
mencari tiada henti
seperti langkah tak berujung
kadang berjingkat, berlari, atau melompat
pun tak segera sampai
adakah angin yang membawa kembali?
pertanyaannya masih menggantung
sambil menjaga agar langkahnya tetap menjejak
seperti puzzle yang terserak, berisi coretan tentang keping-keping ingatan akan kejadian, pikiran, dan perasaan.
Hari ke 28
Aku mengetuk pintuMu
Di rumahMu aku bersimpuh
Dalam sujud panjang
Dalam diam
Dalam dingin dan kerasnya hati
Aku mengadu
Tahun lalu, dilangkah ke 28
Dalam sunyinya pagi
Aku limbung
Rumah itu goyah
Karena satu tiangnya rapuh
Mencoba menjejak dalam ketakpastian
Berusaha menggapai asa dalam ketakberdayaan
Lalu, langkah-langkah lunglai itu mencoba kembali bertahan
Hingga kini, hari ke 28
Aku kembali menyapaMu
DirumahMu
Mengadu
Berharap
Dengan segala pinta
Dengan semua asa yang tersisa
Jangan kau beri aku batu yang tak sanggup kulewati
Jangan kau beri aku gelombang yang tak mampu kulawan
Aku masih limbung
Dan masih berusaha menjejak
Kau yang Maha Berencana
Aku berserah
Untuk setiap detik yang terlewati
Aku berpasrah
Untuk setiap hal yang Kau beri
Langkah ke 28
Dan aku masih akan terus berjalan
Hingga ujung waktuMu
Entah mengapa, dua tahun belakangan Ramadhan saya selalu diwarnai dengan aksi para ikan. Jangan berpikir yang negatif, karena ikan yang saya maksud adalah ikan yang sebenarnya, dalam arti denotasi. Tahun lalu, menjelang akhir Ramadhan saya harus direpotkan dengan berpuluh ikan lele dan gurame. Tahun ini, giliran awal Ramadhan yang direpotkan dengan ikan cakalang.
Saya masih mengiingat dengan sangat jelas acara bakti sosial tahun lalu. Awalnya membantu seorang teman untuk melakukan baksos bersama dengan teman-teman SMP-SMA nya. Saya mengajak rombongan ini ke salah satu panti asuhan di seputaran Bogor.
Pertama, saya akan ceritakan dulu tentang panti asuhan yang kelak akan menghubungkan saya dengan kehebohan bersama ikan lele dan gurame. Panti asuhan ini adalah milik Pak Haji, setidaknya begitulah kami biasa memanggilnya. Pak Haji membiayai anak-anak di panti asuhan dengan mengandalkan hasil dari kolam ikan lele dan gurame yang dikelolanya. Tidak main-main, anak-anak yang tinggal dipanti asuhannya mencapai jumlah 200an anak. Beberapa bahkan ada yang sudah bersekolah hingga ke perguruan tinggi dan menikah. Dan semua itu, Pak Haji yang membayainya, sendirian!!
Anak-anak tinggal dalam asrama sederhana. Baru setahun belakangan ada seorang donatur baik hati yang kemudian membangunkan asrama untuk para santri laki-laki. Guru dan para pengasuh dibayar dengan honor sukarela atas dasar ikhlas.
Selesai acara baksos, Pak Haji baik hati itu menawari saya untuk membawa oleh-oleh ikan dari kolamnya. Tak tega menolak, saya pun menerimanya. Lagipula saya bersama dengan salah seorang ibu dari teman, yang biasa saya panggil Mama Panda telah membuat kesepakatan akan membagi dua oleh-oleh ikan tersebut. Sebagai anak kos, saya menerima dengan tangan terbuka dan akan memberikannya pada ibu kos sebagai oleh-oleh. Tentu sebelumnya saya sudah menelepon ibu kos untuk memastikan si Ibu tidak berkeberatan dengan ikan oleh-oleh tersebut. Kira-kira seperti ini percakapannya:
Ayu : ibu, lagi di bogor nih. Dikasih oleh-oleh ikan dari kolam langsung bu, mau gak?
Ibu kos : mau, ikan apaan yu?
Ayu : ikan lele dan gurame, mau yah bu beneran?
Ibu kos : iya, mau. Nanti ibu masakkin.
Ayu : asik… oiya bu, aku pulang malam, jangan dikunciin dulu yah hehehe…
Ibu kos : ok.. nanti sms ibu aja pulang jam berapa yah,.
Ayu : ok bu, makasih
Walhasil, Pak Haji kemudian membungkuskan beberapa ekor ikan lele dan gurame. Awalnya saya kira beberapa ekor (beberapa sama dengan tidak lebih dari 20 ekor). Tetapi kenyataan berkata lain. Saat dimasukkan ke dalam mobil, ada dua kantong plastik besar berisi ikan. Saya bisa mendengar dengan jelas geliat ikan-ikan itu di dalam plastik. “Ya Rabb… ikannya masih hidup…” dan saya hanya bisa menggumam dalam hati sambil mengulum senyum ucapan terimakasih. Melihat senyum saya, pak Haji menjelaskan dengan tenang, “nanti lama-lama juga mabok, ikannya diem,” ujarnya singkat. “hah?? Mabok?? Waduh.. halal gak yah kalau ikannya mabok?” sekilas ada pikiran jahil yang melintas di kepala saya.
