Kamis, 15 Desember 2011

PAINI




10 november diperingati sebagai hari pahlawan, tapi siapakah yang sebenarnya layak disebut pahlawan? Di abad 21 saat teknologi menjadi raja atas nama kemajuan jaman, barangkali taman makam pahlawan bukan lagi satu-satunya bukti apakah seseorang dapat disebut sebagai pahlawan atau bukan.

Namanya Paini, perempuan asal Wonogiri ini terlahir dengan kondisi kaki dan tangan yang tidak sempurna. Jari-jarinya tidak tumbuh seluruhnya dalam ukuran normal dan jalannya pun pincang. Kondisi fisiknya tersebut tidak lantas menjadikan Paini putus asa. Ia membangun usahanya untuk membuat aneka makanan kecil. Ia juga merekrut para penyandang cacat lain untuk bekerja bersama-sama. Mereka kemudian membuat usaha yang diberi nama “Kuber Penca” atau Kelompok Usaha Bersama penyandang Cacat. “Saya kasi mereka motivasi gini, saya cacat, ayo kamu yang cacat juga bisa. Kita buktikan kalo yang i cacat mampu,” kata Paini.

Di rumah kontrakannya yang kecil, ia membina para penyandang cacat ini untuk membuat aneka panganan ringan untuk kembali dijajakan keliling ke warung-warung. Setiap harinya Paini berkeliling dengan sepeda motor yang sudah disulapnya mirip dengan mobil bak semi terbuka untuk membawa seluruh barang dagangannya.



Selain membuat beberapa panganan, dengan modal satu buah mesin jahit Paini juga membuat jilbab berhias untuk dijual kembali. Hampir seluruh pekerjanya adalah para penyandang cacat. Namun, mereka tak lepas menyunggingkan senyum menunjukkan semangatnya.

Kondisi ekonomi terbatas tidak menyurutkan Paini untuk membantu orang lain. Suatu hari, tukang sayur yang kerap lewat di depan rumahnya mengenalkan Paini dengan Tuti, perempuan yang tengah hamil muda. Paini tidak mengenal latar belakang Tuti, selain dari cerita-ceritanya.

Tuti yang saat itu tengah hamil tiga bulan pun nekad ke Jakarta untuk mencari suaminya. Anak pertamanya ditinggalkan di Purwodadi bersama orangtua Tuti. Tanpa pikir panjang, Paini menerima Tuti untuk bekerja di rumahnya. Pertimbangannya sederhana, Tuti dapat membantu Paini untuk urusan rumah tangga sehari-hari sambil tetap mencari alamat suaminya. Setelah Tuti melahirkan, Paini juga tidak berkeberatan untuk ikut mengasuh anak Tuti, “pikir saya ya udah dirawat aja sama-sama, kan gampang,” ujarnya sederhana.

Manusia berkehendak, Tuhan yang menentukan. Bayi Tuti dilahirkan dengan kondisi yang kurang sempurna. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan diagnose : laringomalasia grade 1, suspek stenosis supraglottis, pasca trakeostomi, atresia esophagus pasca esofagotomi, torakotomi dan gastrostomi, gizi buruk marasmik. Rizky Ramadhan, bayi kecil itu harus menanggung serangkaian diagnosa yang bahkan sulit diucapkan tersebut. “Saya harus menghafal diagnosanya, jadi bisa jelaskan ke orang-orang yang tanya,” jelas Paini dengan lugu.

Gambaran kondisi Rizky sebenarnya adalah saluran makanan dan saluran nafas yang tidak terbentuk dengan sempurna. Rizky tidak memiliki saluran makanan langsung dari tenggorokan ke dalam lambung sehingga ia harus dibuatkan saluran sementara dengan memasang selang di dinding perutnya sebagai tempat untuk menyuntikkan susu. Selang itulah satu-satunya cara agar Rizky kecil dapat makan. Saluran ini pun harus dijaga kebersihannya sehingga tidak menimbulkan infeksi. Suatu hari Rizky demam dan pemberian obat penurun panas berupa puyer pun dicoba dimasukkan dengan cara disuntik di saluran makan tersebut. Apa daya yang terjadi adalah penyumbatan sehingga Rizky segera dilarikan ke rumah sakit. Bayangkan betapa kecilnya saluran makan sementara yang dimiliki RIzky, hingga hanya benda cair yang dapat masuk sebagai asupan makanannya.



Di tenggorokan Rizky, dokter membuatkan saluran untuk membantunya bernafas. Jika anda pernah melihat pasien di rumah sakit dalam kondisi kritis yang menggunakan selang nafas di tenggorokannya, seperti itulah kondisi Rizky. Setiap dua hari sekali Rizky harus melakukan penguapan untuk saluran pernafasannya agar tetap steril.

Rizky yang kini baru mulai bisa berjalan ini pun harus berkali-kali menghadapi meja operasi. Dokter bahkan memperkirakan setidaknya ia membutuhkan 14 kali operasi untuk membuat saluran nafas dan saluran makan yang sempurna. Seluruh operasi itupun bukan tanpa biaya. Lagi-lagi Paini harus memutar akal agar biaya perawatan Rizky dapat dipikulnya. Paini memasukkan Tuti dan RIzky ke dalam kartu keluarganya sehingga mereka dapat memperoleh jaminan kesehatan sebagai warga miskin. Namun, sebelum jaminan kesehatan warga miskin bisa mereka peroleh, mereka sudah terbelit hutang lebih dari 49 juta di rumah sakit untuk biaya awal saat RIzky persalinan dan tindakan operasi awal.

“Saya bagi tugas sama Tuti. Dia (Tuti, red) yang urus RIzky, saya yang urus cari biayanya,” ujar Paini dengan penuh keriangan nyaris tanpa beban. Kini, sekalipun jaminan kesehatan warga miskin sudah diperolehnya, Rizky tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pengeluaran rutin susu, diapers, kapas dan kasa adalah keperluan yang tidak boleh kosong sedikitpun. Tambahkan juga obat-obatan yang harus dibelinya. Biaya transportasi ke rumah sakit juga tidak kecil, karena nyaris tiga kali setiap minggunya Paini harus membawa Rizky check up ke rumah sakit.

“Pak, Paini dlm kesulitan. Anak kami mau ada operasi ke 4, saya masih punya hutang 49 juta, tolong saya pak, saya tidak sanggup pikul bebannya sendirian.”


Penggalan sms itu adalah sms Paini di suatu pagi pada seorang teman yang kemudian di forward kepada saya, tepat di hari pahlawan. Keputusasaan dan ketulusan Paini yang tercurah dalam sms mengantarkan kami hingga ke rumah sederhananya di Bekasi. Paini yang kami temui tidak sedikitpun menampilkan gurat kesedihan. Sebaliknya ia tampak bersemangat untuk terus berusaha demi kesembuhan Rizky. Lalu siapakah sekarang yang dapat kita sebut sebagai pahlawan?




Note : Sahabat, jika berkenan untuk membantu Ibu Paini, dapat menghubunginya langsung.

Alamat : Belakang kelurahan Bojong Menteng, Rt 01/ Rw 03, Rawa Lumbu, Bekasi Kota, samping pabrik kecap Sari Sedap. Telp : 081383059609

Atau donasi langsung ke :
BRI unit Bantar Gebang, nomor rekening : 0861-01-028589-53-5, a/n Paini

Kamis, 27 Oktober 2011

JEJAK


Deg!
diam-diam kembali membuka lembarannya

Deg!
ada jejak lain yang meninggalkan rasa
ya.. rasa yang kupikir sudah tak ada
ternyata masih menyisakan rasa yang sama

jejak-jejak lain
untuk sebuah rasa yang lain

Selasa, 18 Oktober 2011

JALAN


Tiba saat kau datang untuk mengatakan, "aku akan berjalan dengannya." Dan aku kembali mencari jalanku sendiri.

