sabar mengikuti berbagai prosesi. Padahal, kami, anak-anaknya bukanlah mahasiswa cum laude yang namanya akan dipanggil oleh panitia sehingga maju ke depan disaksikan ribuan mata. Untuk dapat melihat kami ada didalam gedung itu, bapak dan ayah teman tadi mungkin harus menunggu keberuntungan saat sorot kamera menangkap sosok kami ditengah kerumunan orang bertoga lainnya.

Sorot kebanggaan yang sama yang saya temui saat saya lulus ujian SPMB (UMPTN/SIPENMARU, dkk). Hari itu, kekesalan saya memuncak karena bapak tetap berangkat kerja dan tidak dapat menemani saya ke warnet untuk dapat melihat pengumuman pada dini hari. Saya pun harus rela ke warnet sehabis subuh sendirian. Malangnya, koneksi internet saat itu tidak cukup baik sehingga saya harus pulang dengan tangan kosong. Sampai di rumah, bapak sudah duduk manis di depan rumah dengan koran yang memuat pengumuman SPMB dan sebuah kaca pembesar. Segera, beliau meminta saya mencari nama dan nomor ujian saya diantara jutaan nama lainnya. Saya menemukan nama saya, dan bapak segera memberi warna pada nama tersebut. Koran itu masih disimpannya hingga kini. Bahkan undangan untuk menghadiri wisuda saya 4 tahun lalu, masih juga disimpannya dengan rapi.

Pernahkah kita berpikir betapa bangganya ayah/ bapak kita pada anak-anaknya? Mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing yang seringkali tidak kita pahami. Mereka yang berada jauh pun berusaha untuk selalu terhubung, memastikan bahwa mereka mengetahui setiap detail perubahan anak-anaknya dan setiap detik yang dihabiskan oleh anak-anaknya.

Pernahkah terpikirkan oleh kita pengorbanan yang dilakukan oleh ayah/bapak/daddy/abi/papa/papi? Pengorbanan kecil yang sering terlupakan, tetapi itulah bukti nyatanya akan betapa cintanya dia pada anak-anaknya.

Seorang teman sedang dalam perjalanan dari Bandung menuju Depok. Biasanya ia telah memiliki jadwal yang pasti untuk menggunakan travel ataupun bus. Namun hari itu, ketika sampai di terminal, bus yang akan dinaikinya sudah hampir berangkat dan penumpang mulai berdesakan untuk naik. Ayahnya yang saat itu mengantar, langsung melesat menaiki bus tersebut untuk mencarikan kursi bagi putrinya, karena sang ayah tahu hari minggu sore merupakan jadwal bus yang cukup padat. Ayahnya tidak lagi muda, usianya sudah melewati usia pensiun. Membayangkan sang ayah lari mengejar bus dan berebutan tempat duduk tentu bukanlah hal yang mengenakkan. Dan hal itu tetap dilakukannya demi putrinya agar nyaman selama perjalanan menuju depok.

Lalu teman yang lain diantar oleh ayahnya menuju kos di depok dari rumahnya di daerah Tangerang. Perjalanan dari Tangerang menuju Depok pada senin pagi tidaklah terlalu padat karena kemacetan biasanya terjadi pada arah sebaliknya. Sesampainya di kos, anak perempuannya ini baru tersadar bahwa beberapa barang yang dibawanya termasuk dompet masih tertinggal dimobil. Setengah khawatir, dia menelepon ayahnya untuk memberitahu tanpa berharap kalau ayahnya akan kembali untuk mengantarkan barang-barang tersebut sementara ayahnya juga harus mengejar waktu untuk pergi ke kantor. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya. Ayahnya yang hampir mencapai setengah perjalanan, kembali memutar dan mengantarkan barang-barang yang tertinggal tersebut.