Selesai baksos, kami pun melanjutkan dengan cara buka puasa bersama di kafe salah seorang teman. Dan ikan-ikan itu tentu tidak ikut bersama saya untuk masuk ke dalam kafe, melainkan tetap di plastik dalam mobil. Jujur saja, sepanjang buka puasa saya sempat teringat dengan nasib ikan-ikan tersebut. Karena sepanjang perjalanan, ikan-ikan itu terus menggeliat dengan ribut.
Selesai buka puasa, saya menemukan ikan-ikan itu semuanya diam dan sangat tenang. Tampaknya Pak Haji benar, lama-kelamaan mereka akan mabok dan diam. Dan saya pun melanjutkan perjalanan dengan tenang hingga Depok.
Urusan dengan ikan tidak begitu saja selesai. Sampai di kos, karena sudah terlalu malam, maka Mama Panda, ibu teman saya memutuskan untuk merelakan ikan bagiannya kepada ibu kos saya. Alasannya, agar cepat diolah, sebab asisten rumah tangga di rumahnya mungkin sudah tidur dan akan lebih baik jika dapat segera diolah. Baiklah, saya tidak akan membantah orang tua dan hanya menurut. Setelah ditimbang-timbang, ternyata ikan yang saya bawa sangat berat. Kelelahan beraktivitas seharian membuat saya tidak sanggup membawa kantong plastik berisi ikan tersebut. Belum lagi, kekhawatiran saya kalau ikan tersebut akan loncat ketika saya bawa.
Beruntung ada salah seorang teman yang kebetulan juga tetangga kos, masih bangun dan bersedia diganggu, sebut saja namanya A. Kebetulan kos A memiliki halaman yang lapang sehingga mobil yang mengantar saya bisa parkir sekaligus menjemput A agar membawakan kantong plastik berisi ikan. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Dalam keadaan setengah sadar karena dibangunkan dari mimpi, A membawakan plastik berisi ikan ke kos.
Setelah memakan pisang bakar keju sebagai upah mengangkut plastik ikan dan memastikan bahwa saya akan membagi hasil masakan ikan, A langsung berpamitan. Dan saya, tentunya langsung mengabari ibu kos bahwa oleh-oleh ikan telah sampai. Khawatir bau, ibu kos memutuskan akan langsung membersihkan ikan dan menyimpannya di lemari es. Tidak enak hati karena sudah larut malam, maka saya membantu si ibu kos untuk ikut membersihkan ikan.
Alamak!! Betapa kagetnya kami, saat plastik dibuka, ternyata ada berpuluh ikan lele dan gurame. Kami harus menempatkannya dalam satu buah bak besar dan ikan-ikan itu berjejal memenuhi bak tersebut. Saya haru jujur kalau saat itu saya sama sekali TIDAK BISA membersihkan ikan. Dan saya, TAKUT untuk membersihkannya. Takut ikannya tiba-tiba loncat dan menggigit. Tapi, manusia dalam keadaan terdesak dapat melakukan apa saja. Mati-matian menekan rasa takut saya, akhirnya rasa tidak enak hati dengan ibu kos yang menang, dan saya menurut diajari bagaimana caranya membersihkan ikan. Beruntung ikan-ikan tersebut benar-benar sudah mabok saat ditinggal di mobil waktu buka puasa tadi.
Pagi itu (dini hari) saya belajar membersihkan ikan. Awalnya saya membutuhkan waktu lama hanya untuk membersihkan satu ekor ikan dan dilanjutkan dengan pertanyaan: “udah bersih belum nih bu?”, sampai kemudian saya bisa melakukannya dengan cepat dan tidak lagi memerlukan penguatan dari ibu kos.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Karena proses membersihkan ikan ini berlangsung selama hampir 3 jam. Jumlah ikannya sendiri mencapai puluhan, 20 ekor gurame ditambah dengan 100 ekor ikan lele. Jumlah yang sangat cukup untuk latihan dan menjadikan saya ahli membersihkan ikan. Kami pun masih harus putar otak agar ikan-ikan tersebut dapat disimpan di lemari es karena jumlahnya yang sangat banyak.
Teman kos lainnya hanya bisa geleng kepala melihat oleh-oleh yang saya bawa malam itu. Sementara saya hanya bisa tersenyum sambil meringis membayangkan mualnya makan ikan lele. Ibu kos pun kemudian dengan bijaknya berpesan, “yu, tahun depan cari Pak Haji yang panti asuhannya dari kebun duren aja yah, ibu mau banget”. Sekedar info, ibu kos saya adalah teman makan duren yang sangat menyenangkan hehe…
Jumlah ikan yang terlalu banyak, tentu tidak akan enak bila dimakan sendiri. Setidaknya, saat itu saya sempat berjanji tidak akan makan lele selama beberapa bulan ke depan. Ibu kos akhirnya memutuskan untuk membagi ikan lele kepada para tetangga. Sayangnya, ibu kos lupa kalau ternyata masih ada ikan gurame di lemari es lainnya.