Minggu, 25 September 2011

Guardian Angel

Kau yang datang dalam diam
Perlahan menemani langkahku
Menghapus tetes air di sudut kelopak
Menyediakan bahumu untuk sandaran
Hingga aku lelah berhitung berapa kali kau ada

Hadirmu telah mengantarkanku pada sebuah rasa
Membuka sebuah ruang

Aku tidak tahu kalau rasa dan ruang itu begitu dalam
Hingga pusaran waktu menarik kita
Kau dan aku pada dua kutub yang berbeda

Jangan tanyakan kenapa
Jangan tanyakan kapan

Tuhan tahu hati kita

Aku tak tahu apakah kau tahu
Aku hanya ingin mengatakannya sebelum tergerus lupa, terimakasih
Thanks for being my guardian angel

Jumat, 02 September 2011

MUDIK

“Tiga, Cilacap,” pria di loket itu menyodorkan tiga lembar tiket ke tangan seorang lelaki tua. Dengan cekatan, lelaki itu langsung mengambil tiga lembar tiket dan menukarnya dengan delapan lembar uang seratus ribuan. Harga tiket jelang lebaran memang bisa naik hingga lebih dari 2x lipat. Untuk mendapatkannya pun, pria tua itu harus mengantri sejak dua jam lalu.

Tiga tiket ke Cilacap, untuk istri dan dua anaknya sudah didapatkannya H-30 dari keberangkatan. Aturan PT. KAI untuk pembelian tiket sebulan sebelum tanggal keberangkatan. Dia tidak membeli tiket untuk dirinya. Dia memilih berdiam di Jakarta dan baru akan mudik setelah arus lebaran selesai. Toh, dia baru saja pulang dari Cilacap beberapa minggu sebelumnya, untuk pemakaman adiknya.

Kebiasaan mudik di keluarganya memang sedikit berbeda dengan keluarga lain. Lelaki tua itu tidak pernah mudik lebaran sejak berpuluh tahun lalu. Pekerjaannya sebagai pemadam kebakaran mengharuskan ia untuk selalu stand by di Jakarta, saat hari raya. Lebih dari 30 tahun, ia tidak mengenal kata “mudik hari raya” dalam kamus hidupnya. Dia mewakilkan mudiknya pada istri dan anak-anaknya. Mudik lebaran mereka pun baru dilakukan setelah hari raya. “Kita tinggal di Jakarta, banyak bikin salah dengan tetangga, yah minta maaf dulu, setelah shalat ied, minta maaf sama tetangga, baru boleh mudik,” nasehat lelaki tua itu berulang kali pada istri dan anak-anaknya.

“Kapan sih bisa pulang bareng sama bapak, semuanya barengan,” protes anak perempuannya yang bungsu. “Yah gak bisa gitu juga, kan bapak gak bisa libur, nanti aja bapak nyusul,” penjelasan singkat bercampur kepasrahan, lagi-lagi harus ditelan anak perempuan berusia sebelas tahun itu.

*****************

Tik..Tik..Tik….Tik…Tik…
“70 per 50, dok”
“keluarga tunggu di luar, siapkan semuanya,”

Tirai hijau seketika ditutup. Semua orang dihalau tidak boleh memasuki area putih. Hiruk pikuk di dalam ruangan putih hanya terdengar sayup-sayup dari luar, menyisakan tanda tanya.

“Mbak keluarganya?”
“Saya anaknya, ini ibu saya, istrinya”
“Baik, begini kondisinya. Hasil CT Scan bersih, hasil EKG menunjukkan serangan jantung. Sekarang kondisinya koma. Prioritas kami sekarang kondisi stabil untuk bisa melakukan tindakan lanjutan. “
“Bagaimana prognosanya?”
“Kami manusia biasa, kami akan usahakan yang terbaik,”
“Tolong jawab dengan jujur dan jelaskan saja bagaimana prognosanya, seberapa buruk?”
“Kami usahakan yang terbaik, doa saja. Tuhan Maha Menentukan”
“Lakukan saja semua yang perlu dilakukan dok, lakukan yang terbaik.”
“Kita perlu melakukan pemasangan ring untuk jantung bapak, keluarga bagaimana?”
“Tidak masalah, lakukan.”
“Masalahnya adalah, setelah pemasangan ring, bapak harus masuk ke ICCU. ICCU kami full, tidak ada pasien yang bisa kami alihkan ke ruang perawatan. Keluarga bisa tolong bantu kontak RS lain untuk konfirmasi ruang ICCU. Kami juga akan coba kontak dengan dokter-dokter di RS tersebut untuk follow up tindakannya.”

Drama lain kembali dimulai. Setengah kesetanan, anak perempuan sulung dari lelaki itu mulai menelepon berbagai Rumah Sakit dan menanyakan availabilitas ruangan ICCU. Sementara sebelah kupingnya menangkap suara “tik…tik…tik…” dari mesin penyambung nafas ayahnya di ruangan putih. Ternyata mencari rumah sakit dengan ruang ICCU yang bisa menampung pasien di hari-hari menjelang lebaran sama susahnya dengan mencari tiket untuk mudik. Rumah sakit rujukan pemerintah, pusat riset nasional pun tidak dapat menerimanya. Lelaki tua yang sebulan lalu dengan gagahnya mengantri tiket untuk mudik istri dan anaknya, kini berada dalam antrian mendapatkan ruang perawatan.

“Ada ICCU dok, di RS Bintang,”
“Mba, ICCU nya ada, tapi mereka tidak punya ruang kateterisasi. Bapak perlu melakukan tindakan pemasangan ring di ruang kateterisasi, di dalam cath lab”
“Lalu dok?”
“Kita sama-sama coba”
“Kondisi drop dok,” teriakan nyaring perawat membuat scene baru dalam drama pagi itu.


“Mba, kami akan pindahkan pasien ke RS Matahari di Karawaci. Rekanan kami di sana sudah siap, ruang kateterisasi lengkap, dan ICCU sudah disiapkan juga, bagaimana?”
“Lakukan dok,” hanya dua kata itu yang sepanjang pagi keluar dari mulut anak perempuan itu.
“Kita siapkan Bapak untuk dipindahkan yah, silakan tanda tangan untuk pernyataan kesediaan keluarga.”

Hiruk pikuk di ruangan putih beralih ke ambulance. Lalu, beralih lagi ruangan putih lainnya. Kelebatan manusia-manusia berbaju putih semakin banyak. Suara mesin semakin nyaring. Kabel dan selang melilit tubuh lelaki tua itu. Botol beraneka ukuran bergantungan di tiang infus. Aneka suntikan dengan beragam ukuran di pasangkan di tiang infus, mengalir masuk ke tubuh lelaki tua itu. Dan, drama pagi itu pun berakhir dengan mendorong tempat tidur lelaki tua itu ke dalam ruang ICCU.

Tiga orang perempuan saling berpelukan di sebelah ranjang lelaki tua itu. Mereka tidak saling bicara.

****

“Almost flat”
“Maksudnya?”
“Kamu ingat saya pernah jelaskan bahawa EEG akan menunjukkan gelombang tidur. Untuk mengetahui kemungkinan bangunnya, gelombangnya harus berupa gelombang naik turun. Hasil bapak, almost flat.”
“And then?”
“Pray”
“Apa diagnosanya?”
“Encephalopathy”
“Apa itu dok?”
“Kurangnya asupan oksigen ke otak. Waktu bapak koma dan kondisi jantungnya membuat asupan oksigen ke seluruh organ terhambat, termasuk juga ke otaknya.”
“Lalu?” cecar anak perempuan itu sambil terus memegang dengan kencang tangan perempuan pasrah di sebelahnya.

Sekali lagi tiga perempuan itu berpelukan dalam diam memandangi lelaki tua yang terbaring di hadapan mereka sambil menggenggam tiga lembar tiket mudik yang sebulan lalu didapatkan lelaki tua itu.