Bapak selalu datang setiap kali saya tidak pulang ke rumah, bertahan di kos karena tumpukan tugas ataupun jadwal ujian. Sejak subuh sudah berangkat dari rumah, agar bisa menikmati jalanan Jakarta yang lowong menuju depok dan agar masakan ibu yang dibawanya masih hangat untuk saya nikmati saat sarapan. Dan saya, masih baru bangun tidur saat beliau mengetuk pintu kamar kos saya.

Setiap kali saya pulang malam, bapak (dan juga ibu saya) masih terjaga dan tidur di ruang tamu. Memastikan anak perempuannya pulang dengan selamat. Bapak tidak marah saat anak perempuannya pulang dan mengadu sambil menangis karena handphonenya kecopetan. Pertanyaan singkatnya hanyalah, “kamu gak apa-apa kan? Hp aja yang hilang? Besok kita beli lagi.” Sementara saya setengah mati ketakutan dimarahi.

Saat menyaksikan film 3 idiots, saya tidak bisa tidak menangis, saat pertama menontonnya, kedua, ketiga dan terus setiap kali menontonnya. Saat tokoh Farhan mengatakan pada ayahnya mengenai minatnya yang besar pada fotografi. Betapa Farhan sangat mencintai fotografi sebagai passionnya, sementara sang ayah menginginkannya menjadi insinyur. Farhan mempertanyakan kebahagiaan siapakah yang ingin dilihat oleh ayahnya. Hati ayahnya yang keras pun akhirnya luluh. Seketika saya tersadar betapa yang diinginkan oleh seorang ayah hanyalah kebahagiaan anak-anaknya.

Cerita yang serupa dialami oleh beberapa teman saya. Salah seorang teman pernah bercerita bahwa ayahnya memberi ultimatum, “berhenti kerja dan selesaikan kuliah!! Berapa kamu dibayar dari pekerjaanmu? Dan jumlah itu yang akan saya bayarkan setiap bulannya asalkan kamu tetap meneruskan kuliah.” Peringatan paling keras yang pernah diterima seumur hidupnya hingga ia tak ingin melawan. Lalu, ayahnya meminta untuk menjadi PNS di daerah kelahirannya. Kali ini, teman tersebut ingin mempertahankan passionnya, hingga ia memberanikan diri untuk tidak menerima tawaran tersebut, meskipun respon yang diterimanya tidak sepenuhnya menyenangkan. Seperti tokoh Farhan dalam 3 idiots, ia bersikukuh pada pendiriannya dan perlahan ia mulai bisa membuktikannya.

Cerita yang hampir sama juga dialami oleh teman yang lain, karena ayahnya, orangtuanya meminta pulang ke kampung halaman dan menjadi PNS, mengabdi didaerahnya. Teman tersebut mengikutinya, dengan alasan membahagiakan orangtuanya. Sebuah alasan yang sangat mulia bagi saya. Dan pada saya, dia masih sesekali bercerita akan kembali meraih apa yang selama ini diimpikannya, suatu hari kelak.

Bapak melarang saya berkuliah di luar Jakarta, dengan alasan sederhana, “semua orang berlomba-lomba kerja dan kuliah di Jakarta, kenapa kamu harus keluar Jakarta, apa yang kamu takuti? Takut tidak lulus? Pasti bisa!!” Keyakinan kuatnya juga yang akhirnya membulatkan setiap keputusan yang saya ambil.

Saya selalu ingat tentang cerita seorang teman yang baru merayakan ulang tahunnya yang ke-30. Dihari jadinya tersebut, sang ayah memberinya hadiah sebuah jam tangan yang keren (menurutnya) dengan sepucuk surat kecil bertuliskan "kapan kawin?". Surat singkat dari seorang ayah yang saya yakin 100000% memikirkan kebahagiaan anaknya tersebut.

Tapi bapak/ayah/daddy/abi/papa/papi juga manusia. Mereka juga bisa lemah, bisa menangis dan jatuh.