Merasa bersalah dan tidak enak hati, akhirnya saya bersikukuh untuk memasakkan ikan gurame untuk seisi kos, dan juga ibu kos tercinta. Resepnya dari resep khas masakan ibu saya. Konsultasi resep via telepon pun dilakukan. Alhamdulillah… masakan sukses dilakukan di dapur kos, dengan alat masak pinjaman ibu kos. Kali ini, tetangga kos yang telah berbaik hati membawakan plastik ikan tidak lupa menuntut bagiannya. Dan gurame-gurame pun tergolek manis dalam piring saji menjadi “gurame asam manis”, sebagai sajian menu sahur terakhir di kos pada ramadhan 1430H. Resepnya saya sertakan untuk berbagi dengan teman semuanya.
Lain gurame, lain ikan lele, lain pula ikan cakalang. Kali ini terjadi di hari pertama Ramadhan tahun ini, 1431H. Salah seorang teman kos, sebut saja namanya Hay, memiliki teman-teman yang luar biasa baik. Saking baiknya, teman-temannya sangat senang memberi oleh-oleh setiap kali dari luar kota. Sebagai teman kos, kami tentu sangat senang karena turut merasakan oleh-oleh tersebut. Kali ini, oleh-olehnya sedikit luar biasa. Oleh-oleh dibawa dari Papua dan diantarkan langsung ke kos. Namun, sayangnya Hay sedang tidak di kos sehingga tidak tahu kalau ada sebungkus ikan cakalang di atas lemari es yang mulai menebar aroma harum. Setelah meributkan siapa pemilik ikan, akhirnya diketahuilah asal-usul ikan sebenarnya. Atas kesepakatan bersama, kami pun sepakat untuk mengolahnya menjadi “ikan cakalang cabe hijau” sebagai menu sahur pertama.
Setiap kali acara memasak dilakukan di kos, selalu ada kehebohan. Beruntung kali ini saya tidak harus mengulang kembali adegan membersihkan ikan. Dengan semua kehebohan, kami kembali meminjam alat masak ibu kos, mengacak-ngacak dapur, dan bereksperimen dengan berbagai bumbu, hingga akhirnya tersaji menu yang kami harapkan. Ikan cakalang cabe hijau yang gurih dan pedas tersaji untuk seisi kos menemani sahur pertama kami. Dan tak lupa, ibu kos kami juga tersenyum riang melihat anak-anaknya ternyata bisa berkreasi di dapurnya. Makasih yah bu :) dan sekarang saya mulai berpikir, tahun depan kira-kira ikan apa lagi yang akan hadir mewarnai ramadhan saya? huehehehe
RESEP*
IKAN / AYAM SAUS BAWANG BOMBAY, ATAU SAUS ASAM MANIS
BAHAN
Ikan yang sudah digoreng setengah matang
Jahe, lengkuas
Gula
Garam
Bawang Bombay
Bawang putih
Saus cabe
Saus tomat
Saus tiram (2 sendok makan, atau 1 sachet)
Nenas (boleh juga gak dipakai, sesuai selera)
CARA MEMBUAT
Sajikan ikan dipiring, trus disiram saus asam manis hehehe. Sajikan dengan sayuran rebus (sayuran instan yang direbus kayak buncis, kacang polong, wortel, atau sayuran segar direbus +++ kentang goreng juga enak koq)
Tips :
IKAN ASAP TUMIS CABE HIJAU
BAHAN
Ikan asap (boleh diganti ikan lainnya atau ayam, goreng setengah matang dulu)
Jahe, lengkuas, daun salam (secukupnya, biar gak amis)
Cabe hijau besar (iris kasar)
Cabe merah besar (iris kasar)
Bawang Bombay (iris halus)
Bawang putih (iris halus)
Gula, Garam (sesuai selera, boleh juga ditambah penyedap seperti royco, dkk. Tapi kata Rudi Choirudin, gula+garam = penyedap alami)
Penyedap (royco, dkk)
Sayuran : Daun melinjo, Kacang kapri, Jagung manis yang dipipil kecil, kacang panjang, paprika)
Santan
Kacang panjang
Soun / bihun
CARA MEMBUAT
Tips : pilihan sayuran boleh diganti apa aja, sayuran tadi untuk melengkapi aja dan biar cantik warnanya hehehe.. boleh pakai santan atau diganti air aja, jadi tumis setengah berair gitu.
*sudah sukses di uji coba di dapur uji ayu
Kita memanggilnya dengan sebutan bapak, ayah, papa, papi, dedi, abi, dll. Dalam salah satu cerita, pernah dikisahkan ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah Saw, “siapa orang yang harus kuhormati?”. Jawab Nabi Saw, “ibumu,” lalu orang itu kembali bertanya, “lalu siapa lagi ya Rasulullah?.” Dan Rasul kembali menjawab, “ibumu.” Dan orang itu kembali bertanya dengan keheranan, “siapa lagi ya Rasulullah?”, dan kembali dijawab dengan keyakinan, “ibumu.” Belum puas lagi, orang itu kembali bertanya, “lalu siapa lagi ya Rasul?,” dan Rasulullah Saw pun menjawab, “ayahmu.” Begitulah kira-kira mengapa seorang ibu mendapatkan penghormatan hingga tiga kali lipat, bahkan ada ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu.” Kita tidak akan ada tanpa ayah dan ibu, dan ini adalah suatu kepastian. Ada hari khusus untuk perayaan cinta pada ibu. Untuk ayah pun ada, walaupun di Indonesia hal ini bukanlah hal yang umum dilakukan. Lalu, pertanyaan saya, “seberapa baik kita mengenal ayah/bapak/papa/papi/dedi/abi?”. Dan ini cerita sederhana tentang para ayah, dari para ayah yang saya kenal, dari mereka tentang ayah-ayah mereka, dan juga tentang bapak yang saya kenal.