“Pak, dengar gak?” anak perempuan itu mulai berbisik di telinga lelaki tua itu.
“Pak, kami disini semuanya sayang bapak. Semuanya dilakukan untuk bapak, yang terbaik. Kalau bapak mau, bapak juga bisa usahakan yang terbaik semuanya supaya bisa sama-sama kita lagi. Tapi, kalau bapak capek, bapak boleh istirahat, kami ikhlas. Bapak boleh lakukan yang mana aja.” Terbata-bata, anak perempuan itu membisikkan semua doa dan harapannya di telinga lelaki tua itu. Dia sendiri tidak tahu apakah ayahnya mendengarnya.

****
“Keluarga siap untuk homecare, silakan disiapkan langsung dok.”
Dengan kemantapan, tiga perempuan itu membawa pulang lelaki tua yang selama ini hidup bersama mereka. Pulang ke rumah mereka. Kamar lelaki itu pun disulap menjadi rumah sakit mini dengan selang infus, mesin pembantu nafas, dan tabung-tabung oksigen yang siap sedia.

PULANG, barangkali itulah pilihan yang dianggap cukup bijak setelah 29 hari memaksa lelaki tua itu bertarung nyawa. Mempertaruhkan seluruh harapan ketiga perempuan itu.

******
“Kenapa?”
“Bapak anfal”
“Dokter mana?”
“Sudah ditelepon lagi, sedang dalam perjalanan,”

“Ayo pak… dicoba lagi yah..” anak perempuan itu berusaha membisikkan semangatnya sambil terus melakukan CPR untuk lelaki tua itu. Perawat sibuk memasukkan berbagai obat dan infus. Telinganya sekali lagi menangkap suara tik-tik yang sama seperti sebulan lalu, dari mesin yang sama, tanda nafas yang semakin melemah. Gambar kurva di mesin nafas yang biasanya naik turun seperti gunungan, sekarang mulai mendatar dengan suara tik-tik yang terus melemah.


“Kita coba 15 menit, kalau bapak masih tidak merespon, kita harus melepasnya. Kasihan bapak sakit.”
Kalimat sakti yang seketika melemahkan seluruh persendian anak perempuan itu.

****
“Maaf yah… maafin bapak,” dengan tersengal lelaki tua itu mengucapkannya berkali-kali kepada anak-istrinya.

“Maafin saya yah,” kalimat yang sama kembali diulang, kali ini kepada tetangga yang mulai berdatangan untuk membantu.

Maaf adalah bagian dari kalimat ajaib, magic words, dan kalimat ajaib itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut lelaki tua itu. Setelah kalimat itu, yang bersisa adalah drama ICCU dan doa panjang penuh pengharapan.

******
“Nak, kematian itu sama seperti mudik. Pulang ke kampung Illahi, yang Maha Pemberi Hidup. Kenapa kita harus risau atau tidak rela melepasnya? Saat mudik, kita selalu menyambutnya dengan suka cita, karena akan bertemu dengan orang yang kita sayangi. Tuhan yang menciptakan kita. Lalu, kenapa kita harus risau dan takut dengan kematian? Seharusnya kita senang karena akan kembali pada yang menghadirkan kita.” Seorang lelaki bijak yang dikenalnya menulis buku tentang menghadapi kematian menasehati anak perempuan itu.

“Lalu saya harus bagaimana pak?” tanyanya pasrah. “Ikhlaskan, karena mudik pada keabadian adalah sebuah kepastian. Apa yang hendak kau lawan dari Dzat Yang Maha Merencanakan? Ini jalanmu untuk menemukan hidup lainnya.”

Lelaki tua itu sudah benar-benar mudik. Tiga tiket kereta api yang dibelinya lebih dari sebulan lalu memang hanya untuk istri dan anak-anaknya. Lelaki tua itu tidak membutuhkan tiket kereta api untuk mudiknya. Entah, apakah dia sudah merencanakan mudik ini sebelumnya.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka mudik terpisah. Tapi kali ini, lelaki tua itu mudik sendiri, ke kampung keabadian.

Rabu, 31 Agustus 2011

Catatan Sebuah Perjalanan

sebuah tulisan lama dari blog lama yang di re-post. Untuk sahabat, selamat membaca :)



Kesan pertama saya setelah membaca buku itu, wow!!! Two Thumbs Up!!! Not for the writer, bur for those who joined into that amazing adventures.

40 days in Europe, sebenarnya sudah sejak lama saya lihat buku ini nangkring di raknya Gramedia. Saya sering bolak-balik numpang baca di Gramedia, hanya beberapa halaman awal tapi pada akhirnya tidak jadi membeli, karena saya pikir nanti toh penerbitnya pasti akan mengirimkan sample buku itu. Feeling saya mengatakan kalau itu buku bagus dan layak dibaca. Memang pekerjaan saya yang banyak berhubungan dengan buku membuat saya banyak menerima kiriman buku dari para penerbit. Sampai suatu hari seorang teman yang juga bekerja di penerbit buku tersebut benar-benar mengirimkan saya buku 40Days in Europe. Dan saya masih juga belum membacanya. Sampai saat libur Idul Fitri, saya punya cukup waktu luang untuk menuntaskan membacanya.

Kenapa judul buku ini terkesan kebarat-baratan? Tidak nasionalis kah? Menurut saya alasannya hanya komersialitas semata. Penerbit butuh judul yang cukup provokatif, tanpa kehilangan benang merah dengan isinya. Pernahkah anda membaca buku Summer in Seoul (Ilana Tan), Travelers Tale (Aditya Mulya, dll), Ms. B (Vira Basuki), atau The Naked Traveler (Trinity), kemudian mempertanyakan judulnya? Atau pernahkah anda bertanya kenapa kumpulan tulisannya Akmal NAsery BAsral diberi judul “Ada Seseorang di Kepalaku”, atau kenapa Pramoedya Ananta Toer memberi judul Bumi Manusia? Sebuah judul yang cukup ganjil menurut saya. Atau kenapa Remy Silado memberi judul “Kerudung Merah Kirmizi”, atau “Parijs Van Jaza” untuk novelnya? Silakan direnungkan, tapi jawabannya kembali pada alasan tadi yaitu komersialitas dan kesesuaian isi.

Bagaimana dengan endorsement-nya? Endorsement adalah sebuah opini subjektif dari mereka, para pembaca awal yang memang sengaja diminta sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Endorsemen dimaksudkan untuk memberikan gambaran pada calon pembaca tentang nilai sebuah buku. Tapi sekali lagi, saat anda akan membeli buku, cobalah untuk tidak hanya terpaku pada endorsement saja, tapi coba buka-buka dan intip sejenak halaman demi halaman. Buku yang bagus menurut saya, bisa menarik anda bahkan dari halaman pertama yang anda baca. Dan itulah yang terjadi pada saya saat membuka buku 40 days in Europe, meskipun saya akhirnya menahan diri untuk tidak membeli karena saya tahu pasti kalau saya akan mendapatkannya dengan gratis, langsung dari penerbitnya.

Buku ini bercerita tentang segerombolan anak muda yang nekad untuk tetap berangkat ke Eropa, untuk sebuah misi kebudayaan meskipun kondisi keuangan mereka defisit. Apakah mereka gila? Jawabannya sangat mungkin ya, tapi menurut saya alasan dibalik semua kegilaan itu adalah tanggung jawab atas sebuah komitmen yang telah mereka buat. Hanya keyakinan dan keteguhan niat yang mereka punya saat berangkat. Entah apa yang akan terjadi, maka terjadilah, kun fayakun!!!

Saat berangkat, mereka harus direpotkan dengan masalah finansial. Sponsor yang tiba-tiba menarik diri sehingga kondisi keuangan semakin mengkhawatirkan. Belum lagi konflik internal diantara tim. Ketua rombongan yang seharusnya berangkat pun pada akhirnya tidak jadi berangkat, entah dengan alasan apa. Sampai di Eropa pun mereka masih terus dililit masalah, meskipun jadwal perjalanan sudah dibuat sedetail mungkin dan sehemat mungkin. Tagihan demi tagihan terus berdatangan.