Saya hanya bisa diam manakala seorang teman menceritakan kisah pilunya saat ia harus kehilangan anak pertamanya dan juga istrinya pada saat yang bersamaan. Jarak fisik diantara mereka menyebabkan ia tidak dapat mendampingi disaat-saat terakhir. Dia hanya bisa menangis sendirian. Dan saya tahu dukanya terlalu dalam untuk dapat kembali melangkah dengan tegak.

Dan bapak, saat kehilangan anak lelakinya padahal baru saja dilahirkan, putra yang selama ini diimpikannya, masih bisa tersenyum pada saya. Padahal saya tahu kalau dia baru saja membalik badannya dan mengelap airmatanya. Dan dengan tenangnya dia masih bertanya, “mau ikut mandiin gak? Lihat sini yah,” dan saya hanya berdiri mematung, diam.

Lalu, saya mengenal seorang yang lain, yang kehilangan istrinya sementara ketiga anaknya masih sangat kecil. Dari tulisan-tulisannya, saya tahu bahwa dia sangat limbung. Tapi toh ia harus berdiri tegak demi ketiga anak-anak mereka yang usianya bahkan belum mencapai 10 tahun. Saya tahu tidak mudah baginya untuk mendamaikan antara otak dan hatinya. Ia seorang professional yang sangat tahu apa yang seharusnya dilakukan. Tapi disatu sisi, dia juga ada pada posisi subyek, yang merasakan.

Seorang teman saat ini belum dikaruniai anak, tetapi mereka telah memulai perannya sebagai ayah dan ibu. Setidaknya dengan cara itulah mereka saling memanggil. Panggilan yang sangat indah. Dan saya yakin bahwa kelak mereka akan menjadi ayah dan ibu yang hebat.

Sementara teman yang lain, sedang sangat bahagia menunggu kelahiran anak pertamanya. Ayah yang sangat bahagia (dia sudah menjadi ayah bahkan sejak istrinya hamil). Berbagai tulisan dibuatnya untuk istri dan anaknya. Agar anaknya mengetahui kelak bagaimana ia saat berada didalam kandungan sang ibu. Agar anaknya mengetahui kelak apa-apa saja yang sebenarnya ia pelajari di rahim ibunya.

Setiap ayah/bapak/daddy/abi/papa/papi memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaannya. Mereka bukan orang yang suka mengumbar kata “sayang”. Dan ungkapan itu jauh lebih nyata dalam setiap tindakan mereka.

Tapi, pernahkah terpikir, kalau kita, anak-anak mereka dapat mengatakannya langsung betapa kita menyayangi mereka. Mengatakan betapa kita berterimakasih atas semua usahanya menjadikan kehidupan kita menjadi layak dan cukup?

Saya pernah menyesal karena tidak sempat mengatakannya. Setidaknya, saya tidak mengatakannya langsung, dan hanya bisa berbisik sambil berharap kalau dia bisa mendengarnya dalam tidur panjangnya. Sekarang, saya hanya ingin mengajak teman, sahabat atau siapapun yang membaca tulisan ini untuk lebih mengenal dia, yang selama ini kita panggil ayah/bapak/abi/daddy/papa/papi, dan mengatakan padanya betapa kita menyanyanginya. Lalu tunjukkan dengan nyata, kalau kita benar peduli pada apa yang dilakukannya. Seorang teman dan kakak bagi saya pernah bercerita betapa bahagianya dia saat menerima sepotong sms dari anak perempuannya, "bapak, terimakasih yah. laptopnya sudah bisa dipakai." sesederhana itu.

Beruntunglah yang masih memiliki kesempatan untuk dapat mengatakan betapa cinta dan sayangnya kita pada ayah, karena seorang teman yang saya kenal tidak pernah mengenal ayahnya. Tuhan terlalu sayang dengan ayahnya, sehingga terlebih dulu mengambilnya. Jadi, mengapa kita harus menyia-nyiakan kesempatan ini?

lagu ini (http://www.youtube.com/watch?v=UBGa3Lfwa0o) akan selalu mengingatkan saya pada para ayah di dunia, betapa mereka mencintai anak-anaknya, keluarganya, dan juga mengingatkan pada dia yang damai di peluk bumi.