Suatu malam di jalan menuju kos, seorang penjual mpek-mpek melintas sambil menenteng barang dagangannya. Seorang bapak kurus berusia sekitar 40 tahun. Setiap malam dia melintas membawa dagangannya sambil berteriak, “mpek-mpek…mpek-mpek.” Suara nyaringnya tentu ditujukan untuk menarik pembeli. Tetapi, berapa banyak orang yang tertarik makan pempek di tengah malam? Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, dan dagangannya masih utuh. Bersama seorang teman saya membeli beberapa dagangannya. Jujur, alasan kami membeli saat itu bukan karena kami menginginkannya, tetapi lebih karena kasihan, membayangkan jarak yang harus ia tempuh sementara hari semakin malam dan dagangannya masih utuh. Semuanya tentu dilakukannya demi keluarganya, demi si anak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Tukang bakso yang biasa lewat di depan rumah saya sudah berjualan sejak puluhan tahun lalu. Sejak saya masih kanak-kanak dan harga bakso semangkok masih dapat dibeli dengan harga Rp. 500,/ mangkuk. Dan kini harga permangkuknya mencaai 10 kali lipat. Saya mengenal tukang bakso ini, karena rumahnya yang juga tidak berapa jauh dari rumah saya. Anak-anaknya tentu dapat menikmati kehidupan yang lebih baik dari usaha bakso ini. Setidaknya itu yang saya lihat, ketika anak-anak tersebut melintas dengan mengendarai sepeda motor sementara ayahnya masih jalan berkeliling mendorong gerobak bakso.
Lalu, ada seorang tukang bakso lainnya yang saya kenal karena pekerjaan saya. Setiap harinya dia harus mendorong gerobak baksonya hingga berpuluh kilometer dari rumahnya untuk berjualan. Rumahnya di daerah Kedoya sementara dia berdagang di daerah Cengkareng. Saya tidak terlalu paham jaraknya, hanya menduga-duga saja sekitar 30km. Dan dari usaha bakso ini (juga dari usaha jamu gendong sang istri), bapak ini dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Bukan satu, tapi dua anaknya.
Dan saya ingat pekerjaan bapak sebagai pemadam kebakaran. Dulu, saya sering merasa tidak adil karena jam kerja bapak yang tidak biasa dan berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Bagi jadwal kerja bapak, semua tanggal di kalender berwarna hitam. Tetapi lama-kelamaan, saya mulai mengerti ada kewajiban yang harus diselesaikannya.
Pernahkah terpikir apa yang telah dilakukan ayah kita, untuk dapat memberikan kehidupan terbaik bagi keluarganya?
Lalu, saya mengenal seorang ayah yang karena pekerjaannya harus rela terpisah jauh dari keluarganya. Saya tidak pernah habis pikir apa yang ada di otaknya sehingga membuat pilihan sedemikian rumit. Suatu malam ayah ini mengabarkan saya kalau ia saat itu sedang berada di Jakarta hanya dalam hitungan hari, demi menghadiri ulang tahun putri kecilnya. Padahal saat itu ia berada di Liberia, negeri nun jauh disana, yang entah apakah akan dapat dengan mudah saya temukan dalam peta dunia. Untuk sampai di Jakarta, ia harus menempuh penerbangan 18 jam, menyeberangi dua samudra (Atlantik dan Hindia) dan dua benua (Afrika dan Asia). Toh hal ini tetap dilakukannya. Malam itu saya dikejutkan dengan telepon singkat, “neng, saya di Jakarta nih, datang kemarin tapi cuma sebentar, besok Abi Ulangtahun, lusa saya balik.” Dan saya hanya bisa bengong menerima telepon singkat itu. Saya mengenal putri kecilnya yang berulangtahun. Tidak dekat, hanya sesekali bertemu saat saya bertandang ke rumah keluarga mereka. Atau melihat foto-fotonya melalui facebook. Atau membaca cerita yang dituliskan si ayah tentang kebanggaan pada putra-putrinya.
Seorang teman yang baru saya kenal, tinggal terpisah jauh dari keluarganya. Bukan karena pekerjaan seperti ayah yang sebelumnya saya ceritakan, tetapi karena teman ini masih menyelesaikan pendidikannya. Saya masih ingat bagaimana gembiranya teman ini saat mengabarkan bahwa sang istri akan segera melahirkan. “Yu, istri gw mau melahirkan, udah di RS nih, bantu doain yah,” begitulah isi pesan singkatnya melalui yahoo messenger. Saya kemudian mengingatkan sekaligus mencandainya agar berdoa dan tidak online saja. Tapi kemudian saya tergelak sekaligus tertohok saat mendengar jawabannya, “gw juga lagi baca quran nih, sambil sms ke RS lewat internet, nomor yang satu lagi gak bisa.” Saya baru tersadar bahwa saat itu, sekuat tenaga dengan segala cara teman ini berusaha untuk selalu terhubung dengan keluarganya. Dan setelah anaknya lahir, ia kembali mengabarkan dengan penuh keriangan. Putri kecilnya sudah lahir, sehat, dan tidak kekurangan satu apapun.