Tapi Tuhan Maha Adil, Tuhan terlalu baik untuk terus-terusan membiarkan umatNya dalam kesulitan. Saya selalu percaya pada sebuah quotation indah yang saya temukan dalam salah satu buku Paulo Coelho, When God closes a door, He opens a window, dan itulah yang terjadi pada mereka. Dalam setiap penampilannya mereka selalu mendapatkan sambutan hangat, bahkan tidak jarang standing applause. Sejumlah penghargaan juga berhasil diraih. Bukan itu saja, menilik dari prestasi dan penampilan mereka, bahkan panitia festival bersedia memberikan keringanan biaya yang bisa mereka lunasi setibanya kembali di Indonesia. Yang terpenting adalah mereka punya cukup biaya untuk pulang. Peran KBRI juga tidak bisa diabaikan. Mereka hadir dengan uluran tangannya, berusaha membantu semampu yang mereka bisa. Mulai dari tumpangan tidur, makan, sampai bantuan dana ala kadarnya.

Kalau kemudian, mereka seperti diselamatkan tsunami hingga semua hutang bisa lunas, itulah yang namanya nasib. Sekali lagi, Tuhan terlalu baik untuk membiatkan hambaNya dalam kesusahan, dan selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Tsunami bisa jadi meluluhlantakkan bumi serambi mekah, tapi tsunami juga yang kemudian menyelamatkan mereka dari lilitan hutang.

Bagaimana dengan peran Maulana sebagai penulis? Yup, perannya cukup besar. Dialah contact person untuk semua panitia kompetisi dan festival. Dia juga contact person untuk sejumlah KBRI. Karena ia kebetulan tinggal di Jerman, dia aktif dalam kegiatan kesenian dengan mahasiswa Indonesia, dan dia juga aktif dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia Jerman. Sehingga menempatkan Maulana sebagai contact person sangat menguntungkan. Mengingat aktivitasnya selama di Jerman, menyebabkan ia banyak berhubungan dengan pihak KBRI dan ia juga lebih mengenal medan, lebih mengenal budaya masyarakat Eropa. Terlepas dari apakah Maulana dulu (sewaktu SMA) adalah anggota KPA (kelompok Angklung di SMA 3) atau bukan, itu tidak lagi penting menurut saya.

Untuk masalah lobi, di awal Maulana memang memegang peranan penting. Tapi sekali lagi, ini adalah kerja tim. Saat di Jakarta, dalam tim ada orang-orang hebat yang mampu melobi untuk masalah sponsorship, ataupun sekedar pengurusan visa dan paspor. Saat di Eropa, kenyataannya bukan hanya Maulana yang melobi. Toh, kenyataannya ada orang-orang dalam tim yang juga berperan dalam melobi KBRI ataupun panitia festival. Kerja tim yang luar biasa menurut saya.

Selesai membaca buku itu, saya langsung menghubungi Maulana, penulisnya, melalui imel yang tertera di buku. Kami kemudian berteman dan berkomunikasi hanya melalui imel. Melalui Maulana, saya kemudian berkenalan dengan beberapa orang personil yang ikut berangkat ke Eropa. Kali ini saya berkomunikasi secara langsung, dengan telepon. Melalui mereka, saya tahu banyak detail cerita yang tidak diceritakan di buku, termasuk konflik internalnya. Menurut saya, adalah sebuah keputusan yang bijak untuk tidak menampilkan seluruh konflik internal dalam cerita buku itu. Bukan bermaksud untuk mengurangi cerita, tetapi lebih pada apakah layak atau apakah etis mengemukakan konflik internal tersebut? Membuka aib seseorang? Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diceritakan. Toh pembaca sudah menangkap pesan dari tulisan itu. Semangat anak-anak itu untuk tetap berangkat, membawa nama Indonesia, keyakinan untuk sebuah tujuan. Mereka pulang bukan hanya membawa penghargaan, tapi saya yakin kalau mereka belajar banyak tentang kehidupan. Bahkan saya yang membacanya, dan hanya melihatnya dari luar, melalui sebuah buku juga belajar tentang arti persahabatan, semangat dan kerja keras, serta bagaimana sebuah keyakinan akan berbuah indah saat dijalani dengan sungguh-sungguh.

Lalu apakah 40days termasuk buku yang sangat tebal untuk jenisnya? Menurut saya, ketebalan sebuah buku adalah relative. Cara penulisnya menceritakannya sangat menarik, karena dituliskan dengan sangat biasa. Dilengkapi dengan begitu banyak catatan dari percakapan melalui chating, imel ataupun sms. Menurut sebagian orang, catatan chating, imel ataupun sms itu tidak penting. Tapi menurut saya, catatan-catatan chating, imel ataupun sms itu justru berbicara lebih banyak dibandingkan rangkaian kata yang disusun penulisnya. Catatan itu adalah saksi perjalanan mereka.

Kemudian, apakah Maulana menjadi pahlawan dalam perjalanan itu? Padahal dulu dia bukan siapa-siapa. Mungkin sebelumnya dia hanya ketua OSIS dijamannya yang bahkan tidak terlibat aktif dalam kegiatan KPA3, yang notabene adalah kelompok angklung yang super terkenal itu. Lalu kemudian kenapa sekarang ia yang menjadi pahlawan dalam perjalan itu? Kenyataannya memang seperti itu, suka atau tidak suka. Menganggapnya sebagai pahlawan mungkin menjadi sedikit hiperbol, karena ini adalah kerja tim, Tapi peran Maulana juga tidak bisa diabaikan, he’s doing something for that journey.

Maulana sendiri memiliki kelompok angklung bersama teman-temannya di Eropa. Mereka sesekali manggung, bukan hanya untuk pentas angklung tapi juga untuk rampak kendang, wayang kontemporer, dan banyak lagi. Sederet kegiatan kesenian yang menurut saya juga patut mendapat acungan jempol.

Saat mengangkat cerita perjalanan 40 days in Europe dalam talkshow Kick Andy, sejumlah konflik internal yang pernah ada kembali mencuat. Sesuatu yang menurut saya tidak perlu ada. Bagaimanapun juga, semua kembali pada manusianya.

Kalau kemudian ada sebagian orang yang keberatan kenapa sekarang terkesan Maulana yang terus-menerus tampil dan bicara tentang angklung, menurut saya sah-sah saja. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengelak kalau kita pada akhirnya baru mengetahui tentang perjuangan mereka membawa nama Indonesia dari buku 40 days in Europe. Untuk itu terimakasih kepada Maulana yang telah menuliskannya. Meskipun sebagai sebuah novel debut, tentunya masih banyak kekurangan dalam tulisan tersebut. Bentuknya yang seperti catatan harian memang memudahkan pembaca dalam menikmati apa yang disajikan dengan sangat biasa. Tapi dalam beberapa bagian menjadi sangat bertele-tele, karena diceritakan dengan sangat detail.

Meskipun demikian 40 days in Europe, menurut saya hadir semata bukan untuk popularitas penulisnya. Tapi lebih pada menghadirkan kembali semangat mereka, yang pernah dengan kegilaannya nekad berangkat ke Eropa, melakukan sebuah mission impossible. Cerita mereka terlalu sayang untuk tidak dibagikan kepada banyak orang. Agar mereka yang membacanya bisa kembali bercermin, apa yang sudah saya lakukan untuk negeri ini?