Sang Pencerah, Hidangan yang Lengkap

Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir

tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar

cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi

lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro

Dodot-iro, dodot-iro kumitir bedah ing pinggir

dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane

mumpung jembar kalangane

Alunan merdu tembang Lir Ilir karya Sunan Kalijaga tersebut terasa begitu memikat. Aransemen ulangnya menjadikan alunan tembang jawa ini lebih bersemangat. Dan saya tidak bisa untuk tidak ikut bersenandung mendengarnya. Belakangan saya baru tahu makna dibalik tembang jawa yang sering dinyanyikan saat meninabobokan saya, berpuluh tahun lalu. Kira-kira artinya seperti dibawah ini:

Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir

tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar

Hamparan tanaman padi di sawah yang menghijau, dihiasi oleh tiupanangin yang menggoyangkannya dengan lembut. Tingkat ke-muda-an itu bisa disamakan juga dengan pengantin baru. Penggambaran tentang usia muda yang penuh harapan, penuh potensi, dan siap untuk bekerja & berkarya.

cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi

lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro

Buah belimbing yang berbentuk seperti bintang, bersisi lima, melambangkan rukun Islam dengan lima perkara; dan sari-pati buah itu berguna untuk membersihkan perilaku dan sikap mental kita. Ini harus kita upayakan betapapun licinnya pohon itu, betapapun sulitnya hambatan yang kita hadapi.

Anak gembala (cah angon) dapat diartikan sebagai anak remaja yang masih polos dan masih dalam tahap awal dari perkembangan spiritualnya. Konotasi inilah yang sering muncul seketika bila orang Jawa menyebut 'bocah angon'. Namun pengertiannya dapat pula ditingkatkan menjadi pemimpin, baik pemimpin keluarga, tokoh masyarakat, ataupun pemimpin formal dalam berbagai tingkatan dari ketua RT sampai pimpinan negara.

Dodot-iro, dodot-iro kumitir bedah ing pinggir

dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore

Pakaianmu berkibar tertiup angin, robek-robek di pinggirnya. Jahitlah dan rapikan agar pantas dikenakan untuk "menghadap" nanti sore. "Sebo" adalah istilah yang dipergunakan untuk perbuatan 'sowan' atau menghadap raja atau pembesar lain di lingkungan kerajaan. Makna pakaian adalah perilaku atau sikap mental kita. Menghadap bermakna menghadap Allah. Nanti sore melambangkan waktu senja dalam kehidupan, menjelang kematian kita.

Mumpung padhang rembulane

mumpung jembar kalangane

Manfaatkan terang cahaya yang ada, jangan tunggu sampai kegelapan tiba. Manfaatkan keluasan kesempatan yang ada, jangan menunggu sampai waktunya menjadi sempit bagi kita.

Makna tembang lir Ilir ini tampaknya sejalan dengan judul yang diberikan oleh Hanung Bramantyo dalam filmnya “SANG PENCERAH”. Saya memaknainya dengan mencerahkan, memberikan setitik sinar, meluruskan, memperbaiki. Dan semangat itulah yang diusung dalam film ini.

Lagu Lir Ilir tadi mengiringi cerita yang ditampilkan mengenai kehidupan Muhammad Darwis, yang kemudian kita kenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan. Cerita berkisar pada perjuangan beliau dalam syiar Islam hingga lahirnya organisasi Muhammadiyah. Film ini bertutur dengan sederhana tentang kisah seorang anak manusia, semangatnya untuk berbuat yang terbaik bagi orang-orang disekitarnya.

Kisahnya akan menampar kesadaran kita, bahwa pemahaman agama bukan hanya dengan akal, tapi juga dengan hati. Pemahaman dengan akal semata, hanya akan menyesatkan. Dan inilah yang membuat sebagian besar dari kita tergelincir. Sebuah pertanyaan mendasar tentang apa itu agama, terasa sangat menusuk. Dan jawabannya bisa diberikan dengan cara sederhana yang jarang dipikirkan banyak orang. Karena agama itu indah, damai, menenangkan, mengayomi. Agama harus dipelajari dengan baik, melibatkan akal dan hati. Jika tidak, maka pemahaman yang salah didapat, dan kekacauan hasilnya. Agama bukanlah rangkaian aturan ataupun ritual yang harus disederhanakan ataupun dipersulit.

Kesetaraan, keikhlasan menerima kritik, dan kemauan untuk maju menjadi nilai lain yang ditonjolkan. Kita tidak tahu dengan tepat apakah yang kita lakukan benar, karena kalau kita tahu kebenarannya dengan pasti, maka kita tidak akan pernah belajar. Lalu, kenapa harus takut untuk mencoba? Tidakkah manusia berkewajiban untuk melakukan usaha atau ikhtiar? Lalu, pasrahkan semuanya pada Allah, karena Dia yang Maha Tahu, Sang Penulis Skenario Kehidupan, Penyusun Rencana Maha Agung. Dan sejatinya, kebenaran itu berasal dariNya.

Sang Pencerah adalah sebuah cerita sejarah yang apa adanya, tidak ditambahi bumbu drama ataupun memaksakan komedi. Film ini tentu tidaklah sempurna, ada satu-dua hal yang sedikit mengganggu, tapi secara keseluruhan film ini tampil dengan sangat apik. Di mata saya yang awam, semua unsur teknis terasa sempurna. Artistik yang baik, setting yang baik, make up yang sesuai, lighting yang baik, semuanya terasa lengkap. Hanung seperti manyajikan sebuah hidangan yang lengkap pada filmnya, hidangan pembuka, hidangan utama, lalu hidangan penutup. Tidak lupa ada minuman juga, agar penonton tidak kehausan. Dan saya, pulang dengan kekenyangan, karena saya mendapatkan pencerahan, makanan untuk jiwa dari “sang pencerah”.

Selasa, 05 Oktober 2010

Mimpi dan Doa Untuk Mereka

Aku terbangun dan mimpi itu masih terasa lekat

Wajah-wajah mereka yang berada jauh disana

Terentang samudra, terpisah benua


Rasa rindu yang membuncah

Terasa menyesakkan

Aku disini, jauh menggapai


Dalam setangkup doa

Kujumpai mereka

Memandang senyumnya, Melihat canda tawanya


Aku ingin ada disana,

Bicara, bercanda, tertawa

Menghapus air matanya,

Memeluknya

Lalu terbangun, dan kembali terhempas dalam nyata


Kelak kan tiba waktuku

Untuk ada disana, Bersama mereka

Kini, Biarkan doaku yang menemani kalian,

Dan kita akan bercengkerama dalam doa


Kita masih ada dibawah langit yang sama

Membagi matahari, bulan dan bintang yang sama

Biarkan waktunya terlewati

Hingga semuanya berada dalam satu

Hujan dan Kabut



Biarkan rintik hujannya turun

Dan seluruh rasa meluruh

Menyatu, kembali pada tanah

Hujan akan menyiraminya

Dalam hujan dan kabut

Kilasan bayangannya hadir

Aku melihatnya dalam kabut

Aku merasanya dalam dinginnya hujan

Aku mencium baunya dalam harum tanah yang basah disiram hujan

Dan pikiranku terus bermain-main dengan satu tanda untuk sebuah kata, inikah?

Rumah Baru


Inilah rumah baru itu. Sebuah cara untuk mengungkapkan apapun yang terlintas, ide ataupun pendapat. Dan bentuk sederhana dari ekspresi verbal. Selamat menikmati !!