Suatu hari teman ini juga bercerita tentang kekesalannya saat ada yang berpendapat bahwa nama putri kecilnya terkesan “biasa”. Dan saya hanya bisa mengulum senyum sambil mengatakan, “tidak ada yang benar-benar original di atas muka bumi ini. Dan bagi seorang ayah, nama anaknya adalah nama yang paling indah, abaikan saja yang lainnya. Kita shalat pun dengan doa yang sama, lalu kenapa harus kesal karena kesamaan dengan yang lainnya?, nama saya jauh lebih biasa, menjadi nama warung makan, stiker yang ditempel di angkot, bahkan presiden SBY memberikan nama yang sama seperti nama saya kepada anak harimau di ragunan.” Apa yang salah dengan menjadi sama? Asalkan bukan mencontek yah…
Seorang teman yang lain, ayahnya bekerja masih di negara yang sama dengan tempat tinggal keluarganya. Namun, pekerjaannya mengharuskan ia sering bepergian ke luar kota. Pekerjaan yang unik sebagai wasit PSSI, kemudian pengawas pertandingan PSSI. Saya hanya bisa ternganga kagum saat mengetahui profesi tersebut. Namun, sorot mata kebanggaannya pada sang anak dapat saya lihat dengan jelas saat menjemput dan mengantarkan putrinya yang harus menuntut ilmu ke negeri matahari terbit. Saya tahu bahwa ditengah kesibukan jadwal pertandingannya, dia sengaja datang menjemput putrinya, sendiri ke bandara, dan memastikan anak gadisnya itu sampai dengan selamat. Lalu dengan riangnya bercerita pada kami, yang juga ikut menjemput tentang berbagai hal.
Sorot mata bangganya terpancar dengan jelas, sama seperti dua tahun sebelumnya saat menghadiri wisuda anak gadisnya tersebut. Sorot mata yang sama seperti yang ditampilkan Bapak saat memakai jas, hadir di balairung, meski berpanas-panas tetapi tetap sabar mengikuti berbagai prosesi. Padahal, kami, anak-anaknya bukanlah mahasiswa cum laude yang namanya akan dipanggil oleh panitia sehingga maju ke depan disaksikan ribuan mata. Untuk dapat melihat kami ada didalam gedung itu, bapak dan ayah teman tadi mungkin harus menunggu keberuntungan saat sorot kamera menangkap sosok kami ditengah kerumunan orang bertoga lainnya.
Sorot kebanggaan yang sama yang saya temui saat saya lulus ujian SPMB (UMPTN/SIPENMARU, dkk). Hari itu, kekesalan saya memuncak karena bapak tetap berangkat kerja dan tidak dapat menemani saya ke warnet untuk dapat melihat pengumuman pada dini hari. Saya pun harus rela ke warnet sehabis subuh sendirian. Malangnya, koneksi internet saat itu tidak cukup baik sehingga saya harus pulang dengan tangan kosong. Sampai di rumah, bapak sudah duduk manis di depan rumah dengan koran yang memuat pengumuman SPMB dan sebuah kaca pembesar. Segera, beliau meminta saya mencari nama dan nomor ujian saya diantara jutaan nama lainnya. Saya menemukan nama saya, dan bapak segera memberi warna pada nama tersebut. Koran itu masih disimpannya hingga kini. Bahkan undangan untuk menghadiri wisuda saya 4 tahun lalu, masih juga disimpannya dengan rapi.
Pernahkah kita berpikir betapa bangganya ayah/ bapak kita pada anak-anaknya? Mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing yang seringkali tidak kita pahami. Mereka yang berada jauh pun berusaha untuk selalu terhubung, memastikan bahwa mereka mengetahui setiap detail perubahan anak-anaknya dan setiap detik yang dihabiskan oleh anak-anaknya.
Pernahkah terpikirkan oleh kita pengorbanan yang dilakukan oleh ayah/bapak/daddy/abi/papa/papi? Pengorbanan kecil yang sering terlupakan, tetapi itulah bukti nyatanya akan betapa cintanya dia pada anak-anaknya.
Seorang teman sedang dalam perjalanan dari Bandung menuju Depok. Biasanya ia telah memiliki jadwal yang pasti untuk menggunakan travel ataupun bus. Namun hari itu, ketika sampai di terminal, bus yang akan dinaikinya sudah hampir berangkat dan penumpang mulai berdesakan untuk naik. Ayahnya yang saat itu mengantar, langsung melesat menaiki bus tersebut untuk mencarikan kursi bagi putrinya, karena sang ayah tahu hari minggu sore merupakan jadwal bus yang cukup padat. Ayahnya tidak lagi muda, usianya sudah melewati usia pensiun. Membayangkan sang ayah lari mengejar bus dan berebutan tempat duduk tentu bukanlah hal yang mengenakkan. Dan hal itu tetap dilakukannya demi putrinya agar nyaman selama perjalanan menuju depok.
