Senin, 11 Oktober 2010

Meminta Maaf atau Memberi Maaf

Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future. ~Paul Boese

Sebagai manusia sudah sangat biasa dan maklum jika kita berbuat salah. Lalu, setelah berbuat salah, mudahkah untuk meminta maaf? Atau saat orang lain berbuat salah pada kita, mudahkah untuk memberikan maaf? Keduanya bisa jadi mudah atau bahkan sama sulitnya.

Saat harus meminta maaf terlebih dulu, kita sering merasa gengsi, "ih kenapa harus gw yang minta maaf? Dia dong yang salah." Begitupula sebaliknya, "gw maafkan begitu aja? Dia juga belum minta maaf koq." Atau bahkan merasa sudahh memaafkan tetapi dengan bersungut-sungut, "udah koq, gw udah maafkan, dia aja tuh gitu."

Sebenarnya mana yang lebih utama, meminta maaf atau memberi maaf?

Tentu bukan hal yang mengenakkan kalau kita harus mengakui kesalahan atau kekeliruan yang kita lakukan (sengaja atau tidak disengaja), kemudian menundukkan kepala meminta maaf. Sementara itu ada ego manusia yang demikian besar mengatasnamakan harga diri yang akan terus-menerus berkata, "kenapa harus gw yang mulai?," atau melakukan pembelaan diri, "bukan cuma gw yang salah koq, dan gak sebesar itu juga." Ketika kita meminta maaf, maka ada dua hal besar yang kita lakukan: pertama, mengakui kesalahan atau kekurangan kita, dan kedua menundukkan kepala untuk dapat menyatakan "maaf". Bukan perkara mudah saat kita harus mengakui kesalahan, kekurangan, khilaf atau apapun itu menyangkut hal-hal negatif yang kita miliki. Tetapi, bukankah dengan mengakuinya, berarti kita telah membuka hati kita untuk mau melihat dan mengakui kekurangan kita. Butuh keberanian besar untuk seseorang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Lalu, saat ada orang lain yang berbuat salah pada kita, mudahkah untuk memberinya maaf? Forgiven but not forgotten, dimaafkan tetapi tidak dilupakan. Kesalahan, kekeliruan, khilaf atau apapun namanya, yang sudah terjadi tidak akan dapat diubah. Kenyataannya akan tetap sama sekalipun si pembuat kesalahan telah meminta maaf. Luka, coretan, sakitnya akan tetap ada. Namun, tidak berarti bahwa kita akan selalu hidup dalam luka tersebut. Jalan di tempat dalam masa lalu. Dengan memberi maaf, kita tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi, kecuali kenyataan bahwa kita telah melangkah maju. Dengan memberi maaf, kita telah maju selangkah meninggalkan "luka", lalu membuka diri untuk memulai sesuatu yang baru. Luka itu akan tetap ada, tetapi bukan untuk diratapi, melainkan untuk belajar agar tidak kembali jatuh dan mendapatkan luka yang sama. Kalaupun harus kembali jatuh, setidaknya kita dapat kembali bangkit sedikit lebih cepat daripada saat pertama jatuh.

Allah adalah Maha Pemberi Maaf, lalu sebagai makhlukNya, mengapa kita harus pelit untuk memaafkan?

"Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada
Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?" (QS Al-Nur [24): 22).

Meminta maaf dan memaafkan keduanya mungkin sama sulitnya. Atau sama mudahnya? Entahlah.. Mana yang lebih utama, meminta maaf atau memaafkan? Keutamaannya sekarang adalah, bagaimana kita mau membuka hati, membuka diri, menundukkan kepala untuk meminta maaf atau memberi maaf. Bukan untuk menunjukkan siapa yang salah atau benar. Bukan untuk menunjukkan siapa yang kalah atau menang. Dan bukan untuk mengalahkan ego dan harga diri. Tetapi untuk belajar mengoreksi diri, belajar menerima dengan ikhlas, dan dengan jiwa besar belajar dari kesalahan.

Forgiveness is a funny thing. It warms the heart and cools the sting. ~William Arthur Ward



Jadi, mohon maaf yah kalau saya berbuat salah. Dan, insya Allah saya sedang belajar ikhlas untuk memaafkan. Termasuk memaafkan diri saya sendiri karena sering lupa, dan supaya bisa terus berjalan ke depan, tidak terikat yang lalu.

2 komentar: