Senin, 06 Mei 2013

Kembali Ke "Rumah"







"Sudah nonton 9 Summers 10 Autumns?"
"Belum, kayaknya aku perlu mempersiapkan hati dulu deh,"
"Why?"
"Hhhmmm... I don't know,"


Penggalan percakapan di atas benar adanya (dengan beberapa bagian yang di edit). Yak! Saya benar membutuhkan waktu untuk "siap" menontonnya. Saya membaca bukunya dan saya cukup dapat membayangkan akan seperti apa respon saya terhadap film ini.

Cerita tentang ayah dan keluarga mungkin bukan sesuatu yang bisa dengan mudah saya terima (secara emosional). Beberapa kali tawaran nonton bareng hingga undangan premiere pun tak bisa saya hadiri (hey, lucky me! but i'm sorry.. ). Hingga pada akhirnya, salah satu sahabat saya berhasil mengajak saya untuk menonton film ini walaupun itu berarti dia harus kembali menontonnya entah untuk yang keberapa kalinya (lebih dari 3x).

Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, sejak awal film beberapa bagian dari film ini membuat saya cukup mengeluarkan tenaga agar tidak menimbulkan suara tambahan yang mengganggu penonton lain karena harus menyeka mata dan hidung dengan tissue (baca : mberebes mili sampai mbleber).

Kalau ditanya tentang film ini, bagi saya sangat personal. Walaupun tidak sama persis dalam kondisi seperti yang dialami tokoh dalam film, tapi saya pernah ada dalam situasi yang setidaknya sama.  Ayah yang harus bekerja keras demi menghidupi keluarganya dan memberikan penghidupan terbaik untuk anak-anaknya tanpa mengindahkan kesejahteraan fisiknya sendiri. Tambahkan faktor kehilangan ayah sebagai salah satu unsur penguat keterikatan saya secara emosional pada beberapa bagian cerita dalam film.


Suguhan cerita yang sederhana dan sarat makna, itulah komentar singkat saya untuk film ini. Rangkaian monolog tokoh utama dengan script yang (menurut saya) bagus dan tidak berlebihan. Permainan ekspresi beberapa aktornya yang tak perlu diragukan lagi. Beberapa adegan yang tidak perlu jawaban verbal, seperti saat Bapak yang datang dengan bahagia sambil menenteng sepeda baru tetapi disambut dengan kebisuan ibu, Bayek, dan kakak-adiknya. Atau saat Bapak bertanya dengan singkat, "kamu beneran mau kuliah ke Bogor?" dan seketika Bapak memutar balik angkotnya. Cerita tidak selalu diselesaikan dengan kalimat ataupun adegan secara eksplisit. Tampilan yang cerdas!


Lepas dari itu semua, mungkin juga sebuah kesengajaan, saya merasakan musik yang (masih menurut saya) kurang dalam beberapa bagian film tersebut. Unsur monolog dalam film terasa sangat kuat. Sementara itu, sepertinya musik sengaja tidak banyak digunakan untuk membangkitkan suasana atau mood pada beberapa bagian cerita. Sebagai sebuah tayangan, pesan dan pembelajaran dalam film ini pun terasa kuat tanpa bermaksud menggurui.

Cerita Bayek yang berontak dari kemiskinannya, ketakutannya yang terbesar bahkan mengalahkan ketakutannya pada setan. Pemberontakan inilah yang mengantarkannya pada keberanian untuk melangkah tegak demi keluarganya. Tidak ada lagi Bayek yang penakut dan harus melihat ibuk di hari pertama sekolah atau Bayek yang lari dari panggung saat lomba menyanyi.  Semua ketakutannya diterjang dengan kekuatas super dari kehangatan dan dukungan keluarganya.

Kemewahan, harta, jabatan, dan semua keberhasilan atas nama duniawi pun tak bisa menghalangi langkah Bayek untuk kembali menemukan "rumah"nya. Ketika tiba waktunya, maka ia kembali melangkah pulang, ke rumah. 

Sejauh apapun kita melangkah, pada akhirnya kita akan kembali, ke rumah. Bukan lagi bangunan fisik yang dicari, tapi rumah tempat kita selalu mendapatkan kehangatan dan dukungan. Keluarga selalu menjadi tempat kita untuk "pulang", sejauh dan selama apapun kita pernah meninggalkannya.



 

Identitas Itu Bukan Angka Atau Akun Sosial Media

Semakin lama semakin banyak fasilitas akun sosial media yang bisa kita nikmati. Saat interaksi di sosial media meningkat, lalu apakah mempengaruhi interaksi kita dalam dunia nyata (kuantitas dan kualitas interaksi) ? Ini bukan pertanyaan ujian untuk mahasiswa saya, tetapi hanya sedikit menggelitik pikiran saya di tengah malam saat harus menyelesaikan modul mengenai bahasan perubahan sosial.

Pertanyaan selanjutnya yang kemudian menari-nari di kepala saya adalah, "Berapa banyak akun sosial media yang Anda miliki?" Saya sendiri memiliki beberapa, mari kita list apa saja :

- Friendster (entah sekarang masih ada atau tidak)
- Facebook (sesekali masih aktif )
- Twitter (saya lebih banyak aktif di akun sosial media ini)
- Path (sesekali aktif, karena tergantung saya membawa ipad atau tidak, atau tergantung apakah ipad saya terkoneksi dengan wifi )
- Line  (baru saja aktif)

Media lainnya, saya punya beberapa blog yang hhhhmmm... tidak terlalu sering saya update juga :)

Pernahkah mendengar komentar seperti berikut, "twitter lo apa? Gak punya twitter? gak gaul deh.." , Atau "gw tag di path yah, ID lo apa? hah gak ada path?? hari gini gak punya path?? haduuuhhh..." Sebagian komentar itu pernah saya terima.

Kepemilikan pada beberapa akun sosial media kemudian menjadi bagian dari identitas kita. Yang lebih parah mungkin kepemilikian terhadap akun sosial media itu kemudian menjadi standar penerimaan kita dalam sebuah lingkungan. Sebuah kenyataan yang tidak terelakkan di tengah kemajuan teknologi saat ini.

Kemudian, siapakah yang harus disalahkan atas hal ini? Teknologi? Atau manusianya? Teknologi hadir untuk mempermudah hidup manusia. Manusia memiliki "free will" atau keinginan bebas atas dirinya. Teknologi bisa menjadi pedang bermata dua, kita bisa memanfaatkan akun sosial media atau teknologi apapun yang ada saat ini untuk support berbagai kegiatan atau menjadikannya sebagai masalah dan mempersulit hidup kita.

Ingat beberapa kasus yang marak belakangan ini? Misalnya, beragam tuduhan mem-bully melalui twitter. Kebebasan pendapat yang dimaknai secara kebablasan hingga verbal bullying tak terelakkan. Keterbatasan karakter dalam menjelaskan pendapat hingga penggalan penjelasan dan edit kalimat menjadi dasar pembenaran atas opini. Sampai titik ini, maka sosial media menjadi pedang bermata dua. "Twitmu Harimaumu". 

Ingat pula berbagai gerakan sosial yang bermula dari akun sosial media. Pemanfaatan sosial media pada kelas menengah khususnya tidak bisa dianggap sepele.


Saat berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiran, dari sosial media juga saya membaca artikel mengenai larangan mendagri memfotokopi ektp lebih dari satu kali (baca di sini). Harus diakui akses berita yang tercepat bisa saya dapatkan adalah melalui situs online di sosial media.

Kembali ke persoalan e ktp, pertanyaan selanjutnya adalah, "Kenapa baru sekarang diedarkan pemberitahuannya?" Bahkan kartu yang memuat sederetan nomor identitas kita sebagai warga negara dan sepenggal data, pun kita tidak tahu pemanfaatannya secara detail (setidaknya ini berlaku untuk saya). Sementara itu, saya sudah melakukan banyak kesalahan penggunaan. Jangan tanyakan ke saya sudah berapa kali memfotokopinya.

Pada saat yang sama, melalui facebook salah seorang teman kuliah, saya mendapatkan link daftar nama mahasiswa satu angkatan saat kami masih sama-sama tercatat sebagai mahasiswa fakultas Psikologi UI (lihat di sini). Ingatan saya pun seketika melayang ke hafalan deretan angka yang pernah menjadi identitas saya selama 4 tahun di UI.


Sebagai manusia dengan banyak status, kita memiliki banyak identitas. Sebagai pemilik akun twitter dengan jumlah follower ratusan ribu, Anda mungkin layak ditasbihkan sebagai "seleb twit".  Popularitas Anda ditentukan dari banyaknya twit yang anda kemukakan dijawab ataupun di retweet.

Dalam akun sosial media, dalam dunia maya, kita pun menetapkan identitas diri kita sendiri dengan menguraikannya dalam profil akun, atau mengungkapkannya dengan ataupun tanpa sadar melalui berbagai hal yang kita kemukakan melalui akun tersebut.

Sebagai mahasiswa atau karyawan, ada deretan angka yang mengindikasikan nomor urut kita.

Sebagai warga negara, kita juga memiliki identitas standar berupa deretan angka dalam kartu identitas, atau deretan angka dalam paspor. 

Profesi yang kita miliki juga bisa menjadi identitas. Atau bahkan perusahaan tempat kita bekerja bisa menjadi bagian dari identitas.

"kenal sama si Ani? ", "Ooo Ani yang pengacara itu?", "Bukan, Ani -nya Bank Berlian,"  


Lepas dari itu semua, menurut saya,  kita menentukan sendiri identitas seperti apa yang ingin kita tampilkan. Saya pun teringat sebuah tayangan inspiratif, yaitu kuliah terakhir Randy Pausch (lihat di sini) .

Pada akhirnya, kita sendiri yang menentukan, "kita ingin dikenal sebagai apa?"