Lalu teman yang lain diantar oleh ayahnya menuju kos di depok dari rumahnya di daerah Tangerang. Perjalanan dari Tangerang menuju Depok pada senin pagi tidaklah terlalu padat karena kemacetan biasanya terjadi pada arah sebaliknya. Sesampainya di kos, anak perempuannya ini baru tersadar bahwa beberapa barang yang dibawanya termasuk dompet masih tertinggal dimobil. Setengah khawatir, dia menelepon ayahnya untuk memberitahu tanpa berharap kalau ayahnya akan kembali untuk mengantarkan barang-barang tersebut sementara ayahnya juga harus mengejar waktu untuk pergi ke kantor. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya. Ayahnya yang hampir mencapai setengah perjalanan, kembali memutar dan mengantarkan barang-barang yang tertinggal tersebut.
Bapak selalu datang setiap kali saya tidak pulang ke rumah, bertahan di kos karena tumpukan tugas ataupun jadwal ujian. Sejak subuh sudah berangkat dari rumah, agar bisa menikmati jalanan Jakarta yang lowong menuju depok dan agar masakan ibu yang dibawanya masih hangat untuk saya nikmati saat sarapan. Dan saya, masih baru bangun tidur saat beliau mengetuk pintu kamar kos saya.
Setiap kali saya pulang malam, bapak (dan juga ibu saya) masih terjaga dan tidur di ruang tamu. Memastikan anak perempuannya pulang dengan selamat. Bapak tidak marah saat anak perempuannya pulang dan mengadu sambil menangis karena handphonenya kecopetan. Pertanyaan singkatnya hanyalah, “kamu gak apa-apa kan? Hp aja yang hilang? Besok kita beli lagi.” Sementara saya setengah mati ketakutan dimarahi.
Saat menyaksikan film 3 idiots, saya tidak bisa tidak menangis, saat pertama menontonnya, kedua, ketiga dan terus setiap kali menontonnya. Saat tokoh Farhan mengatakan pada ayahnya mengenai minatnya yang besar pada fotografi. Betapa Farhan sangat mencintai fotografi sebagai passionnya, sementara sang ayah menginginkannya menjadi insinyur. Farhan mempertanyakan kebahagiaan siapakah yang ingin dilihat oleh ayahnya. Hati ayahnya yang keras pun akhirnya luluh. Seketika saya tersadar betapa yang diinginkan oleh seorang ayah hanyalah kebahagiaan anak-anaknya.
Cerita yang serupa dialami oleh beberapa teman saya. Salah seorang teman pernah bercerita bahwa ayahnya memberi ultimatum, “berhenti kerja dan selesaikan kuliah!! Berapa kamu dibayar dari pekerjaanmu? Dan jumlah itu yang akan saya bayarkan setiap bulannya asalkan kamu tetap meneruskan kuliah.” Peringatan paling keras yang pernah diterima seumur hidupnya hingga ia tak ingin melawan. Lalu, ayahnya meminta untuk menjadi PNS di daerah kelahirannya. Kali ini, teman tersebut ingin mempertahankan passionnya, hingga ia memberanikan diri untuk tidak menerima tawaran tersebut, meskipun respon yang diterimanya tidak sepenuhnya menyenangkan. Seperti tokoh Farhan dalam 3 idiots, ia bersikukuh pada pendiriannya dan perlahan ia mulai bisa membuktikannya.
Cerita yang hampir sama juga dialami oleh teman yang lain, karena ayahnya, orangtuanya meminta pulang ke kampung halaman dan menjadi PNS, mengabdi didaerahnya. Teman tersebut mengikutinya, dengan alasan membahagiakan orangtuanya. Sebuah alasan yang sangat mulia bagi saya. Dan pada saya, dia masih sesekali bercerita akan kembali meraih apa yang selama ini diimpikannya, suatu hari kelak.
Bapak melarang saya berkuliah di luar Jakarta, dengan alasan sederhana, “semua orang berlomba-lomba kerja dan kuliah di Jakarta, kenapa kamu harus keluar Jakarta, apa yang kamu takuti? Takut tidak lulus? Pasti bisa!!” Keyakinan kuatnya juga yang akhirnya membulatkan setiap keputusan yang saya ambil.
Saya selalu ingat tentang cerita seorang teman yang baru merayakan ulang tahunnya yang ke-30. Dihari jadinya tersebut, sang ayah memberinya hadiah sebuah jam tangan yang keren (menurutnya) dengan sepucuk surat kecil bertuliskan "kapan kawin?". Surat singkat dari seorang ayah yang saya yakin 100000% memikirkan kebahagiaan anaknya tersebut.
Tapi bapak/ayah/daddy/abi/papa/papi juga manusia. Mereka juga bisa lemah, bisa menangis dan jatuh.
Saya hanya bisa diam manakala seorang teman menceritakan kisah pilunya saat ia harus kehilangan anak pertamanya dan juga istrinya pada saat yang bersamaan. Jarak fisik diantara mereka menyebabkan ia tidak dapat mendampingi disaat-saat terakhir. Dia hanya bisa menangis sendirian. Dan saya tahu dukanya terlalu dalam untuk dapat kembali melangkah dengan tegak.
Dan bapak, saat kehilangan anak lelakinya padahal baru saja dilahirkan, putra yang selama ini diimpikannya, masih bisa tersenyum pada saya. Padahal saya tahu kalau dia baru saja membalik badannya dan mengelap airmatanya. Dan dengan tenangnya dia masih bertanya, “mau ikut mandiin gak? Lihat sini yah,” dan saya hanya berdiri mematung, diam.