Mereka yang berangkat adalah orang gila. Tapi mereka tidak akan pernah tahu bahwa mereka bisa kalau mereka tidak pernah mencobanya. Hidup adalah pilihan, dan mereka memilih untuk maju, mencoba sesuatu yang sejak awal terlihat mustahil. Sebuah buku yang sangat inspiratif menurut saya. Buku itu juga hadir untuk mengingatkan kepada kita, agar apa yang mereka alami tidak lagi berulang. Agar perjuangan anak-anak muda lainnya untuk angklung, untuk Indonesia, tidak lagi menemui jalan buntu.

Enthusiasm is the force that leads us to the final victory (Paulo Coelho). Percayalah, dalam 40 days in Europe, anda akan benar-benar menemukan implementasi dari quotation Paulo Coelho tersebut.

Minggu, 14 Agustus 2011

Waktuku Untukmu


Andaiku bisa memutar kembali waktu yang lalu
Banyak kata yang ingin kuucapkan

Andaiku bisa memutar kembali waktu yang lewat
Banyak laku yang ingin kulakukan

Andaiku bisa memutar kembali waktu yang hilang
Banyak janji yang ingin kupenuhi

Tapi waktu berjalan maju, tidak mundur ataupun diam
Dan aku disini, melangkah terus mengikuti arus waktu

Kau bilang, "jangan salahkan waktu yang bergerak,"
Kau bilang, "jangan diam atau nanti tergilas,"
Kau bilang, "jangan takut, coba dulu!"

Kau yang mengajarkanku keberanian
Kau yang membimbingku melangkah
Kau yang mengantarkanku pada titik ini

Aku limbung tanpamu,
Tapi,

Ketiadaanmu mengajarku untuk berdiri
Ketiadaanmu memapahku agar tak berjalan dengan terseok

Aku ingin membayar
Waktuku yang hilang untukmu

Aku ingin mengganti
Waktuku yang terlewat untukmu

Dan aku akan berjalan,
Disini,
Sekarang
Untukmu, dan untukku
Seperti katamu, "lakukan juga untuk dirimu sendiri,"




Selasa, 02 Agustus 2011

Titik Bernama Rindu

suatu hari, aku sampai pada suatu titik bernama rindu
rindu pada suatu masa, rindu pada mereka yang ada di sana
rindu pada semua yang telah dilewati

pada titik yang sama, aku menyadari makna dari setiap kejadian yang lalu
makna dari setiap orang yang hadir
ah... katanya, kenangan adalah ingatan berbalut perasaan

aku tidak hidup dalam kenangan
tapi aku ada bersama kenangan untuk sebuah harapan

untukku, di dalam kenangan ada rindu dan harapan
dengan campuran ajaib yang memungkinkan kita,
untuk maju memulai sesuatu yang baru


-untuk semua yang telah terlewati-

Kamis, 14 Juli 2011

BOCAH KECIL BERJALAN


"Hati-hati nak...awas," teriakan panik seorang ibu muda sambil terus mengawasi putra kecilnya yang berjalan setengah terhuyung. Keseimbangan badannya masih belum penuh terjaga, ataukah mabuk ASI, atau kombinasi keduanya.

"Ayah, jangan langsung dilepas gitu, dipegangin aja dulu, kasihan ah nanti jatuh," lagi-lagi ibu muda itu mengingatkan sang suami untuk tidak melepaskan pegangan putra mereka. Sementara sang ayah, dengan riangnya mencoba menarik ulur pegangannya pada si anak. "Gak apa-apa bu, biar berani," giliran si ayah yang menenangkan ibu dengan pandangan teduhnya.


Bocah kecil itupun perlahan mulai bisa berjalan, berlari, naik sepeda, dan semakin besar. Berpuluh tahun kemudian, bocah kecil itu berpikir dia sudah bisa berjalan sendiri. Tapi ternyata tidak, dia belum bisa berjalan sendiri. Dan dia tidak pernah bisa berjalan sendiri. Dia masih membutuhkan tatapan penuh kecemasan dari wajah perempuan tua yang kelelahan dan dipanggilnya ibu. Dia masih membutuhkan tantangan penuh keberanian dari tangan keriput lelaki tua yang dipanggilnya ayah.

Dia limbung saat tangan keriput itu tak lagi memeganginya. Dia kelelahan saat tatapan cemas perempuan tua itu tak kunjung ia temukan. Ia kelelahan berjalan sendiri di jalannya. Ia limbung sesaat dan hampir jatuh. Ia mengira jalanan di hadapannya tak bisa ia selesaikan.

"Nak, jangan takut kalau jalan. Lihat jalannya baik-baik ke depan, hati-hati kalau ada batu nanti tersandung. Tapi gak apa-apa koq, nanti kalau jatuh kan bisa bangun lagi, trus jalan lagi," pesan perempuan tua itu saat bocah laki-laki itu menangis setelah jatuh dari latihan pertamanya naik sepeda roda dua.

"Anak ayah kuat, sebentar lagi bisa naik sepeda. Kalau udah capek jalannya, berhenti dulu, nanti mulai jalan lagi. Kalau sakit jatuhnya diobatin dulu, udah sembuh jalan lagi, pasti bisa." Kali ini ayahnya yang menghiburnya.


Bocah laki-laki itu terdiam. Tangan kekarnya mengambil sapu tangan dari dalam kantongnya untuk menyeka keringat. Pandangannya menerawang, menatap gundukan tanah merah di hadapannya. Ia terdiam, kelelahan.

"Aku bisa," tangannya mengepal kuat, membisikkan kalimat positif apapun yang masih ia miliki untuk membantunya bangkit.

Bocah laki-laki itu bangun dan berjalan. Ia masih menoleh sekali ke belakang, menatap nisan dibelakangnya. Kali ini, senyumnya kembali terkembang sambil setengah berbisik lirih...

aku akan kembali berjalan
seperti dulu kalian mengajarkanku untuk berjalan
mungkin aku akan jatuh dan kesakitan
tapi aku akan bisa bangkit lagi
karena kalian tidak pernah meninggalkanku

biarkan angin membawa pergi semua ketakutanku
biarkan matahari, bulan dan bintang menerangi jalanku
dan biarkan rindu ini menjadi penguat jalanku

Rabu, 06 Juli 2011

PILIHAN

“Jadi mau makan dimana kita?,”
“Gak tau,”
“Kamu mau makan apa?”
“Gak tau,”
“hhmmm… kamu lagi pengen makan apa?”
“Gak pengen makan apa-apa sih.. kamu maunya makan apa?”
“Apa yah…. Mbah Jingkrak? Bebek?”
“hhmmm…. Bubur Cikini yuks... eh mie aceh meutya”
“nonton yuks… eh di megaria aja, ayam bakar”
“masak sih kita ke seven eleven makannya…”
“duh… jadi makan dimana nih?”
“kita undi aja, tulis di kertas nama tempat makannya, fair





kotak berisi kertas gulungan undian tempat makan :)



pemenang undian adalah : bebek kowek-setiabudi :)


“Life is about making choices”


Makan pun menjadi urusan yang ruwet kalau terlalu banyak maunya. Makan menjadi masalah kalau bingung apa yang mau dimakan, dimana tempatnya, atau bahkan tidak tahu sama sekali apa yang mau dimakan. Ada pilihan pusing, gak punya pilihan lebih pusing lagi. Serba susah? That’s life..

Kalau ada kegiatan paling rutin dalam hidup, mungkin kegiatan memilih inilah jawabannya. Ralat : rutinitas pertama adalah bernafas, dan rutinitas selanjutnya adalah memilih. Coba bayangkan, mulai dari bangun tidur, kita sudah harus memilih mau bangun terus mandi atau bangun dan bermalas-malasan. Mau pakai baju warna apa? Mau sarapan apa? Mau bolos ke sekolah / kerja atau tetap masuk dan jadi pelajar / karyawan teladan? Pulang kantor / sekolah mau main dulu atau mau langsung pulang? Semua aktivitas kita sehari-hari dipenuhi dengan kegiatan memilih.