Lalu, saya mengenal seorang yang lain, yang kehilangan istrinya sementara ketiga anaknya masih sangat kecil. Dari tulisan-tulisannya, saya tahu bahwa dia sangat limbung. Tapi toh ia harus berdiri tegak demi ketiga anak-anak mereka yang usianya bahkan belum mencapai 10 tahun. Saya tahu tidak mudah baginya untuk mendamaikan antara otak dan hatinya. Ia seorang professional yang sangat tahu apa yang seharusnya dilakukan. Tapi disatu sisi, dia juga ada pada posisi subyek, yang merasakan.
Seorang teman saat ini belum dikaruniai anak, tetapi mereka telah memulai perannya sebagai ayah dan ibu. Setidaknya dengan cara itulah mereka saling memanggil. Panggilan yang sangat indah. Dan saya yakin bahwa kelak mereka akan menjadi ayah dan ibu yang hebat.
Sementara teman yang lain, sedang sangat bahagia menunggu kelahiran anak pertamanya. Ayah yang sangat bahagia (dia sudah menjadi ayah bahkan sejak istrinya hamil). Berbagai tulisan dibuatnya untuk istri dan anaknya. Agar anaknya mengetahui kelak bagaimana ia saat berada didalam kandungan sang ibu. Agar anaknya mengetahui kelak apa-apa saja yang sebenarnya ia pelajari di rahim ibunya.
Setiap ayah/bapak/daddy/abi/papa/papi memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaannya. Mereka bukan orang yang suka mengumbar kata “sayang”. Dan ungkapan itu jauh lebih nyata dalam setiap tindakan mereka.
Tapi, pernahkah terpikir, kalau kita, anak-anak mereka dapat mengatakannya langsung betapa kita menyayangi mereka. Mengatakan betapa kita berterimakasih atas semua usahanya menjadikan kehidupan kita menjadi layak dan cukup?
Saya pernah menyesal karena tidak sempat mengatakannya. Setidaknya, saya tidak mengatakannya langsung, dan hanya bisa berbisik sambil berharap kalau dia bisa mendengarnya dalam tidur panjangnya. Sekarang, saya hanya ingin mengajak teman, sahabat atau siapapun yang membaca tulisan ini untuk lebih mengenal dia, yang selama ini kita panggil ayah/bapak/abi/daddy/papa/papi, dan mengatakan padanya betapa kita menyanyanginya. Lalu tunjukkan dengan nyata, kalau kita benar peduli pada apa yang dilakukannya. Seorang teman dan kakak bagi saya pernah bercerita betapa bahagianya dia saat menerima sepotong sms dari anak perempuannya, "bapak, terimakasih yah. laptopnya sudah bisa dipakai." sesederhana itu.
Beruntunglah yang masih memiliki kesempatan untuk dapat mengatakan betapa cinta dan sayangnya kita pada ayah, karena seorang teman yang saya kenal tidak pernah mengenal ayahnya. Tuhan terlalu sayang dengan ayahnya, sehingga terlebih dulu mengambilnya. Jadi, mengapa kita harus menyia-nyiakan kesempatan ini?
lagu ini (http://www.youtube.com/watch?v=UBGa3Lfwa0o) akan selalu mengingatkan saya pada para ayah di dunia, betapa mereka mencintai anak-anaknya, keluarganya, dan juga mengingatkan pada dia yang damai di peluk bumi.
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro
Dodot-iro, dodot-iro kumitir bedah ing pinggir
dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
Alunan merdu tembang Lir Ilir karya Sunan Kalijaga tersebut terasa begitu memikat. Aransemen ulangnya menjadikan alunan tembang jawa ini lebih bersemangat. Dan saya tidak bisa untuk tidak ikut bersenandung mendengarnya. Belakangan saya baru tahu makna dibalik tembang jawa yang sering dinyanyikan saat meninabobokan saya, berpuluh tahun lalu. Kira-kira artinya seperti dibawah ini:
Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Hamparan tanaman padi di sawah yang menghijau, dihiasi oleh tiupanangin yang menggoyangkannya dengan lembut. Tingkat ke-muda-an itu bisa disamakan juga dengan pengantin baru. Penggambaran tentang usia muda yang penuh harapan, penuh potensi, dan siap untuk bekerja & berkarya.
cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro
Buah belimbing yang berbentuk seperti bintang, bersisi lima, melambangkan rukun Islam dengan lima perkara; dan sari-pati buah itu berguna untuk membersihkan perilaku dan sikap mental kita. Ini harus kita upayakan betapapun licinnya pohon itu, betapapun sulitnya hambatan yang kita hadapi.
Anak gembala (cah angon) dapat diartikan sebagai anak remaja yang masih polos dan masih dalam tahap awal dari perkembangan spiritualnya. Konotasi inilah yang sering muncul seketika bila orang Jawa menyebut 'bocah angon'. Namun pengertiannya dapat pula ditingkatkan menjadi pemimpin, baik pemimpin keluarga, tokoh masyarakat, ataupun pemimpin formal dalam berbagai tingkatan dari ketua RT sampai pimpinan negara.