Menyenangkan? Tidak selalu. Kadang kita bisa bebas memilih sesuai dengan yang kita mau. Tapi kadang kita menjadi tidak bebas memilih karena sudah ada pilihan-pilihan lain sebelumnya. Atau ada pilihan-pilihan lain yang lebih membatasi.

Suatu hari saya kembali dihadapkan pada pilihan yang cukup berat. Sejak lulus kuliah, berbagai rencana sempat disusun untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki. Salah satunya adalah, menjadi dosen. Kalau dipikir-pikir, sewaktu TK dulu saya pernah bercita-cita menjadi guru TK. Berpuluh tahun lalu, cita-cita itu timbul lebih karena kekaguman terhadap guru TK. Kali ini, keinginan menjadi dosen lebih didasarkan pada peluang untuk mencari beasiswa sekolah ke luar negeri dan tuntutan “ego” untuk mengabdikan diri dalam lingkungan akademik.

From : lecturer_recruitment@xxxuniversity.edu>
To : ayu@yahoo.com
Cc : Mr. XYZ@xxxuniversity.edu
Subject :Test Invitation

Dear Mrs. Ayu Windiyaningrum

To follow up the process of selection from the Faculty of Psychology, for the position of Lecturer for Undergraduate Program (Psychology Department), we would like to invite you for interview and teaching demo.


The schedule for Demo Teaching and Interview :
Day/Date : Friday, 3rd June 2011
Time : 03.30 pm
Venue : (Faculty of Psychology room) – with Mr. XYZ
Please prepare for teaching demo (15’) based on courses you interested.


We would appreciate if you can come 15 minutes before.

If you have any questions, please do not hesitate to contact me.
And please confirm of your availability to attend.

Thank You for your attention.


Sincerely,

Mrs. Dududu



Rasanya seperti dapat asupan durian satu truk, saya langsung melayang membaca imel undangan tersebut. Tapi seperti orang mabuk yang disiram air, saya kembali dihempas ke bumi, BUK!!! Seketika saya disadarkan, saya harus kembali memilih!

Undangan interview dan teaching demo itu dengan mudah dapat saya penuhi. Tapi bagaimana dengan konsekuensi sesudahnya? Saya bahkan tidak yakin dengan availabilitas jadwal saya untuk mengajar. Kesibukan di kantor rasanya cukup menyita waktu dan pikiran.

“Lo yakin gak mau coba?” pertanyaan seorang teman lagi-lagi menggoda. “Gw tahu gw akan sangat penasaran, gw mundur bahkan sebelum mencobanya. Tapi gw gak mau mundur dengan perasaan yang lebih berat setelah maju terlalu jauh dan terpaksa harus mundur, rasanya pasti akan lebih sakit.” Otak saya pun dengan cepat berusaha bekerja mencari alasan logis yang dapat digunakan menjadi pembenaran penolakan tersebut. Aplikasi yang dikirimkan jauh berbulan-bulan sebelumnya saat saya belum dapat memperkirakan kepadatan rutinitas dan jadwal saya saat ini. Wajar saja kalau situasinya sudah jauh berbeda, berbulan-bulan setelahnya. Dan saya pun membulatkan tekad, mengesampingkan ego kompetitif saya, meyakinkan diri, menguatkan hati.

From : ayu @yahoo.com
To : lecturer_recruitment@xxxuniversity.edu>
Cc : Mr. XYZ@xxxuniversity.edu
Subject: RE: Test Invitation

Dear Mrs Dududu,
Hope this mail finds you fine and safe.

First of all, I would like to express my sincerest gratitude for the invitation to interview and teaching demo that you have extended to me. I believe that this is truly an exquisite opportunity of its own. Sadly, I couldn't take the opportunity due to several circumstances that made me unable to make a commitment with your organization at the present time. Kindly apologies for my sudden withdrawal.

Once again, thanking you for the opportunity presented to me and hopefully we would have another opportunity to work together.

Regards,

Ayu Windiyaningrum


SEND!!! Dan air bening itu mengalir tanpa menunggu perintah tepat ketika tombol Enter ditekan.

Hidup adalah pilihan! Dan kita tidak pernah tahu kapan sebuah pilihan akan kembali datang dan berulang. Masalahnya adalah, ketika memutuskan untuk mengambil sebuah pilihan, kita seringkali dibenturkan dengan berbagai pilihan lain, dan jawabannya adalah : SKALA PRIORITAS.

Saat harus memilih, otak dan hati kita pun sering berseteru. Seperti berada dalam dua kutub, otak dan hati terlibat dalam perang yang tidak pernah usai. Salah seorang teman saya bahkan membuat pakta perdamaian untuk otak dan hatinya, seolah dia adalah mediator dalam perseteruan tersebut. Menuruti hati, kita sering lupa mempertimbangkan aspek logis. Saat kita melihatnya secara logis-objektif, kita tidak menanyakan hati “apa sebenarnya yang saya mau?”

Life must go on…
hidup harus terus berjalan apapun yang terjadi. Kita sering dibenturkan pada pilihan yang tidak menyenangkan. Siapa bilang pilihan harus menyenangkan? Karena tidak menyenangkan maka harus dipilih. Dan kita tidak selalu bisa membahagiakan orang lain dengan pilihan-pilihan yang kita buat. Toh, kita hanya manusia biasa yang bisa punya keinginan dan keterbatasan untuk dapat memenuhinya.

Saat harus memilih dan mengatakan TIDAK, kenapa harus takut? Saat harus menentukan dan mempertaruhkan, kenapa harus menolak maju? Resiko akan selalu ada, tapi kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sampai kita benar-benar menjalaninya.

Life is a matter of choices, choosing a priorities. Sometimes we create our own choices, and its depend on our heart and our logic. Now, I’m on my way, choosing another puzzle for completing my life. How about yours?


Ps: thanks for my translater :)

Minggu, 19 Juni 2011

Dear You

Suatu hari kamu bertanya, "jadi apa artiku untukmu?", pertanyaan bernada setengah bercanda itu pun tak pernah kutanggapi. Tidak dengan sungguh-sungguh. Andai bisa, aku ingin meneriakkan seluruhnya agar kamu tahu yang sebenarnya. Dan hanya ini yang bisa aku tuliskan, surat singkat untukmu, untuk kita, atas nama persahabatan yang pernah dan akan selalu ada diantara kita.


Dear you,


I let you in
Through into my heart

Since the first time we met
We're talked like we've met before
And we became a very best friend
You did all the good things for me
Supporting me on my very bad times

And I just let the time goes on
I never realized it
I deny my feeling
till I know there is someone
And I am too scared for losing you

And I just realized that you already made it
Took a corner in my heart
Left a footprints on it
And I can't control it
You made me lost

Dear you,

I won't deny it anymore
I won't let myself lost on mine
And I will kept your name
Write it as the one

The one who made me laugh and cry at the same time
The one who made me quite and listen on a crowd
The one who taught me how to keep positive on very bad situation
The one who taught me how to care and share with your best friend


and i want to say thank you for all the best thing that you've done for me
thank you for coming into my live with your own colour

PAHLAWAN DAN IDOLA ALA YOUTUBE

“ayo dong, coba om kasih tahu gimana gayanya keong racun,”

“sini ibu yang nyanyi yah…. dasar kau keong racun…. Baru kenal sudah ngajak tidur…”

“ayo dong tangannya gimana? Kepalanya goyang-goyangnya gimana?”



Seorang ibu dengan semangat ingin menunjukkan gaya goyang Keong Racun dari putri kecilnya yang baru berumur 4 tahun. Si anak mendadak diam dan bergeming sesaat setelah pria yang disebut om datang dan ingin melihat gaya goyangnya. Si Ibu ingin menunjukkan betapa berbakatnya si anak karena dapat mengikuti gaya goyang keong racun ala Shinta dan Jojo.

Nama Shinta dan Jojo mendadak tenar beberapa bulan belakangan. Mereka dikenal karena gaya lypsinc dari lagu Keong Racun yang dipublikasikan melalui youtube. Shinta dan Jojo menjelma menjadi selebriti kondang yang selalu menghiasi TV. Sebenarnya, mereka banyak tampil dalam program infotainment. Akan tetapi karena frekuensi infotainment melebihi frekuensi minum obat, maka wajah mereka hampir tidak pernah absen. Belum lagi, mereka juga tampil sebagai mdoel iklan sebuah produk makanan. Maka demam Shinta-Jojo pun tak terelakkan lagi. Infotainment merekam seluruh kegiatan mereka, termasuk kebiasaan mereka memasak sendiri mie instant di kamar kos. Berbagai acara TV mengundang mereka tampil sebagai narasumber, mulai dari program dialog hingga program musik. Mereka pun kemudian memiliki sebuah lagu, diciptakan khusus oleh seorang pemusik. Tidak tanggung-tanggung, mereka juga mendapat beasiswa dari universitas tempat keduanya berkuliah. Kalau sebelumnya nama Shinta dan Jojo hanya nama biasa, kini saat kedua nama ini digabungkan, seantero negeri mengenalnya dengan gaya joget khas.

Baru reda demam Shinta-Jojo, negeri ini kembali diguncang keriaan baru dari seorang polisi bernama Briptu Norman. Tingkah polahnya menirukan joget india yang direkam dan dipublikasikan melalui youtube, mengundang berbagai komentar. Beberapa pihak mempertanyakan aksi Briptu Norman yang sedang bertugas tetapi merekam joget india-nya tersebut. Beberapa pihak mempertanyakan piercing yang tampak digunakannya. Si empunya wajah dalam video itu sendiri pada awalnya ketar-ketir. Namun, tanpa disangka-sangka, sanksi yang diberikan berupa bernyanyi dihadapan barisan rekan-rekannya dan disiarkan oleh berbagai stasiun TV, justeru mendapat sambutan meriah dari seluruh masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, Briptu Norman dipanggil ke Jakarta, bertemu dengan Kapolri, dan mendapatkan “ijin“ ataupun “perintah untuk seolah-olah menjadi “duta seni” polisi, memberikan citra yang baik terhadap polisi, akrab dengan masyarakat.

Demam Shinta-Jojo pun beralih menjadi demam Briptu Norman. Lebih dari satu minggu, sang Briptu melakukan safari pada berbagai acara. Sepanjang perjalanan sang Briptu kerap dikawal oleh atasannya, sebuah pengawalan super istimewa yang mungkin baru kali ini dilakukan.

Setiap hari, wajahnya menghiasi layar kaca, melalui infotainment, acara talkshow, panggung musik, reality show, hingga acara dialog/talkshow. Tidak tanggung-tanggung, dalam kunjungan singkat sekitar dua minggu di ibukota, sang Briptu pun telah menghasilkan sebuah single / lagu, lengkap dengan video klip. Para produser pun menanti kembalinya sang Briptu ke ibukota untuk melakukan kontrak sinetron dan sebagainya, dengan nilai kontrak yang cukup fantastis.

Sihir sang Briptu pun seolah tak berhenti sampai disitu. Dalam salah satu adegan di tayangan infotainment, sang Briptu keluar dari balkon apartemen menyapa para penggemarnya yang menanti di bawah. Adegan yang persis sama seperti saat Obama menyapa warga Amerika dari balkon gedung Putih seusai pengucapan sumpah jabatannya. Briptu Norman pun kembali bernyanyi dan berjoget India khas seperti yang dilakukannya dalam video.

Dua minggu roadshow di Ibukota, sang Briptu kembali ke Gorontalo. Kali ini penyambutannya luar biasa meriah, layaknya pahlawan kembali dari medan perang dan berhasil merebut satu wilayah. Kendaraan lapis baja dikerahkan untuk menjemput dan mengarak sang Briptu keliling kota. Spanduk besar ucapan selamat datang dibentangkan lebar sepanjang jalan. Masyarakat berbondong-bondong menyambut di pinggir jalan. Seluruh pejabat menyambut dengan penuh hormat. Kekasihnya yang belakangan diketahui media tidak luput dari wawancara dan kilatan kamera. Dan Sang Briptu terus mengembangkan senyum.

Jauh sebelum Shinta-Jojo dan Briptu Norman dikenal, kita dikenalkan dengan nama Justin Bieber. Lagi-lagi, ia ditemukan melalui videonya di youtube saat tampil dalam kompetisi Stratford Star. Demam Bieber segera melanda anak-anak muda di seluruh negara dan dikenal dengan nama Bieber Fever. Pengikut (follower) Justin Bieber dalam twitter melalui account @justinbieber melebihii angka 9juta. Film biografi pertamanya bertajuk Never Say Never dirilis pada februari 2011. Patung lilinnya juga sudah menghiasi museum Madame Tussauds, London. Sekarang, demam Justin Bieber yang kembali melanda. Penyanyi belia asal Canada yang baru genap berusia 17 tahun pada 1 maret lalu ini, akan menggelar konsernya di Jakarta. Dalam konsernya nanti, para fansnya berencana mengenakan kostum dengan dresscode warna ungu, warna favorit sang idola.

Demam Shinta-Jojo, Demam Briptu Norman ataupun Bieber Fever seakan mengingatkan kita, apakah kita sudah kehabisan pahlawan? Apakah kita sudah tidak lagi sensitif dan peka untuk memberikan penghargaan terhadap sebuah keberhasilan?

Kemana kita saat para atlet pulang bertanding dan membawa medali ? Kenalkah kita pada anak-anak pemenang olimpiade? Ataukah, seharusnya anak-anak pemenang olimpiade itu merekam sesuatu dan mempublikasikannya melalui youtube terlebih dulu, baru kemudian mereka kembali ke tanah air.

Bukan youtube atau media nya yang bersalah dan mempopulerkan mereka. Akan tetapi bagaimana kita merespon suatu hal dan memberikan penilaian atas hal tersebut. Mungkin kita terlalu lelah terus-menerus dijejali informasi mengenai korupsi, penyalahgunaan jabatan, penipuan, penyelewengan kekuasaan militer, dan banyak informasi negatif lainnya.

Bukan pula salah Shinta-Jojo ataupun Briptu Norman, kalau mereka menjelma bak idola dan super hero. Mungkin kita kehabisan berita mengenai contoh perilaku yang baik dan layak mendapatkan penghargaan. Hingga dengan penuh keriangan kita memberikan penghargaan berlipat ganda pada mereka yang tampil menghibur, padahal kita berharap dalam keputusasaan tentang mereka yang dapat menjadi teladan.



I was born to be somebody.
Ain't nothing that's ever gonna stop me.

-Born to be somebody, Justin Bieber-

Rabu, 15 Juni 2011

#indonesiajujur : JUJUR ITU TIDAK INSTANT







“Setujukah Anda dengan Ujian Nasional (UN) sebagai faktor tunggal penentu kelulusan?”


Pertanyaan itu menjadi pembahasan alot selama beberapa tahun belakangan. Pemerintah dihujat kanan-kiri-atas-bawah mengenai penggunaan UN sebagai penentu kelulusan. UN dianggap tidak adil karena proses belajar selama bertahun-tahun ditentukan hanya dalam beberapa hari. Kemudian, masih ada lagi pertentangan mengenai nilai batas minimal kelulusan. Sampai akhirnya tahun ini, saat Mendiknas membuat formula khusus untuk UN dan Ujian Sekolah (US) untuk menentukan kelulusan siswa, lahirlah ujian yang lain, UJIAN KEJUJURAN!