Dodot-iro, dodot-iro kumitir bedah ing pinggir
dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore
Pakaianmu berkibar tertiup angin, robek-robek di pinggirnya. Jahitlah dan rapikan agar pantas dikenakan untuk "menghadap" nanti sore. "Sebo" adalah istilah yang dipergunakan untuk perbuatan 'sowan' atau menghadap raja atau pembesar lain di lingkungan kerajaan. Makna pakaian adalah perilaku atau sikap mental kita. Menghadap bermakna menghadap Allah. Nanti sore melambangkan waktu senja dalam kehidupan, menjelang kematian kita.
Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
Manfaatkan terang cahaya yang ada, jangan tunggu sampai kegelapan tiba. Manfaatkan keluasan kesempatan yang ada, jangan menunggu sampai waktunya menjadi sempit bagi kita.
Makna tembang lir Ilir ini tampaknya sejalan dengan judul yang diberikan oleh Hanung Bramantyo dalam filmnya “SANG PENCERAH”. Saya memaknainya dengan mencerahkan, memberikan setitik sinar, meluruskan, memperbaiki. Dan semangat itulah yang diusung dalam film ini.
Lagu Lir Ilir tadi mengiringi cerita yang ditampilkan mengenai kehidupan Muhammad Darwis, yang kemudian kita kenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan. Cerita berkisar pada perjuangan beliau dalam syiar Islam hingga lahirnya organisasi Muhammadiyah. Film ini bertutur dengan sederhana tentang kisah seorang anak manusia, semangatnya untuk berbuat yang terbaik bagi orang-orang disekitarnya.
Kisahnya akan menampar kesadaran kita, bahwa pemahaman agama bukan hanya dengan akal, tapi juga dengan hati. Pemahaman dengan akal semata, hanya akan menyesatkan. Dan inilah yang membuat sebagian besar dari kita tergelincir. Sebuah pertanyaan mendasar tentang apa itu agama, terasa sangat menusuk. Dan jawabannya bisa diberikan dengan cara sederhana yang jarang dipikirkan banyak orang. Karena agama itu indah, damai, menenangkan, mengayomi. Agama harus dipelajari dengan baik, melibatkan akal dan hati. Jika tidak, maka pemahaman yang salah didapat, dan kekacauan hasilnya. Agama bukanlah rangkaian aturan ataupun ritual yang harus disederhanakan ataupun dipersulit.
Kesetaraan, keikhlasan menerima kritik, dan kemauan untuk maju menjadi nilai lain yang ditonjolkan. Kita tidak tahu dengan tepat apakah yang kita lakukan benar, karena kalau kita tahu kebenarannya dengan pasti, maka kita tidak akan pernah belajar. Lalu, kenapa harus takut untuk mencoba? Tidakkah manusia berkewajiban untuk melakukan usaha atau ikhtiar? Lalu, pasrahkan semuanya pada Allah, karena Dia yang Maha Tahu, Sang Penulis Skenario Kehidupan, Penyusun Rencana Maha Agung. Dan sejatinya, kebenaran itu berasal dariNya.
Sang Pencerah adalah sebuah cerita sejarah yang apa adanya, tidak ditambahi bumbu drama ataupun memaksakan komedi. Film ini tentu tidaklah sempurna, ada satu-dua hal yang sedikit mengganggu, tapi secara keseluruhan film ini tampil dengan sangat apik. Di mata saya yang awam, semua unsur teknis terasa sempurna. Artistik yang baik, setting yang baik, make up yang sesuai, lighting yang baik, semuanya terasa lengkap. Hanung seperti manyajikan sebuah hidangan yang lengkap pada filmnya, hidangan pembuka, hidangan utama, lalu hidangan penutup. Tidak lupa ada minuman juga, agar penonton tidak kehausan. Dan saya, pulang dengan kekenyangan, karena saya mendapatkan pencerahan, makanan untuk jiwa dari “sang pencerah”.
Aku terbangun dan mimpi itu masih terasa lekat
Wajah-wajah mereka yang berada jauh disana
Terentang samudra, terpisah benua
Rasa rindu yang membuncah
Terasa menyesakkan
Aku disini, jauh menggapai
Dalam setangkup doa
Kujumpai mereka
Memandang senyumnya, Melihat canda tawanya
Aku ingin ada disana,
Bicara, bercanda, tertawa
Menghapus air matanya,
Memeluknya
Lalu terbangun, dan kembali terhempas dalam nyata
Kelak kan tiba waktuku
Untuk ada disana, Bersama mereka
Kini, Biarkan doaku yang menemani kalian,
Dan kita akan bercengkerama dalam doa
Kita masih ada dibawah langit yang sama
Membagi matahari, bulan dan bintang yang sama
Biarkan waktunya terlewati
Hingga semuanya berada dalam satu
Biarkan rintik hujannya turun
Dan seluruh rasa meluruh
Menyatu, kembali pada tanah
Hujan akan menyiraminya
Dalam hujan dan kabut
Kilasan bayangannya hadir
Aku melihatnya dalam kabut
Aku merasanya dalam dinginnya hujan
Aku mencium baunya dalam harum tanah yang basah disiram hujan
Dan pikiranku terus bermain-main dengan satu tanda untuk sebuah kata, inikah?