Belum selesai balada ibu Siami dari desa Gadel, kita kembali dikejutkan dengan kisah nyontek massal lainnya dari SD 06 Petang Pesanggrahan. Tidak tanggung-tanggung, para siswa ranking 1-10 dikumpulkan oleh guru dan membuat kesepakatan tertulis untuk memberikan contekan kepada teman-temannya yang lain. Siswa yang ketahuan tidak memberikan contekan justru diancam oleh teman-temannya. Sementara ibu Siami didemo oleh warga desanya, dan mengungsi ke tempat lain karena terus-menerus dicaci atas kejujurannya. Atas nama solidaritas dan tuntutan hasil, maka mencontek dan kecurangan menjadi legal.

Beberapa tahun belakangan, saya terheran-heran dengan pemberitaan tentang persiapan ujian yang dilakukan oleh para siswa. Hypnosis massal atau zikir dan doa massal hingga menangis meraung-raung atau bahkan hingga ada yang pingsan, dianggap sebagai salah satu cara efektif mempersiapkan siswa menjelang ujian.

“Doa tanpa disertai usaha itu namanya bodoh, kalau usaha saja dan tidak berdoa itu namanya sombong,” ujar salah seorang ustad dalam salah satu adegan sinetron komedi-religi.

Saya tidak menyalahkan kegiatan doa bersama menjelang ujian, saya juga manusia beragama yang mengakui adanya Tuhan. Tetapi, saya melihat kegiatan tersebut sebagai bentuk kepasrahan berlebih. Menjelang H-1 ujian, siswa masih dilibatkan dalam kegiatan doa bersama. Padahal saat itu siswa membutuhkan ketenangan dan istirahat yang cukup. Bukan berarti doa tidak penting, tetapi saya melihat bentuk kegiatan doa bersama itu sebagai bentuk “pressure” atau tekanan emosional pada siswa menjelang ujian. Hasil menjadi fokus utama, sehingga segala cara dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik.

Fokus pada hasil itulah yang sepertinya menjadi “DEWA” para guru di SD 06 Petang Pesanggrahan dan SDN 2 Gadel. Menghasilkan siswa-siswa yang lulus UN dengan nilai tinggi adalah prestasi, untuk siswa dan guru. Tambahkan juga, hasil UN yang tinggi dapat meningkatkan level sekolah. Mulai dari SSN (Sekolah standar nasional), RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan sebagainya.

Sebagai psikolog yang biasa melakukan assessment untuk tes masuk sekolah, saya dikejutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya terima saat menjalani proses wawancara untuk mendaftarkan adik saya ke SMA. Guru yang menanyakan motivasi saya mendaftarkan adik di sekolah tersebut ternyata mengharapkan saya menjawab status sekolah RSBI sebagai motivasi utamanya. “Nah, karena RSBI kan berarti yah,” komentar singkatnya memotong cerita saya mengenai proses pemilihan sekolah. Dan saya menahan berkomentar dalam hati, “ok, I got your point.”

Saat hasil menjadi dewa, lalu apa yang akan kita lakukan pada proses? Kita tidak lagi peduli pada proses. Seperti mie instant, kita mau menikmatinya dengan cepat. Kita tidak ingin direpotkan dengan segala macam hal yang harus dilewati hingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Apakah semuanya sudah menjadi jaman instant? Atas nama kecepatan dan kenikmatan, segalanya menjadi legal.

“Guru itu digugu dan ditiru,” kata bapak saat menjelaskan falsafah tentang guru. Digugu dan ditiru berarti guru menjadi teladan. “Guru itu bukan pengajar, tapi pendidik,” falsafah lain yang pernah dijelaskan oleh bapak. Mengajar itu sekedar bisa baca, tulis, dan hitung. Sementara mendidik jauh lebih berat, menanamkan nilai, kebaikan, membentuk manusia. Masihkah falsafah tersebut berlaku di jaman serba instant ini?

Saat guru membiarkan atau bahkan memerintahkan siswa untuk membagi contekan, apa yang bisa kita harapkan dari sekolah untuk mencetak manusia yang baik? apa yang bisa kita harapkan untuk dapat menyelesaikan penggalan berita berikut : Peringkat korupsi Indonesia berada di urutan kedua paling bawah dari negara-negara Asia Pasifik. Sementara secara global tingkat korupsi Indonesia berada di urutan 47 (juni 2011, http://news.okezone.com/read/2011/06/14/339/468071/pemberantasan-korupsi-di-indonesia-peringkat-2-dari-bawah).

Saya masih percaya bahwa hasil yang baik itu penting. Tapi untuk mencapai hasil yang baik, juga diperlukan proses yang baik. Kita tidak akan mendapatkan kue yang enak kalau takaran bahan-bahan pembuatnya tidak pas ataupun waktu memasaknya tidak tepat. Keseluruhan proses yang baik tentunya akan menghasilkan kue yang enak. Mungkin kita bisa dengan mudah membuat kue, dengan mengikuti takaran dalam resep. Tapi anak-anak bukan kue yang memiliki takaran massal. Anak-anak adalah sponge yang akan menyerap apapun dari yang yang dilihat, diterima, dan dirasakannya. Kita bisa memasukkan aneka bahan ajaran, tetapi mereka juga dapat menyerap informasi lainnya dan mengolahnya menjadi nilai-nilai yang akan mereka pahami dan amalkan.

Dalam pelajaran agama dan moral, anak diajarkan untuk berbuat jujur. Dalam pelajaran bahasa Indonesia pun berbagai bahan bacaan mengajarkan nilai kejujuran. Bahkan dalam dongeng yang disampaikan pun, nilai kejujuran (ingat dongeng si Kancil mencuri ketimun?). Lalu apa yang akan kita katakan, manakala yang dilihat dan diterima anak adalah kebalikannya? Kejujuran itu sifat, kualitatif dan bukan kuantitatif. Tidak ada yang tahu seberapa jujur seseorang kecuali Tuhan dan orang itu sendiri. Tapi, kejujuran itu juga terbentuk, bukan proses instant. Mungkin ada makeover untuk penampilan, tapi tidak ada makeover untuk kejujuran.

Sekolah menjadi rumah kedua, tempat anak menghabiskan waktu sekurangnya 6 jam setiap hari. Di sekolah mereka tidak hanya belajar membaca, menulis dan berhitung. Di sekolah mereka belajar tentang kerjasama, tenggang rasa, menghargai, memaknai proses, dan menerima hasil dengan legowo, ikhlas. Begitupula di rumah, nilai yang sama diajarkan dengan cara-cara berbeda. “Konsistensi penerapan nilai dan aturan yang dijalankan di rumah dan di sekolah,” saran itu salah satu saran yang sering saya berikan pada klien masalah perilaku.

Kejujuran dan banyak nilai kebaikan lainnya tidak hanya ditanamkan di sekolah atau di rumah saja. Karena sekolah ataupun rumah (keluarga) bukanlah mesin pencetak manusia. Seberapa takutnya kita untuk mendapatkan hasil buruk sebagai buah kejujuran kita? (misalnya : tidak ikut mencontek dan tidak lulus). Kejujuran mungkin tidak selalu memberikan hasil yang manis seperti yang kita iniginkan, tetapi setidaknya kejujuran akan memberi kelegaan dan melepaskan kita dari perasaan bersalah. Kebohongan akan mengantarkan kita pada kebohongan-kebohongan lain dan melilit kita dalam perasaan bersalah yang berkepanjangan.

Membaca berita mengenai Ibu Siami yang terus diteriaki, “Usir, usir…tak punya hati nurani,” saat meminta maaf di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, saya bertanya-tanya, “hati nurani mana yang diharus ditanyakan?” Ataukah kita memerlukan hidung panjang ala pinokio sebagai alat deteksi kejujuran?

Beranikah kita menantang diri kita sendiri, untuk mengatakan pada anak-anak kita, adik, keponakan, ataupun siswa kita, “Nak, belajarlah yang baik. Kerjakan dengan baik dan jujur. Aku tidak akan bangga dengan hasil baikmu dari mencontek. Aku lebih suka kamu tidak lulus tetapi jujur.”